Maqdir Nilai, Perkara Jiwasraya Masuk Ranah Peradilan Umum

Kamis, 11 Juni 2020 - 06:25 WIB
Masih menurut Maqdir, dalam eksepsinya, untuk mengatasi kondisi bengkrut ini maka disusunlah skema investasi untuk waktu 17 tahun. Skema tersebut mengambil kebijakan membeli saham yang bukan merupakan saham dalam perdagangan di bursa sebagai saham blue chip atau reksa dana dalam level diperebutkan.

“Tentu kebijakan ini mengandung risiko tinggi, tetapi juga sekaligus memberi harapan besar untuk menutupi defisit keuangan yang sudah lama menjadi beban. Kebijakan ini adalah merupakan kebijakan yang merupakan suatu bentuk keputusan usaha atau business judgment,” terangnya.

“Kebijakan skema investasi untuk waktu 17 tahun ini, seharusnya dilakukan secara ketat dan secara terus menerus, tidak bisa dihentikan di tengah jalan, seperti yang dilakukan Direksi PT AJS di bawah pimpinan Hexana Tri Sasongko. Pembayaran kewajiban kepada pemegang polis seharusnya tidak bisa dihentikan dengan alasan apapun termasuk tidak adanya cadangan dana atau tidak mempunyai cukup dana,” tambah Maqdir.

Disampaikan pula, bahwa kesalahan dalam surat dakwaan berkenaan dengan nilai buku investasi saham PT AJS pada Desember 2017 adalah Rp5,6 triliun. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dari kerugian yang ditudingkan telah diakibatkan oleh terdakwa sebagaimana dimuat dalam surat dakwaan.

Tidak Miliki Saham

Sebagai informasi, jelas Maqdir, pada Desember 2017 PT AJS tidak memiliki saham SMRUTama, karena saham milik perusahaan sudah seluruhnya dijual pada Desember 2015. Hal ini sebagaimana diuraikan pada berita acara pemeriksaan (BAP) lanjutan Agustin Widhiastuti tertanggal 14 Januari 2020 pada halaman 5.

“Saham SMRUTama yang dihitung sebagai bagian dari kerugian negara dalam surat dakwaan adalah saham yang diperoleh PT AJS pada tahun 2018 sebagaimana dijelaskan pada surat dakwaan primair halaman 60 dan surat dakwaan subsidair halaman 136,” paparnya.

Sedangkan untuk investasi reksa dana, menurutnya penyesatan juga dilakukan secara sengaja. Ini terlihat dengan menghitung seolah-oleh terjadi penurunan nilai yang luar biasa pada sektor reksa dana yang telah mengakibatkan kerugian sebesar Rp12,1 triliun.

“Meskipun kerugian tersebut belum benar terjadi, karena kerugian yang dikatakan sebagai kerugian akibat investasi reksa dana dalam surat dakwaan adalah tidak benar, karena penghitungan kerugian baru dilakukan setelah 2 tahun klien kami meninggalkan jabatan Direktur Utama dan tidak dihitung dengan nilai reksa dana ketika dirinya meninggalkan jabatan itu,” terang Maqdir.

Dalam eksepsinya, Ignatius Supriyadi Penasehat Hukum Hendrisman Rahim lainnya mengambil contoh kerugian akibat salah satu reksa dana yang paling besar yaitu pada DMI Dana Bertumbuh.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More