BPIP Tegaskan Pancasila dan Agama Tidak Bisa Dibenturkan
Rabu, 10 Juni 2020 - 16:12 WIB
JAKARTA - Media sosial (Medsos) telah berkembang luas menjadi salah satu wadah aspirasi dan ruang berpendapat bagi publik. Di sisi lain, pemanfaatannya justru kerap disalahgunakan dengan menyebarkan ujaran kebencian.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny menyadari penggunaan media sosial saat ini sudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu dengan maksud negatif. Misalnya, ujaran kebencian dengan tujuan membenturkan antara Pancasila dan agama.
“Pancasila tidak bisa dibenturkan dengan agama karena dua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan atau dibenturkan,” ujar Benny dalam diskusi bertajuk Pengembangan Strategi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Implementasi Nilai-Nilai Pancasila, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu (10/6/2020). (Baca juga: Hari Lahir Pancasila, BPIP Ingatkan Pentingnya Gotong Royong Hadapi Pandemi)
Selain itu, dia menekankan agar semua pihak terkait dan masyarakat harus mengambil alih ruang publik seperti di media sosial, dengan menampilkan kedamaian dalam keragaman. Ujaran kebencian itu harus dikalahkan sehingga tidak memecah dan merusak persatuan. “Contoh-contoh kerukunan harus ditampilkan. Seperti yang dikatakan oleh Soekarno bahwa Ketuhanan yang berkebudayaan. Pihak terkait dan masyarakat harus mampu merebut dan mengisi ruang publik dengan contoh kerukunan dan kedamaian,” tegas dia.
Benny mencontohkan terkait maraknya agama digunakan untuk kepentingan politik, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurutnya, harus ada kesepakatan antara Bawaslu, KPU, BPIP dan pihak terkait lainnya untuk membuat etika kepatuhan dalam konstelasi politik perebutan kursi kepala daerah. “Harus adanya kesepakatan untuk membuat adanya etika kepatuhan agar agama tidak dijadikan alat kepentingan politik. Etika itu seperti tidak adanya unsur SARA, tidak boleh mempertentangkan ideologi,” jelasnya.
Sila ketiga Pancasila tentang persatuan harus menjadi diutamakan untuk mencegah politisasi agama. Penanaman nilai Pancasila di era digitalisasi harus disesuaikan dengan untuk generasi milenial dan bisa dikolaborasikan dengan olah raga, wisata, kesenian, hingga industri kreatif.
Ia juga menyoroti industri hoaks yang juga marak saat ini. Masalah tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dalam menyaring informasi. “Harus ada pendidikan dalam penggunaan teknologi dan media sosial ini harus ditanamkan sejak dini seperti di sekolah dasar. Tujuannya bisa memilih informasi benar dan salah. Begitu juga untuk media massa, harus memperhatikan etika dalam bermedia agar tidak menimbulkan perpecahan dan memberikan infomasi yang tidak berdasarkan fakta,” tukasnya.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny menyadari penggunaan media sosial saat ini sudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu dengan maksud negatif. Misalnya, ujaran kebencian dengan tujuan membenturkan antara Pancasila dan agama.
“Pancasila tidak bisa dibenturkan dengan agama karena dua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan atau dibenturkan,” ujar Benny dalam diskusi bertajuk Pengembangan Strategi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Implementasi Nilai-Nilai Pancasila, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu (10/6/2020). (Baca juga: Hari Lahir Pancasila, BPIP Ingatkan Pentingnya Gotong Royong Hadapi Pandemi)
Selain itu, dia menekankan agar semua pihak terkait dan masyarakat harus mengambil alih ruang publik seperti di media sosial, dengan menampilkan kedamaian dalam keragaman. Ujaran kebencian itu harus dikalahkan sehingga tidak memecah dan merusak persatuan. “Contoh-contoh kerukunan harus ditampilkan. Seperti yang dikatakan oleh Soekarno bahwa Ketuhanan yang berkebudayaan. Pihak terkait dan masyarakat harus mampu merebut dan mengisi ruang publik dengan contoh kerukunan dan kedamaian,” tegas dia.
Benny mencontohkan terkait maraknya agama digunakan untuk kepentingan politik, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurutnya, harus ada kesepakatan antara Bawaslu, KPU, BPIP dan pihak terkait lainnya untuk membuat etika kepatuhan dalam konstelasi politik perebutan kursi kepala daerah. “Harus adanya kesepakatan untuk membuat adanya etika kepatuhan agar agama tidak dijadikan alat kepentingan politik. Etika itu seperti tidak adanya unsur SARA, tidak boleh mempertentangkan ideologi,” jelasnya.
Sila ketiga Pancasila tentang persatuan harus menjadi diutamakan untuk mencegah politisasi agama. Penanaman nilai Pancasila di era digitalisasi harus disesuaikan dengan untuk generasi milenial dan bisa dikolaborasikan dengan olah raga, wisata, kesenian, hingga industri kreatif.
Ia juga menyoroti industri hoaks yang juga marak saat ini. Masalah tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dalam menyaring informasi. “Harus ada pendidikan dalam penggunaan teknologi dan media sosial ini harus ditanamkan sejak dini seperti di sekolah dasar. Tujuannya bisa memilih informasi benar dan salah. Begitu juga untuk media massa, harus memperhatikan etika dalam bermedia agar tidak menimbulkan perpecahan dan memberikan infomasi yang tidak berdasarkan fakta,” tukasnya.
(cip)
tulis komentar anda