Tendensi Elitisme Politik yang Berpotensi Terulang

Kamis, 16 Desember 2021 - 14:44 WIB
loading...
Tendensi Elitisme Politik yang Berpotensi Terulang
Firman Noor (Ist)
A A A
Firman Noor
Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN

KEHIDUPAN politik kita hingga menjelang akhir 2021 sejatinya belum banyak beranjak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintahan yang terbentuk tak lama sebelum pandemi Covid-19 melanda merupakan sebuah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang pada umumnya belum melakukan perubahan signifikan dalam kehidupan politik, khususnya dalam hal penguatan kualitas demokrasi. Selain memang ada sejumlah pembenahan dan progres terutama pada bidang ekonomi, khususnya pembangunan infrastruktur, namun problem besar terkait dengan kualitas demokrasi yang kita miliki belum juga terpecahkan, bahkan bagi sebagian kalangan menilainya mengalami penurunan.

Kualitas Demokrasi Kita
Berbagai penilaian objektif dari berbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri, mengindikasikan belum memuaskannya implementasi demokrasi sebagaimana yang kita harapkan. Saat ini kajian beberapa analis politik mengindikasikan terjadinya stagnansi pembangunan demokrasi di Indonesia, bahkan sebagian lagi melihat adanya regresi dengan tendensi otoritarian yang kental (Power 2018, LP3ES 2020). Sebagian lainnya mengatakan bahwa secara substansi oligarki justru menguat dan malah dapat hidup berdampingan (coexist) dengan demokrasi.

Beberapa hal mendasar yang menjadi pokok penilaian itu di antaranya adalah partisipasi publik yang lemah, kebebasan sipil yang terhambat, bercokolnya oligarki, hal ini sejalan dengan biaya politik tinggi, hingga penegakan hukum yang dirasa masih tebang pilih. Beberapa lembaga pemerhati demokrasi, seperti Freedom House dan Economist Intelligent Unit, melalui kajian-kajiannya juga menghasilkan kesimpulan yang tidak kalah mendungnya.

Kualitas demokrasi kita dinilai cenderung menurun dari waktu ke waktu, memosisikan kita sebagai negara yang tidak seutuhnya bebas (sebagai indikator lemahnya demokrasi), memiliki tingkat partisipasi yang menurun, penghormatan atas hak-hak sipil yang melemah, hingga persoalan serius atas penegakan hukum dan korupsi termasuk politik uang. Secara umum, kritik terhadap jalannya demokrasi itu tidak saja mengarah pada praktik politik yang dilakukan pada level negara, namun juga dialamatkan kepada masyarakat. Artinya perilaku masyarakat kita saat ini pada dasarnya turut berkontribusi dengan pelemahan kualitas demokrasi.

Meski beberapa survei nasional menujukkan adanya kepuasan dan apresiasi atas kinerja dan capaian pemerintah, namun kesemuanya dasarnya tidak dengan sendirinya mampu menghindari kenyataan memburuknya demokrasi dan kegagalan menempatkan demokrasi pada posisi yang idealnya. Ini merupakan ironi mengingat perjalanan era Reformasi yang membawa idealisme tegak, kokoh dan meluasnya praktik demokrasi dalam kehidupan politik kita, justru dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami kecenderungan elitisme.

Perlu Beberapa Terobosan dan Pembenahan
Dengan kualitas tersebut, tentu diperlukan berbagai terobosan penting (significant breakthrough) yang dapat mengantar bangsa kita ini terbebas dari tatanan politik yang berorientasi anti-demokrasi atau elitisme itu. Setidaknya ada enam hal yang patut diperhatikan untuk mengembalikan situasi. Pertama, adanya terobosan kepemimpinan. Suatu perubahan demokrasi yang signfikan akan dapat diraih manakala ada komitmen kuat dari pemangku kekuasaan untuk melakukan penghormatan, penguatan dan perlindungan atas nilai-nilai dan praktik demokrasi. Inisiatif ini khususnya dapat dilakukan oleh para pejabat tinggi negara.

Kedua, menguatkan kembali peran dan fungsi parlemen dan kehakiman sebagai bagian dari cabang trias politica. Checks and balances harus benar ditegakkan secara objektif dan berkesinambungan, guna menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan elite. Ketiga, pengembalian peran dan fungsi partai politik sebagaimana mestinya. Partai politik sebagai elemen terpenting demokrasi dan kehidupan politik harus berperan sebagai mesin demokrasi yang efektif, yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi utamanya. Untuk itu partai harus dikelola secara terlembaga, modern dan demokratis.

Keempat, soliditas civil society sebagai elemen watch dog dan partner kritis bagi jalannya pemerintahan. Manakala ini dapat diperankan secara baik maka peluang terlindungi dan terdengarnya aspirasi masyarakat menjadi lebih terbuka lebar. Kelima, penguatan ekonomi dan pemahaman politik rakyat banyak. Ini penting terutama demi mencegah meluasnya manipulasi dan praktik politik pragmatis di masyarakat. Kemandirian ekonomi dan kesadaran politik juga penting untuk turut mendorong pembangunan lingkungan sosio-politik yang lebih sehat dan kondusif bagi peningkatan mutu demokrasi.

Keenam, terobosan hukum. Problem besar lainnya adalah terutama terkait dengan aturan yang belum cukup kondusif bagi penguatan demokrasi. Di satu sisi, terdapat aturan-aturan yang masih membawa potensi terberangusnya partisipasi politik yang terhambat dan ekonomi biaya politik tinggi, termasuk misalnya aturan mengenai presidential threshold. Di sisi lain, masih terdapat kebijakan-kebijakan yang harusnya mendorong penguatan kualitas kaderisasi dan penguatan kemandirian keuangan partai politik yang belum tergarap.

Persoalannya adalah apakah kesemua faktor tersebut di atas akan dapat dipenuhi dalam waktu yang dekat belakangan ini. Tampak jelas bahwa dari banyak aspeknya masih membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk benar-benar dapat memenuhi upaya terobosan dan pembenahan tersebut. Sejauh itu semua belum dapat terpenuhi dengan baik, maka upaya untuk membalikkan kondisi demokrasi kita masih sulit dilakukan.

Peringatan Dini di Tahun 2022
Khusus pada 2022, akan menjadi tahun transisional menuju prosesi kontestasi elektoral yang akan mencapai puncaknya pada 2024. Ini harus dikelola dengan baik agar peluang terjadinya berbagai friksi politik yang salah arah tidak terjadi. Dengan adanya tendensi elitisme dalam kehidupan politik, yang ditandai dengan sikap serbapermisif, peluang untuk melakukan manuver politik yang tidak mendewasakan akan semakin terbuka. Dan, ini membuka potensi untuk hadirnya konflik yang akan semakin melebar dan berpotensi menciptkan polarisasi politik di tahun-tahun berikutnya.

Untuk itu jelas perlu dihindari pendekatan politik yang bernuansa abuse of power, yang akan membuat kondisi demokrasi kita menjadi lebih buruk lagi. Selain itu pada 2020 pemerintah harus benar-benar dapat mengarahkan sumber dayanya kepada hal-hal yang prinsipil, dengan mengedepankan prinsip first thing first. Artinya harus fokus mendahulukan persoalan-persoalan yang genting seperti persoalan penanganan Covid-19, perbaikan kehidupan ekonomi-sosial masyarakat, pengentasan ketidakadilan hukum dan praktik political injustice hingga penanganan separatisme di tanah Papua.

Menariknya hal-hal tersebut dalam logika demokrasi sebenarnya bukan hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara partsipasi yang penuh dari seluruh masyarakat serta kontrol dari seluruh elemen bangsa. Artinya, pola pemerintahan demokrasi sejatinya dapat tetap diandalkan dalam menyelesaikan banyak persoalan di Tanah Air kita. Terbukti di beberapa negara, termasuk Selandia Baru, Korea Selatan dan beberapa negara Eropa Barat, berbagai persoalan dapat tetap ditangani secara demokratis meski pandemi Covid-19 tengah melanda. Tentu kita dapat terus belajar dari mereka.

Dengan kenyataan ini pula sesungguhnya semakin tidak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan pola elitisme. Selain spirit eltisime yang anti-demokrasi itu melanggar amanat para pendiri bangsa juga karena negara dan bangsa tercinta ini sejatinya adalah miliki semua kalangan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1251 seconds (0.1#10.140)