Antisipasi Serangan Kedua Covid di Ibu Kota
Selasa, 09 Juni 2020 - 07:05 WIB
Mulai Jumat (5/6) lalu, aura lega dan bahagia tampak terpotret jelas di wajah-wajah sebagian besar warga DKI Jakarta. Kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang merupakan menjadi strategi Pemprov DKI menuju tata kehidupan baru mendapat respons positif. Di hari pertama, masjid-masjid langsung dibuka lebar untuk jamaah salat Jumat.
Kegembiraan ini wajar. Tak kurang tiga bulan lamanya, warga telah ikhlas berdiam diri di rumah mematuhi anjuran pemerintah demi bisa memutus rantai persebaran virus korona. Kegembiraan tambah luar biasa kemarin saat Pemprov DKI juga mulai mengizinkan perkantoran dibuka lagi. Kendati secara sembunyi-sembunyi selama ini perkantoran sudah banyak yang beroperasi, kebijakan resmi itu membuat aktivitas ekonomi diyakini tak lagi mati suri.
Ketika pekerja ngantor lagi, sektor lain yang melingkupinya pasti akan ikut bergerak. Dari angkutan umum, tukang ojek, jasa pengiriman, warung makan, warung kelontong, toko, hingga perhotelan. Apalagi, pekan ini selain perkantoran, sektor yang mulai diizinkan buka juga sudah menyasar bidang kebudayaan, sosial, dan sebagainya. Praktis, Jakarta sebagai jantung negara Indonesia seolah kian berdetak dan mendekati situasi normal. Pekan depan, pasar dan mal juga resmi dibuka. Ketika sektor ini beroperasi, aktivitas warga Jakarta pun bakal menjadi lebih tinggi lagi.
Di tengah ikhtiar transisi yang di satu sisi menciptakan rasa optimisme tinggi warga Jakarta tersebut, namun sejatinya ada masalah besar yang patut diwaspadai. Tak sekadar masalah rutin seperti lalu lintas kota, keamanan, atau lainnya, namun justru kesehatan warga itu sendiri di tengah pandemi Covid. Di saat banyak sektor dihidupkan lagi maka mobilitas warga, baik pekerja, pedagang, hingga anak-anak menjadi tak terhindarkan. Interaksi antarwarga meningkat di berbagai tempat. Ketika pasar dibuka, misalnya, tentu sulit membatasi orang dari berbagai asal untuk datang.
Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana para petugas di lapangan nanti mampu bekerja maksimal melakukan pengawasan jika personelnya terbatas? Bagaimana pula kemampuan pemerintah mengontrol aktivitas pekerja? Apakah benar protokol kesehatan yang menjadi syarat mutlak operasional perkantoran dan sektor-sektor lain itu bisa terpenuh? Benar bahwa Pemerintah Provinsi DKI telah membuat skenario kebijakan pelonggaran ini tak diberlakukan di wilayah yang dikategorikan zona merah atau dengan kasus Covid masih tinggi. Namun, lagi-lagi, sejauh mana aparat mampu melakukan kontrol penuh selama 24 jam pergerakan warga di zona-zona bahaya itu?
Atas dasar ini, di saat warga bahagia bisa bekerja, bisa ke pasar, ke mal, ke restoran, dan tempat hiburan lagi, sejatinya, tengah dihadapkan pada ujian besar. Hari-hari ini pun menjadi sangat menentukan bagi keberlangsungan kehidupan warga Jakarta ke depan. Sekali warga lengah, abai, dan tak acuh dengan protokol kesehatan serta sederet aturan yang telah dibuat pemerintah, potensi munculnya gelombang kedua serangan Covid-19 di Ibu Kota tak terelakkan lagi.
Tak salah kiranya, banyak pihak memprediksi pada Juli nanti diprediksi angka kasus Covid di Jakarta akan melonjak lagi. Prediksi itu tak berlebihan. Melihat tingkat kedisiplinan warga yang rendah, pengawasan terbatas, dan regulasi yang kerap ‘memble’ di lapangan, ancaman itu sangat mungkin terjadi.
Tentu, kita tidak ingin ancaman itu benar-benar terjadi. Namun, melihat kasus di beberapa negara lain seperti Wuhan, China, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, tampaknya hal ini tak bisa dientengkan. Kota-kota yang memiliki kedisiplinan warga tinggi saja masih terserang Covid kedua setelah pelonggaran, bagaimana dengan Jakarta yang relatif longgar? Semoga saja itu tidak benar terjadi.
Kegembiraan ini wajar. Tak kurang tiga bulan lamanya, warga telah ikhlas berdiam diri di rumah mematuhi anjuran pemerintah demi bisa memutus rantai persebaran virus korona. Kegembiraan tambah luar biasa kemarin saat Pemprov DKI juga mulai mengizinkan perkantoran dibuka lagi. Kendati secara sembunyi-sembunyi selama ini perkantoran sudah banyak yang beroperasi, kebijakan resmi itu membuat aktivitas ekonomi diyakini tak lagi mati suri.
Ketika pekerja ngantor lagi, sektor lain yang melingkupinya pasti akan ikut bergerak. Dari angkutan umum, tukang ojek, jasa pengiriman, warung makan, warung kelontong, toko, hingga perhotelan. Apalagi, pekan ini selain perkantoran, sektor yang mulai diizinkan buka juga sudah menyasar bidang kebudayaan, sosial, dan sebagainya. Praktis, Jakarta sebagai jantung negara Indonesia seolah kian berdetak dan mendekati situasi normal. Pekan depan, pasar dan mal juga resmi dibuka. Ketika sektor ini beroperasi, aktivitas warga Jakarta pun bakal menjadi lebih tinggi lagi.
Di tengah ikhtiar transisi yang di satu sisi menciptakan rasa optimisme tinggi warga Jakarta tersebut, namun sejatinya ada masalah besar yang patut diwaspadai. Tak sekadar masalah rutin seperti lalu lintas kota, keamanan, atau lainnya, namun justru kesehatan warga itu sendiri di tengah pandemi Covid. Di saat banyak sektor dihidupkan lagi maka mobilitas warga, baik pekerja, pedagang, hingga anak-anak menjadi tak terhindarkan. Interaksi antarwarga meningkat di berbagai tempat. Ketika pasar dibuka, misalnya, tentu sulit membatasi orang dari berbagai asal untuk datang.
Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana para petugas di lapangan nanti mampu bekerja maksimal melakukan pengawasan jika personelnya terbatas? Bagaimana pula kemampuan pemerintah mengontrol aktivitas pekerja? Apakah benar protokol kesehatan yang menjadi syarat mutlak operasional perkantoran dan sektor-sektor lain itu bisa terpenuh? Benar bahwa Pemerintah Provinsi DKI telah membuat skenario kebijakan pelonggaran ini tak diberlakukan di wilayah yang dikategorikan zona merah atau dengan kasus Covid masih tinggi. Namun, lagi-lagi, sejauh mana aparat mampu melakukan kontrol penuh selama 24 jam pergerakan warga di zona-zona bahaya itu?
Atas dasar ini, di saat warga bahagia bisa bekerja, bisa ke pasar, ke mal, ke restoran, dan tempat hiburan lagi, sejatinya, tengah dihadapkan pada ujian besar. Hari-hari ini pun menjadi sangat menentukan bagi keberlangsungan kehidupan warga Jakarta ke depan. Sekali warga lengah, abai, dan tak acuh dengan protokol kesehatan serta sederet aturan yang telah dibuat pemerintah, potensi munculnya gelombang kedua serangan Covid-19 di Ibu Kota tak terelakkan lagi.
Tak salah kiranya, banyak pihak memprediksi pada Juli nanti diprediksi angka kasus Covid di Jakarta akan melonjak lagi. Prediksi itu tak berlebihan. Melihat tingkat kedisiplinan warga yang rendah, pengawasan terbatas, dan regulasi yang kerap ‘memble’ di lapangan, ancaman itu sangat mungkin terjadi.
Tentu, kita tidak ingin ancaman itu benar-benar terjadi. Namun, melihat kasus di beberapa negara lain seperti Wuhan, China, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, tampaknya hal ini tak bisa dientengkan. Kota-kota yang memiliki kedisiplinan warga tinggi saja masih terserang Covid kedua setelah pelonggaran, bagaimana dengan Jakarta yang relatif longgar? Semoga saja itu tidak benar terjadi.
(mhd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda