Urgensi Literasi Ekonomi Ramah Lingkungan

Jum'at, 10 Desember 2021 - 07:07 WIB
Lain di mulut lain di hati. Jika para pembuat kebijakan pembangunan di negara ini paham serta konsisten mengikuti arahan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4, maka seharusnya dari tahun ke tahun terjadi penurunan jumlah bencana alam di republik ini. Proses membangun tidak mesti merusak alam secara membabi-buta yang akhirnya mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Ke depan ada tiga hal yang penting untuk dilakukan, pertama mendorong pemerintah agar membuat kebijakan sesuai dengan konstitusi negara. Kedua, menyosialisasikan literasi pembangunan ekonomi ramah lingkungan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) baik secara informal maupun formal dalam kurikulum pendidikan.

Mengapa literasi pendidikan pembangunan ekonomi ramah lingkungan penting? Paolo Freire pernah mengatakan bahwa pendidikan memiliki kekuatan politik dan ideologis dalam mengusung agenda perubahan sosial ekonomi. Oleh karena itu untuk mengurangi bencana alam yang diakibatkan dari ulah manusia (antroposentris) harus dimulai dari kurikulum pendidikan yang memuat nilai-nilai ramah lingkungan. Harapannya muncul kecerdasan lingkungan/ekologi (ecological intelligence) sejak dini.

Ketiga, mempraktikkan pembangunan ramah lingkungan di institusi pendidikan. Peguruan tinggi, sekolah dan madrasah harus memberikan contoh bagaimana membangun menggunakan inovasi-inovasi ramah lingkungan dengan tiga pilar yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi dengan rujukan utama pada alam serta kelestarian lingkungannya.

Kita berharap dengan adanya literasi pembangunan ekonomi ramah lingkungan sedini mungkin bagi warga negara Indonesia akan menjadi langkah awal Pemerintah Indonesia mewujudkan target kesepakatan Conference of Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia. Setelah literasi pembangunan ekonomi ramah lingkungan dilakukan secara TSM maka praktik pembangunan ramah lingkungan niscaya akan lebih mudah dilakukan.

Pada COP 26, penulis mencatat setidaknya ada lima sektor utama yang menjadi perhatian dunia untuk mendukung target peningkatan suhu global tidak lebih dari 1, 5 derajat Celsius. Lima sektor ini adalah pertanian, kehutanan, transportasi, energi dan pembiayaan.

Di sektor pertanian, dunia akan fokus kepada aktivitas produksi dan perdagangan hasil pertanian ramah lingkungan serta perbaikan kehidupan petani lokal. Di sektor kehutanan, pemimpin negara yang hadir pada COP 26 sepakat mengakhiri deforestasi selambat lambatnya pada 2030. Dalam mewujudkan kesepakatan ini, beberapa negara maju akan menyediakan pendanaan kolektif untuk sektor kehutanan antara USD12 miliar sampai lebih dari USD19 miliar dari 2021 sampai 2025.

Di sektor transportasi, seluruh peserta menyepakati peningkatan produksi dan penggunaan kendaraan tanpa emisi pada 2030 untuk negara maju dan selambat-lambatnya 2040 negara berkembang. Sektor energi berfokus kepada transisi dari pemanfaatan energi fosil ke energi terbarukan. Upaya yang dilakukan adalah peningkatan investasi pada pembangkit tenaga surya, angin, dan pembangkit energi terbarukan lainnya.

Seluruh negara juga sepakat untuk menghentikan segala dukungan dari pemerintah dalam kegiatan pembangkit listrik tenaga batu bara dan mulai bertransisi ke energi terbarukan pada 2030 untuk negara maju, dan selambat-lambatnya pada 2040 untuk negara berkembang. Terkait pembiayaan, mobilisasi pembiayaan untuk menciptakan iklim berkelanjutan akan dilakukan oleh Multilateral Development Banks (MDB) dalam membantu sektor publik dan swasta dalam meningkatkan investasi hijau.
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More