Perkawinan Anak dan Pendidikan
Selasa, 28 Desember 2021 - 12:11 WIB
Abdul Mu’ti
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
INDONESIA salah satu negara yang memiliki angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Pada 2018, satu dari sembilan perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Walaupun secara statistik tren perkawinan anak menurun, Indonesia masih menempati peringkat ke-10 di dunia dan kedua di ASEAN. Seperti diberitakan KORAN SINDO (20/12), persentase perkawinan anak di Indonesia tercatat 11,54 % (2017), 11,21 % (2018), 10,82 % (2019), dan 10,19% (2020). Pemerintah berencana menurunkannya menjadi 8,74% (2024) dan 6,94 % (2030).
Perkawinan anak berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan: kesehatan, ekonomi, sosial, moral, pendidikan dan sebagainya. Indonesia adalah negara dengan angka stunting yang cukup tinggi (27,7%), jauh di atas ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia atau WHO (20%). Salah satu penyebab stunting adalah perkawinan anak. Ibu yang hamil di usia dini cenderung kekurangan gizi. Angka perceraian di kalangan pasangan muda relatif tinggi disebabkan oleh masalah ekonomi serta kurangnya kematangan psikologis, mental, dan spiritual. Akibat perkawinan dini, banyak anak–terutama perempuan—kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. Dalam laporan berjudul SDGs dan Anak-Anak di Indonesia (2016) Unicef menyebutkan 4,5 juta remaja 17-18 tahun tidak melanjutkan sekolah.
Faktor Sosial Keagamaan
Perkawinan anak disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, orang tua menikahkan anak pada usia dini karena alasan ekonomi. Dengan berkeluarga, tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami. Kedua, karena nilai-nilai dan tradisi masyarakat. Orang tua merasa malu apabila anaknya menjadi “perawan tua”. Pada masyarakat tertentu terdapat kebanggaan apabila anak perempuan menikah dini. Tidak ada beban sosial dengan perceraian. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang memegang tradisi perceraian sebagai suatu “prestise”.
Faktor lainnya adalah pendidikan. Anak-anak yang putus sekolah atau tidak tamat pendidikan menengah cenderung menikah dini. Pada tingkat tertentu, sekolah bisa menjadi alasan untuk menunda perkawinan. Rendahnya pendidikan juga memengaruhi literasi perkawinan dan hal-hal yang terkait dengan reproduksi, nutrisi, dan pengasuhan anak. Menurut data BPS (2020), 15,24% perkawinan anak terjadi di wilayah perdesaan dan 6,82 % di perkotaan.
Keempat, perkawinan anak dipengaruhi oleh faktor keagamaan. Sebagian umat beragama berpendapat bahwa perkawinan dini untuk mencegah atau menghindari perzinaan akibat pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan sebagainya. Risiko perzinaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkawinan dini. Masalah ekonomi dapat dibantu orang tua masing-masing. Mereka juga tetap berkesempatan melanjutkan pendidikan di jalur pendidikan informal atau pendidikan nonformal. Sepanjang sudah aqil-baligh, perkawinan anak tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mayoritas umat Islam berpendapat perkawinan dapat dilangsungkan apabila mempelai sudah aqil-baligh. Laki-laki dapat dikatakan telah aqil-baligh apabila telah mimpi basah (ihtilam), pada umumnya 15 tahun. Aqil-baligh bagi perempuan apabila telah menstruasi alias haid, sekitar 9 tahun.
Pendapat tersebut didasarkan atas riwayat yang menyebutkan Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah yang berusia 9 tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa karena masih kanak-kanak, Aisyah masih suka bermain boneka. Karena tidak sesuai Undang-Undang Perkawinan, orang tua menikahkan anak pada usia dini melalui dua cara, yaitu pernikahan siri dan mengajukan dispensasi perkawinan. Masyarakat menyebut perkawinan siri sebagai “perkawinan agama” dan perkawinan di kantor urusan agama (KUA) sebagai “perkawinan negara”. Dalam praktiknya, ada yang menikah siri dan mengajukan “pernikahan resmi” setelah memenuhi persyaratan. Atau, mengajukan dispensasi sebagai syarat menikah secara resmi. Sekarang ini muncul gerakan “perkawinan dini” dengan alasan agama.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
INDONESIA salah satu negara yang memiliki angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Pada 2018, satu dari sembilan perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Walaupun secara statistik tren perkawinan anak menurun, Indonesia masih menempati peringkat ke-10 di dunia dan kedua di ASEAN. Seperti diberitakan KORAN SINDO (20/12), persentase perkawinan anak di Indonesia tercatat 11,54 % (2017), 11,21 % (2018), 10,82 % (2019), dan 10,19% (2020). Pemerintah berencana menurunkannya menjadi 8,74% (2024) dan 6,94 % (2030).
Perkawinan anak berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan: kesehatan, ekonomi, sosial, moral, pendidikan dan sebagainya. Indonesia adalah negara dengan angka stunting yang cukup tinggi (27,7%), jauh di atas ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia atau WHO (20%). Salah satu penyebab stunting adalah perkawinan anak. Ibu yang hamil di usia dini cenderung kekurangan gizi. Angka perceraian di kalangan pasangan muda relatif tinggi disebabkan oleh masalah ekonomi serta kurangnya kematangan psikologis, mental, dan spiritual. Akibat perkawinan dini, banyak anak–terutama perempuan—kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. Dalam laporan berjudul SDGs dan Anak-Anak di Indonesia (2016) Unicef menyebutkan 4,5 juta remaja 17-18 tahun tidak melanjutkan sekolah.
Faktor Sosial Keagamaan
Perkawinan anak disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, orang tua menikahkan anak pada usia dini karena alasan ekonomi. Dengan berkeluarga, tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami. Kedua, karena nilai-nilai dan tradisi masyarakat. Orang tua merasa malu apabila anaknya menjadi “perawan tua”. Pada masyarakat tertentu terdapat kebanggaan apabila anak perempuan menikah dini. Tidak ada beban sosial dengan perceraian. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang memegang tradisi perceraian sebagai suatu “prestise”.
Faktor lainnya adalah pendidikan. Anak-anak yang putus sekolah atau tidak tamat pendidikan menengah cenderung menikah dini. Pada tingkat tertentu, sekolah bisa menjadi alasan untuk menunda perkawinan. Rendahnya pendidikan juga memengaruhi literasi perkawinan dan hal-hal yang terkait dengan reproduksi, nutrisi, dan pengasuhan anak. Menurut data BPS (2020), 15,24% perkawinan anak terjadi di wilayah perdesaan dan 6,82 % di perkotaan.
Keempat, perkawinan anak dipengaruhi oleh faktor keagamaan. Sebagian umat beragama berpendapat bahwa perkawinan dini untuk mencegah atau menghindari perzinaan akibat pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan sebagainya. Risiko perzinaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkawinan dini. Masalah ekonomi dapat dibantu orang tua masing-masing. Mereka juga tetap berkesempatan melanjutkan pendidikan di jalur pendidikan informal atau pendidikan nonformal. Sepanjang sudah aqil-baligh, perkawinan anak tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mayoritas umat Islam berpendapat perkawinan dapat dilangsungkan apabila mempelai sudah aqil-baligh. Laki-laki dapat dikatakan telah aqil-baligh apabila telah mimpi basah (ihtilam), pada umumnya 15 tahun. Aqil-baligh bagi perempuan apabila telah menstruasi alias haid, sekitar 9 tahun.
Pendapat tersebut didasarkan atas riwayat yang menyebutkan Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah yang berusia 9 tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa karena masih kanak-kanak, Aisyah masih suka bermain boneka. Karena tidak sesuai Undang-Undang Perkawinan, orang tua menikahkan anak pada usia dini melalui dua cara, yaitu pernikahan siri dan mengajukan dispensasi perkawinan. Masyarakat menyebut perkawinan siri sebagai “perkawinan agama” dan perkawinan di kantor urusan agama (KUA) sebagai “perkawinan negara”. Dalam praktiknya, ada yang menikah siri dan mengajukan “pernikahan resmi” setelah memenuhi persyaratan. Atau, mengajukan dispensasi sebagai syarat menikah secara resmi. Sekarang ini muncul gerakan “perkawinan dini” dengan alasan agama.
Lihat Juga :
tulis komentar anda