Refleksi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Minggu, 19 Desember 2021 - 03:35 WIB
Dampak dari pengangguran ini, secara nyata dirasakan oleh masyarakat di tingkat bawah. Tanggal 15 Desember 2021 lalu, sedikitnya 11 orang calon PMI ilegal meninggal dunia dan 27 orang belum ditemukan setelah perahu yang membawa mereka ke Malaysia untuk bekerja tenggelam di laut karena cuaca dan badai di Malaysia Selatan. Bahkan menurut laporan, perahu yang mereka tumpangi diyakini membawa tidak kurang dari 60 orang calon pekerja. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, karena pemerintah hingga saat ini tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi warganya.
Ketiga, pada medio Agustus dan September 2020, pemerintah gagal memberangkatkan calon pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Hal ini merupakan dampak dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No.151/2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Namun disisi lain, pemerintah tidak menyiapkan sebuah kebijakan yang bisa memberikan solusi atas kegagalan pemberangkatan tersebut. Padahal setidaknya menurut data dari Migrant Care ada sekitar 43 ribu calon PMI yang akhirnya terkatung-katung di tempat penampungan. Ada pendapat bahwa PMI yang gagal berangkat akan mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan mengakses Kartu Prakerja, tetapi hal itu masih belum jelas seperti apa implementasinya di lapangan.
Keempat, kebijakan zero cost penempatan PMI. Pemerintah melalui BP2MI telah mengeluarkan Peraturan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI. Namun, peraturan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang justru memberikan jalan kepada perbankan untuk menyalurkan pinjaman dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit tanpa agunan kepada PMI untuk membayar biaya penempatannya. Di lapangan kebijakan zero cost tersebut masih belum diimplementasikan secara menyeluruh. Karena para calon PMI tetap harus mengeluarkan uang untuk membayar kepada calo, sponsor, dan PT yang akan memberangkatkan mereka. Selain itu, ketika pembiayaan untuk calon PMI dibebankan kepada daerah, justru menimbulkan masalah baru bagi daerah yang secara anggaran mereka minim.
Kelima, pemerintah melalui BP2MI mengeluarkan Peraturan No. 01 Tahun 2020 yang isinya adalah bahwa per 1 Januari 2022 jika PMI ingin memperpanjang kontrak (renew) atau berganti majikan (transfer) harus menyertakan salinan surat persetujuan dari suami atau istri, orang tua atau wali yang diketahui oleh Kepala Desa atau Lurah setempat. Kami memahami, maksud dan tujuan peraturan tersebut baik yaitu ingin melindungi PMI dan memastikan jika PMI yang bekerja mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Namun yang harus dipastikan oleh pemerintah adalah jangan sampai peraturan ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan "pemerasan" kepada PMI. Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari PMI bahwa ada oknum yang meminta sejumlah uang untuk proses pengurusan surat perpanjangan tersebut di daerahnya. Oknum-oknum seperti inilah yang harus ditertibkan oleh pemerintah. Pastikan bahwa kebijakan itu diberlakukan tanpa membebani PMI maupun keluarganya.
Keenam, masih maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dialami oleh PMI. Hal ini berdasarkan data yang disampaikan oleh International Organization for Migration (IOM) di Indonesia, bahwa selama tahun 2020, jumlah kasus Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang diterima IOM meningkat menjadi 154 kasus. Kenaikan kasus tersebut tidak hanya terjadi lintas negara, tetapi juga di dalam negeri. Kenaikan kasus tersebut juga diperkuat dengan catatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bahwa jumlah permohonan pelindungan saksi/korban TPPO yang diterima LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen di tahun 2020.
Terakhir, ingin kami tegaskan bahwa PMI mempunyai potensi memberikan devisa yang sangat besar kepeda pemerintah. Namun di sisi lain mereka adalah kelompok rentan yang harus dilindungi dan didampingi dengan kebijakan dan peraturan yang bisa memperkuat kerentanan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan perbaikan-perbaikan yang lebih serius, terstruktur, dan maksimal dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh PMI. Kami ingin pemerintah memastikan agar PMI yang bekerja di luar negeri, mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang maksimal, terutama ketika mereka mengalami berbagai masalah. Begitu juga dengan keluarga yang ditinggal di Tanah Air, harus bisa mendapatkan akses komunikasi yang optimal. Harapan kami ke depan, PMI harus bisa sukses di rantau, kemudian mandiri di negeri sendiri!
Ketiga, pada medio Agustus dan September 2020, pemerintah gagal memberangkatkan calon pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Hal ini merupakan dampak dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No.151/2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Namun disisi lain, pemerintah tidak menyiapkan sebuah kebijakan yang bisa memberikan solusi atas kegagalan pemberangkatan tersebut. Padahal setidaknya menurut data dari Migrant Care ada sekitar 43 ribu calon PMI yang akhirnya terkatung-katung di tempat penampungan. Ada pendapat bahwa PMI yang gagal berangkat akan mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan mengakses Kartu Prakerja, tetapi hal itu masih belum jelas seperti apa implementasinya di lapangan.
Keempat, kebijakan zero cost penempatan PMI. Pemerintah melalui BP2MI telah mengeluarkan Peraturan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI. Namun, peraturan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang justru memberikan jalan kepada perbankan untuk menyalurkan pinjaman dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit tanpa agunan kepada PMI untuk membayar biaya penempatannya. Di lapangan kebijakan zero cost tersebut masih belum diimplementasikan secara menyeluruh. Karena para calon PMI tetap harus mengeluarkan uang untuk membayar kepada calo, sponsor, dan PT yang akan memberangkatkan mereka. Selain itu, ketika pembiayaan untuk calon PMI dibebankan kepada daerah, justru menimbulkan masalah baru bagi daerah yang secara anggaran mereka minim.
Kelima, pemerintah melalui BP2MI mengeluarkan Peraturan No. 01 Tahun 2020 yang isinya adalah bahwa per 1 Januari 2022 jika PMI ingin memperpanjang kontrak (renew) atau berganti majikan (transfer) harus menyertakan salinan surat persetujuan dari suami atau istri, orang tua atau wali yang diketahui oleh Kepala Desa atau Lurah setempat. Kami memahami, maksud dan tujuan peraturan tersebut baik yaitu ingin melindungi PMI dan memastikan jika PMI yang bekerja mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Namun yang harus dipastikan oleh pemerintah adalah jangan sampai peraturan ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan "pemerasan" kepada PMI. Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari PMI bahwa ada oknum yang meminta sejumlah uang untuk proses pengurusan surat perpanjangan tersebut di daerahnya. Oknum-oknum seperti inilah yang harus ditertibkan oleh pemerintah. Pastikan bahwa kebijakan itu diberlakukan tanpa membebani PMI maupun keluarganya.
Keenam, masih maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dialami oleh PMI. Hal ini berdasarkan data yang disampaikan oleh International Organization for Migration (IOM) di Indonesia, bahwa selama tahun 2020, jumlah kasus Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang diterima IOM meningkat menjadi 154 kasus. Kenaikan kasus tersebut tidak hanya terjadi lintas negara, tetapi juga di dalam negeri. Kenaikan kasus tersebut juga diperkuat dengan catatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bahwa jumlah permohonan pelindungan saksi/korban TPPO yang diterima LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen di tahun 2020.
Terakhir, ingin kami tegaskan bahwa PMI mempunyai potensi memberikan devisa yang sangat besar kepeda pemerintah. Namun di sisi lain mereka adalah kelompok rentan yang harus dilindungi dan didampingi dengan kebijakan dan peraturan yang bisa memperkuat kerentanan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan perbaikan-perbaikan yang lebih serius, terstruktur, dan maksimal dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh PMI. Kami ingin pemerintah memastikan agar PMI yang bekerja di luar negeri, mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang maksimal, terutama ketika mereka mengalami berbagai masalah. Begitu juga dengan keluarga yang ditinggal di Tanah Air, harus bisa mendapatkan akses komunikasi yang optimal. Harapan kami ke depan, PMI harus bisa sukses di rantau, kemudian mandiri di negeri sendiri!
(rca)
tulis komentar anda