Tendensi Elitisme Politik yang Berpotensi Terulang
Kamis, 16 Desember 2021 - 14:44 WIB
Dengan kualitas tersebut, tentu diperlukan berbagai terobosan penting (significant breakthrough) yang dapat mengantar bangsa kita ini terbebas dari tatanan politik yang berorientasi anti-demokrasi atau elitisme itu. Setidaknya ada enam hal yang patut diperhatikan untuk mengembalikan situasi. Pertama, adanya terobosan kepemimpinan. Suatu perubahan demokrasi yang signfikan akan dapat diraih manakala ada komitmen kuat dari pemangku kekuasaan untuk melakukan penghormatan, penguatan dan perlindungan atas nilai-nilai dan praktik demokrasi. Inisiatif ini khususnya dapat dilakukan oleh para pejabat tinggi negara.
Kedua, menguatkan kembali peran dan fungsi parlemen dan kehakiman sebagai bagian dari cabang trias politica. Checks and balances harus benar ditegakkan secara objektif dan berkesinambungan, guna menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan elite. Ketiga, pengembalian peran dan fungsi partai politik sebagaimana mestinya. Partai politik sebagai elemen terpenting demokrasi dan kehidupan politik harus berperan sebagai mesin demokrasi yang efektif, yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi utamanya. Untuk itu partai harus dikelola secara terlembaga, modern dan demokratis.
Keempat, soliditas civil society sebagai elemen watch dog dan partner kritis bagi jalannya pemerintahan. Manakala ini dapat diperankan secara baik maka peluang terlindungi dan terdengarnya aspirasi masyarakat menjadi lebih terbuka lebar. Kelima, penguatan ekonomi dan pemahaman politik rakyat banyak. Ini penting terutama demi mencegah meluasnya manipulasi dan praktik politik pragmatis di masyarakat. Kemandirian ekonomi dan kesadaran politik juga penting untuk turut mendorong pembangunan lingkungan sosio-politik yang lebih sehat dan kondusif bagi peningkatan mutu demokrasi.
Keenam, terobosan hukum. Problem besar lainnya adalah terutama terkait dengan aturan yang belum cukup kondusif bagi penguatan demokrasi. Di satu sisi, terdapat aturan-aturan yang masih membawa potensi terberangusnya partisipasi politik yang terhambat dan ekonomi biaya politik tinggi, termasuk misalnya aturan mengenai presidential threshold. Di sisi lain, masih terdapat kebijakan-kebijakan yang harusnya mendorong penguatan kualitas kaderisasi dan penguatan kemandirian keuangan partai politik yang belum tergarap.
Persoalannya adalah apakah kesemua faktor tersebut di atas akan dapat dipenuhi dalam waktu yang dekat belakangan ini. Tampak jelas bahwa dari banyak aspeknya masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk benar-benar dapat memenuhi upaya terobosan dan pembenahan tersebut. Sejauh itu semua belum dapat terpenuhi dengan baik, maka upaya untuk membalikkan kondisi demokrasi kita masih sulit dilakukan.
Peringatan Dini di Tahun 2022
Khusus pada 2022, akan menjadi tahun transisional menuju prosesi kontestasi elektoral yang akan mencapai puncaknya pada 2024. Ini harus dikelola dengan baik agar peluang terjadinya berbagai friksi politik yang salah arah tidak terjadi. Dengan adanya tendensi elitisme dalam kehidupan politik, yang ditandai dengan sikap serbapermisif, peluang untuk melakukan manuver politik yang tidak mendewasakan akan semakin terbuka. Dan, ini membuka potensi untuk hadirnya konflik yang akan semakin melebar dan berpotensi menciptkan polarisasi politik di tahun-tahun berikutnya.
Untuk itu jelas perlu dihindari pendekatan politik yang bernuansa abuse of power, yang akan membuat kondisi demokrasi kita menjadi lebih buruk lagi. Selain itu pada 2020 pemerintah harus benar-benar dapat mengarahkan sumber dayanya kepada hal-hal yang prinsipil, dengan mengedepankan prinsip first thing first. Artinya harus fokus mendahulukan persoalan-persoalan yang genting seperti persoalan penanganan Covid-19, perbaikan kehidupan ekonomi-sosial masyarakat, pengentasan ketidakadilan hukum dan praktik political injustice hingga penanganan separatisme di tanah Papua.
Menariknya hal-hal tersebut dalam logika demokrasi sebenarnya bukan hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara partsipasi yang penuh dari seluruh masyarakat serta kontrol dari seluruh elemen bangsa. Artinya, pola pemerintahan demokrasi sejatinya dapat tetap diandalkan dalam menyelesaikan banyak persoalan di Tanah Air kita. Terbukti di beberapa negara, termasuk Selandia Baru, Korea Selatan dan beberapa negara Eropa Barat, berbagai persoalan dapat tetap ditangani secara demokratis meski pandemi Covid-19 tengah melanda. Tentu kita dapat terus belajar dari mereka.
Dengan kenyataan ini pula sesungguhnya semakin tidak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan pola elitisme. Selain spirit eltisime yang anti-demokrasi itu melanggar amanat para pendiri bangsa juga karena negara dan bangsa tercinta ini sejatinya adalah miliki semua kalangan.
Kedua, menguatkan kembali peran dan fungsi parlemen dan kehakiman sebagai bagian dari cabang trias politica. Checks and balances harus benar ditegakkan secara objektif dan berkesinambungan, guna menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan elite. Ketiga, pengembalian peran dan fungsi partai politik sebagaimana mestinya. Partai politik sebagai elemen terpenting demokrasi dan kehidupan politik harus berperan sebagai mesin demokrasi yang efektif, yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi utamanya. Untuk itu partai harus dikelola secara terlembaga, modern dan demokratis.
Keempat, soliditas civil society sebagai elemen watch dog dan partner kritis bagi jalannya pemerintahan. Manakala ini dapat diperankan secara baik maka peluang terlindungi dan terdengarnya aspirasi masyarakat menjadi lebih terbuka lebar. Kelima, penguatan ekonomi dan pemahaman politik rakyat banyak. Ini penting terutama demi mencegah meluasnya manipulasi dan praktik politik pragmatis di masyarakat. Kemandirian ekonomi dan kesadaran politik juga penting untuk turut mendorong pembangunan lingkungan sosio-politik yang lebih sehat dan kondusif bagi peningkatan mutu demokrasi.
Keenam, terobosan hukum. Problem besar lainnya adalah terutama terkait dengan aturan yang belum cukup kondusif bagi penguatan demokrasi. Di satu sisi, terdapat aturan-aturan yang masih membawa potensi terberangusnya partisipasi politik yang terhambat dan ekonomi biaya politik tinggi, termasuk misalnya aturan mengenai presidential threshold. Di sisi lain, masih terdapat kebijakan-kebijakan yang harusnya mendorong penguatan kualitas kaderisasi dan penguatan kemandirian keuangan partai politik yang belum tergarap.
Persoalannya adalah apakah kesemua faktor tersebut di atas akan dapat dipenuhi dalam waktu yang dekat belakangan ini. Tampak jelas bahwa dari banyak aspeknya masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk benar-benar dapat memenuhi upaya terobosan dan pembenahan tersebut. Sejauh itu semua belum dapat terpenuhi dengan baik, maka upaya untuk membalikkan kondisi demokrasi kita masih sulit dilakukan.
Peringatan Dini di Tahun 2022
Khusus pada 2022, akan menjadi tahun transisional menuju prosesi kontestasi elektoral yang akan mencapai puncaknya pada 2024. Ini harus dikelola dengan baik agar peluang terjadinya berbagai friksi politik yang salah arah tidak terjadi. Dengan adanya tendensi elitisme dalam kehidupan politik, yang ditandai dengan sikap serbapermisif, peluang untuk melakukan manuver politik yang tidak mendewasakan akan semakin terbuka. Dan, ini membuka potensi untuk hadirnya konflik yang akan semakin melebar dan berpotensi menciptkan polarisasi politik di tahun-tahun berikutnya.
Untuk itu jelas perlu dihindari pendekatan politik yang bernuansa abuse of power, yang akan membuat kondisi demokrasi kita menjadi lebih buruk lagi. Selain itu pada 2020 pemerintah harus benar-benar dapat mengarahkan sumber dayanya kepada hal-hal yang prinsipil, dengan mengedepankan prinsip first thing first. Artinya harus fokus mendahulukan persoalan-persoalan yang genting seperti persoalan penanganan Covid-19, perbaikan kehidupan ekonomi-sosial masyarakat, pengentasan ketidakadilan hukum dan praktik political injustice hingga penanganan separatisme di tanah Papua.
Menariknya hal-hal tersebut dalam logika demokrasi sebenarnya bukan hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara partsipasi yang penuh dari seluruh masyarakat serta kontrol dari seluruh elemen bangsa. Artinya, pola pemerintahan demokrasi sejatinya dapat tetap diandalkan dalam menyelesaikan banyak persoalan di Tanah Air kita. Terbukti di beberapa negara, termasuk Selandia Baru, Korea Selatan dan beberapa negara Eropa Barat, berbagai persoalan dapat tetap ditangani secara demokratis meski pandemi Covid-19 tengah melanda. Tentu kita dapat terus belajar dari mereka.
Dengan kenyataan ini pula sesungguhnya semakin tidak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan pola elitisme. Selain spirit eltisime yang anti-demokrasi itu melanggar amanat para pendiri bangsa juga karena negara dan bangsa tercinta ini sejatinya adalah miliki semua kalangan.
tulis komentar anda