Mengenal Instrumen Nilai Ekonomi Karbon, Upaya Pemerintah Mengurangi Emisi Karbon dan Menanggulangi Climate Change
Selasa, 14 Desember 2021 - 10:46 WIB
Amara F. Tahar
Alumni Universitas Bakrie
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow mengenai komitmen Indonesia untuk menjadi bagian komunitas dunia internasional yang turut serta menanggulangi climate change atau perubahan iklim global.
Selaras dengan hal tersebut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu telah melahirkan sebuah instrumen kebijakan baru yang cukup inovatif mengenai penyelenggaran nilai ekonomi karbon (NEK). Perpres tersebut mengatur tentang penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
Instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) terdiri dari instrumen perdagangan maupun non-perdagangan. Instrumen perdagangan di antaranya adalah carbon trading atau perdagangan karbon, yaitu kegiatan jual beli emisi karbon yang dapat dilakukan secara wajib (mandatory carbon market) ataupun sukarela (voluntary carbon market). Skema perdagangan karbon yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah melalui perdagangan emisi atau dikenal juga dengan sistem cap-and-trade, dan offset emisi GRK.
Perdagangan emisi adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang telah ditentukan. Sementara offset emisi GRK adalah mekanisme kompensasi atas emisi GRK yang dilepaskan pelaku usaha atau kegiatan dengan cara mendanai kegiatan penurunan emisi di tempat lain. Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia. Sehingga, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dalam pelaksanaan perdagangan karbon. Selain itu, dengan adanya perdagangan karbon maka pemerintah juga dapat memantau besarnya emisi karbon yang beredar di pasar karbon dan mengontrol emisi karbon yang dilepas ke atmosfer.
Kemudian, instrumen NEK non-perdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang juga disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon ataupun yang menghasilkan sumber emisi karbon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan "emisi karbon" adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Berdasarkan UU HPP, pajak karbon akan diterapkan secara bertahap berdasarkan peta jalan (roadmap) yang akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sasaran sektor prioritas, serta kesiapan kondisi ekonomi negara. Peta jalan pajak karbon tersebut juga akan turut memperhatikan perkembangan pasar karbon serta pembangunan energi baru terbarukan (EBT).
Alumni Universitas Bakrie
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow mengenai komitmen Indonesia untuk menjadi bagian komunitas dunia internasional yang turut serta menanggulangi climate change atau perubahan iklim global.
Selaras dengan hal tersebut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu telah melahirkan sebuah instrumen kebijakan baru yang cukup inovatif mengenai penyelenggaran nilai ekonomi karbon (NEK). Perpres tersebut mengatur tentang penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
Instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) terdiri dari instrumen perdagangan maupun non-perdagangan. Instrumen perdagangan di antaranya adalah carbon trading atau perdagangan karbon, yaitu kegiatan jual beli emisi karbon yang dapat dilakukan secara wajib (mandatory carbon market) ataupun sukarela (voluntary carbon market). Skema perdagangan karbon yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah melalui perdagangan emisi atau dikenal juga dengan sistem cap-and-trade, dan offset emisi GRK.
Baca Juga
Perdagangan emisi adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang telah ditentukan. Sementara offset emisi GRK adalah mekanisme kompensasi atas emisi GRK yang dilepaskan pelaku usaha atau kegiatan dengan cara mendanai kegiatan penurunan emisi di tempat lain. Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia. Sehingga, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dalam pelaksanaan perdagangan karbon. Selain itu, dengan adanya perdagangan karbon maka pemerintah juga dapat memantau besarnya emisi karbon yang beredar di pasar karbon dan mengontrol emisi karbon yang dilepas ke atmosfer.
Kemudian, instrumen NEK non-perdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang juga disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon ataupun yang menghasilkan sumber emisi karbon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan "emisi karbon" adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Berdasarkan UU HPP, pajak karbon akan diterapkan secara bertahap berdasarkan peta jalan (roadmap) yang akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sasaran sektor prioritas, serta kesiapan kondisi ekonomi negara. Peta jalan pajak karbon tersebut juga akan turut memperhatikan perkembangan pasar karbon serta pembangunan energi baru terbarukan (EBT).
tulis komentar anda