Perkawinan Anak dan Pendidikan
Selasa, 28 Desember 2021 - 12:11 WIB
Penegakan Regulasi
Pernikahan adalah sebagian dari ajaran Agama. Tujuan pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang bahagia, sejahtera, penuh kasih dan sayang (QS Ar-Rum [3]: 21). Keluarga adalah lembaga sosial dan fondasi yang menentukan kekuatan dan kemajuan bangsa. Agama mengajarkan pentingnya meninggalkan generasi yang kuat (QS An-Nisa [4]: 9) baik secara fisik, intelektual, maupun moral. Perkawinan adalah sarana regenerasi yang legal dan bermoral, bukan semata sarana reproduksi. Karena itu perkawinan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Betapapun “tidak melanggar” hukum agama dan negara, perkawinan anak tetaplah mengandung banyak mafsadat, potensi menimbulkan kerusakan dan berbagai masalah sosial yang kompleks. Diperlukan usaha bersama oleh semua pihak agar perkawinan anak dapat dikurangi atau ditiadakan. Pertama, usaha melalui jalur hukum dan perundang-undangan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 sebagaimana diubah dengan UU 16/2019 menyebutkan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila mempelai laki-laki dan perempuan berusia sekurang-kurangnya 19 tahun (Pasal 7 [1]). Akan tetapi, Pasal 7a ini justru “dilemahkan” dengan Pasal 7 [2] tentang dispensasi pemenuhan usia perkawinan karena alasan mendesak. Pasal 7 [2] justru menjadi legalisasi perkawinan anak. Pada lima tahun terakhir permohonan dispensasi yang dikabulkan meningkat signifikan: 6.488 (2016), 11.819 (2017), 12.504 (2018), 23.126 (2019), dan 64.211 (2020). Sebagian alasan pengajuan dispensasi ialah karena ekonomi dan kehamilan di luar pernikahan. Untuk itu, pemberlakuan Pasal 7 [2] sebaiknya diperketat pemenuhannya, terutama dari aspek persyaratan. Bahkan jika diperlukan dapat diamendemen dengan peraturan atau undang-undang yang baru.
Usaha hukum yang tidak kalah penting adalah penegakan UU Nomor 1/1974 yang mensyaratkan sahnya perkawinan apabila dicatat secara resmi di KUA atau catatan sipil. Sudah seharusnya perkawinan siri yang tidak tercatat dilarang dengan sanksi hukum yang tegas. Banyak kasus di mana perkawinan siri justru menjadi alibi “prostitusi religius” sebagaimana terlihat dari merebaknya jasa perkawinan siri baik yang online maupun melalui lembaga keagamaan tertentu. Perkawinan siri juga menjadi sebab terjadinya subordinasi dan eksploitasi seksual kaum perempuan yang bertentangan dengan tujuan perkawinan. Salah satu konteks disyariatkannya perkawinan adalah untuk menghapuskan perzinaan serta melindungi dan mengangkat harkat perempuan. Tidak adanya dokumen perkawinan menimbulkan masalah keluarga bagi istri dan anak-anak khususnya yang terkait dengan hak nasab dan waris. Secara hukum dan politik, perkawinan siri menimbulkan dikotomi hukum agama dengan hukum negara. Sesuai dengan prinsip negara hukum, semua perkawinan harus sesuai dengan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Kedua, jalur pendidikan. Diperlukan komitmen dan konsistensi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan UUD 1945, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 80/2013. Sesuai dengan Permendikbud 80/2013, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan menengah universal (PMU) di antaranya wajib belajar 12 tahun. Melalui PMU diharapkan 97% warga negara Indonesia yang berusia 16-18 tahun menamatkan pendidikan tingkat menengah. Pemenuhan pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia menuju generasi emas 2045 dan dapat menurunkan angka perkawinan anak karena mereka masih duduk di bangku sekolah. Sangat disayangkan, komitmen dan konsistensi pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun masih sangat rendah.
Jalur pendidikan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesempatan dan akses mereka yang menikah pada usia dini untuk menempuh studi di jalur pendidikan nonformal. Berkeluarga tidak boleh menjadi halangan bagi mereka untuk mendapatkan hak pendidikan. Kesempatan belajar pada pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dalam bentuk pendidikan kesetaraan dan kursus akan sangat bermakna. Ijazah pendidikan kesetaraan memungkinkan seseorang belajar di jenjang pendidikan tinggi. Sertifikat kursus membuka akses memasuki dunia kerja di sektor formal dan profesional. Perlu afirmasi agar perkawinan anak tidak memupus harapan anak meraih pendidikan dan masa depan yang gemilang.
Ketiga, jalur media massa dan media sosial. Peran media massa dalam sosialisasi berbagai regulasi dan literasi perkawinan sangatlah penting. Media juga dapat berperan sebagai institusi kontrol dan advokasi terhadap praktik perkawinan anak. Terakhir, jalur keagamaan. Fikih perkawinan lama yang sudah usang, tidak zamani, dan out of date perlu direvisi, khususnya yang terkait dengan nikah siri dan definisi aqil-baligh. Reinterpretasi dan rekonstruksi atas kedua masalah tersebut begitu diperlukan. Ajaran Islam tentang keharusan adanya saksi pernikahan dan anjuran menyelenggarakan walimatul’ursy dan kewajiban menghadirinya mengandung pesan bahwa pernikahan harus dilaksanakan secara terbuka dan tercatat dalam memori kolektif masyarakat sebagai “dokumen publik”. Aqil-baligh adalah definisi kecerdasan intelektual, mental, moral, dan spiritual, bukan sebatas reproduksi seksual. Pandangan aqil-baligh sebagai proses reproduksi bertentangan dengan hakikat dan tujuan syariat (maqashid al-syariah) perkawinan.
Perkawinan anak adalah masalah bangsa. Diperlukan penanganan yang saksama oleh seluruh elemen bangsa. Perkawinan adalah lembaga yang menentukan ketahanan keluarga dan kemajuan bangsa. Saatnya bergerak bersama melalui penegakan regulasi, lembaga sosial, kegiatan keagamaan, media, dan pendidikan. Mencegah perzinaan dan menyelamatkan moral bangsa sangatlah penting dan harus diutamakan. Akan tetapi, solusi yang tepat bukanlah perkawinan anak. Solusi yang sangat penting adalah memperkuat pendidikan agama di lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga.
Pernikahan adalah sebagian dari ajaran Agama. Tujuan pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang bahagia, sejahtera, penuh kasih dan sayang (QS Ar-Rum [3]: 21). Keluarga adalah lembaga sosial dan fondasi yang menentukan kekuatan dan kemajuan bangsa. Agama mengajarkan pentingnya meninggalkan generasi yang kuat (QS An-Nisa [4]: 9) baik secara fisik, intelektual, maupun moral. Perkawinan adalah sarana regenerasi yang legal dan bermoral, bukan semata sarana reproduksi. Karena itu perkawinan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Betapapun “tidak melanggar” hukum agama dan negara, perkawinan anak tetaplah mengandung banyak mafsadat, potensi menimbulkan kerusakan dan berbagai masalah sosial yang kompleks. Diperlukan usaha bersama oleh semua pihak agar perkawinan anak dapat dikurangi atau ditiadakan. Pertama, usaha melalui jalur hukum dan perundang-undangan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 sebagaimana diubah dengan UU 16/2019 menyebutkan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila mempelai laki-laki dan perempuan berusia sekurang-kurangnya 19 tahun (Pasal 7 [1]). Akan tetapi, Pasal 7a ini justru “dilemahkan” dengan Pasal 7 [2] tentang dispensasi pemenuhan usia perkawinan karena alasan mendesak. Pasal 7 [2] justru menjadi legalisasi perkawinan anak. Pada lima tahun terakhir permohonan dispensasi yang dikabulkan meningkat signifikan: 6.488 (2016), 11.819 (2017), 12.504 (2018), 23.126 (2019), dan 64.211 (2020). Sebagian alasan pengajuan dispensasi ialah karena ekonomi dan kehamilan di luar pernikahan. Untuk itu, pemberlakuan Pasal 7 [2] sebaiknya diperketat pemenuhannya, terutama dari aspek persyaratan. Bahkan jika diperlukan dapat diamendemen dengan peraturan atau undang-undang yang baru.
Usaha hukum yang tidak kalah penting adalah penegakan UU Nomor 1/1974 yang mensyaratkan sahnya perkawinan apabila dicatat secara resmi di KUA atau catatan sipil. Sudah seharusnya perkawinan siri yang tidak tercatat dilarang dengan sanksi hukum yang tegas. Banyak kasus di mana perkawinan siri justru menjadi alibi “prostitusi religius” sebagaimana terlihat dari merebaknya jasa perkawinan siri baik yang online maupun melalui lembaga keagamaan tertentu. Perkawinan siri juga menjadi sebab terjadinya subordinasi dan eksploitasi seksual kaum perempuan yang bertentangan dengan tujuan perkawinan. Salah satu konteks disyariatkannya perkawinan adalah untuk menghapuskan perzinaan serta melindungi dan mengangkat harkat perempuan. Tidak adanya dokumen perkawinan menimbulkan masalah keluarga bagi istri dan anak-anak khususnya yang terkait dengan hak nasab dan waris. Secara hukum dan politik, perkawinan siri menimbulkan dikotomi hukum agama dengan hukum negara. Sesuai dengan prinsip negara hukum, semua perkawinan harus sesuai dengan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Kedua, jalur pendidikan. Diperlukan komitmen dan konsistensi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan UUD 1945, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 80/2013. Sesuai dengan Permendikbud 80/2013, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan menengah universal (PMU) di antaranya wajib belajar 12 tahun. Melalui PMU diharapkan 97% warga negara Indonesia yang berusia 16-18 tahun menamatkan pendidikan tingkat menengah. Pemenuhan pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia menuju generasi emas 2045 dan dapat menurunkan angka perkawinan anak karena mereka masih duduk di bangku sekolah. Sangat disayangkan, komitmen dan konsistensi pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun masih sangat rendah.
Jalur pendidikan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesempatan dan akses mereka yang menikah pada usia dini untuk menempuh studi di jalur pendidikan nonformal. Berkeluarga tidak boleh menjadi halangan bagi mereka untuk mendapatkan hak pendidikan. Kesempatan belajar pada pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dalam bentuk pendidikan kesetaraan dan kursus akan sangat bermakna. Ijazah pendidikan kesetaraan memungkinkan seseorang belajar di jenjang pendidikan tinggi. Sertifikat kursus membuka akses memasuki dunia kerja di sektor formal dan profesional. Perlu afirmasi agar perkawinan anak tidak memupus harapan anak meraih pendidikan dan masa depan yang gemilang.
Ketiga, jalur media massa dan media sosial. Peran media massa dalam sosialisasi berbagai regulasi dan literasi perkawinan sangatlah penting. Media juga dapat berperan sebagai institusi kontrol dan advokasi terhadap praktik perkawinan anak. Terakhir, jalur keagamaan. Fikih perkawinan lama yang sudah usang, tidak zamani, dan out of date perlu direvisi, khususnya yang terkait dengan nikah siri dan definisi aqil-baligh. Reinterpretasi dan rekonstruksi atas kedua masalah tersebut begitu diperlukan. Ajaran Islam tentang keharusan adanya saksi pernikahan dan anjuran menyelenggarakan walimatul’ursy dan kewajiban menghadirinya mengandung pesan bahwa pernikahan harus dilaksanakan secara terbuka dan tercatat dalam memori kolektif masyarakat sebagai “dokumen publik”. Aqil-baligh adalah definisi kecerdasan intelektual, mental, moral, dan spiritual, bukan sebatas reproduksi seksual. Pandangan aqil-baligh sebagai proses reproduksi bertentangan dengan hakikat dan tujuan syariat (maqashid al-syariah) perkawinan.
Perkawinan anak adalah masalah bangsa. Diperlukan penanganan yang saksama oleh seluruh elemen bangsa. Perkawinan adalah lembaga yang menentukan ketahanan keluarga dan kemajuan bangsa. Saatnya bergerak bersama melalui penegakan regulasi, lembaga sosial, kegiatan keagamaan, media, dan pendidikan. Mencegah perzinaan dan menyelamatkan moral bangsa sangatlah penting dan harus diutamakan. Akan tetapi, solusi yang tepat bukanlah perkawinan anak. Solusi yang sangat penting adalah memperkuat pendidikan agama di lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda