Podcast sang Mentalis dan Tantangan Jurnalisme di Era Digital
Kamis, 11 Juni 2020 - 04:50 WIB
Nugroho Agung Prasetiyo
Praktisi Komunikasi ISKI Pusat dan Pemerhati Media
Anybody can be a journalist. There are opportunities for all of us to contribute to stories; Susan E McGregor
BEBERAPA pekan lalu rekaman podcast wawancara Deddy Corbuzier dengan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menghebohkan publik. Dalam wawancara tersebut, Deddy mengupas secara ringan kisah sikap masa lalu sang menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlawanan dengan WHO saat terjadinya wabah flu burung. Cerita dugaan konspirasi di masa lalu tersebut, kemudian dikaitkan dengan kemungkinan yang terjadi di era pandemi virus Covid-19 pada masa sekarang yang begitu meresahkan dunia.
Menariknya lagi, bukan hanya substansi isi wawancara yang kemudian membuat riuh publik, melainkan juga kemasan informasi yang dikonsumsi publik pun turut memunculkan polemik. Beberapa kalangan mempersoalkan apakah produk podcast Deddy itu merupakan sebuah bentuk karya jurnalistik atau bukan? Polemik ini mencuat setelah pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) mempersoalkan perihal proses wawancara yang dilakukan Deddy.
Rujukannya adalah Permenkumham Nomor M.HH-01.IN.04.03, 5 Oktober Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kemenkumham, dan UPT Pemasyarakatan. Pada pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa peliputan untuk kepentingan penyediaan informasi dan dokumentasi harus mendapat izin secara tertulis dari Ditjenpas. Pasal 30 ayat 4 menyatakan bahwa pelaksanaan peliputan harus didampingi oleh pegawai pemasyarakatan dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Kemudian pasal 32 ayat 2 menyatakan bahwa wawancara terhadap narapidana hanya dapat dilakukan jika berkaitan dengan pembinaan narapidana.
Dari sinilah muara polemik itu mengalir. Seperti biasa, sebagian kalangan lebih senang membicarakan kulit daripada isi. Mereka terbelah dalam argumentasinya masing-masing yang seakan paling sahih memberikan judgement bahwa produk yang dihasilkan Deddy itu sebuah karya jurnalistik atau sebaliknya.
Jika meminjam pernyataan Susan McGregor —seorang asisten profesor dari Columbia Journalism School pada awal tulisan ini, sesungguhnya ada sebuah titik terang untuk melihat produk podcast yang dibuat oleh Deddy. Setidaknya, Deddy mencoba peluang dan kemampuannya dalam berkontribusi menyampaikan informasi ke publik yang mungkin jenuh dengan informasi dari media mainstream .
Podcast merupakan platform digital yang dihadirkan dalam bentuk rekaman audio ataupun video. Sebagai platform kekinian, podcast terbilang efektif menjangkau audiens yang memasuki era digital melalui konten-konten "cair"nya, yang menariknya secara gratis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah informasi podcast yang dihasilkan oleh Deddy merupakan sebuah karya jurnalistik sebagaimana polemik yang terlahir sekaligus mendasari tulisan ini?
Praktisi Komunikasi ISKI Pusat dan Pemerhati Media
Anybody can be a journalist. There are opportunities for all of us to contribute to stories; Susan E McGregor
BEBERAPA pekan lalu rekaman podcast wawancara Deddy Corbuzier dengan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menghebohkan publik. Dalam wawancara tersebut, Deddy mengupas secara ringan kisah sikap masa lalu sang menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlawanan dengan WHO saat terjadinya wabah flu burung. Cerita dugaan konspirasi di masa lalu tersebut, kemudian dikaitkan dengan kemungkinan yang terjadi di era pandemi virus Covid-19 pada masa sekarang yang begitu meresahkan dunia.
Menariknya lagi, bukan hanya substansi isi wawancara yang kemudian membuat riuh publik, melainkan juga kemasan informasi yang dikonsumsi publik pun turut memunculkan polemik. Beberapa kalangan mempersoalkan apakah produk podcast Deddy itu merupakan sebuah bentuk karya jurnalistik atau bukan? Polemik ini mencuat setelah pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) mempersoalkan perihal proses wawancara yang dilakukan Deddy.
Rujukannya adalah Permenkumham Nomor M.HH-01.IN.04.03, 5 Oktober Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kemenkumham, dan UPT Pemasyarakatan. Pada pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa peliputan untuk kepentingan penyediaan informasi dan dokumentasi harus mendapat izin secara tertulis dari Ditjenpas. Pasal 30 ayat 4 menyatakan bahwa pelaksanaan peliputan harus didampingi oleh pegawai pemasyarakatan dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Kemudian pasal 32 ayat 2 menyatakan bahwa wawancara terhadap narapidana hanya dapat dilakukan jika berkaitan dengan pembinaan narapidana.
Dari sinilah muara polemik itu mengalir. Seperti biasa, sebagian kalangan lebih senang membicarakan kulit daripada isi. Mereka terbelah dalam argumentasinya masing-masing yang seakan paling sahih memberikan judgement bahwa produk yang dihasilkan Deddy itu sebuah karya jurnalistik atau sebaliknya.
Jika meminjam pernyataan Susan McGregor —seorang asisten profesor dari Columbia Journalism School pada awal tulisan ini, sesungguhnya ada sebuah titik terang untuk melihat produk podcast yang dibuat oleh Deddy. Setidaknya, Deddy mencoba peluang dan kemampuannya dalam berkontribusi menyampaikan informasi ke publik yang mungkin jenuh dengan informasi dari media mainstream .
Podcast merupakan platform digital yang dihadirkan dalam bentuk rekaman audio ataupun video. Sebagai platform kekinian, podcast terbilang efektif menjangkau audiens yang memasuki era digital melalui konten-konten "cair"nya, yang menariknya secara gratis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah informasi podcast yang dihasilkan oleh Deddy merupakan sebuah karya jurnalistik sebagaimana polemik yang terlahir sekaligus mendasari tulisan ini?
tulis komentar anda