Urgensi Literasi Ekonomi Ramah Lingkungan

Jum'at, 10 Desember 2021 - 07:07 WIB
Prima Gandhi (Ist)
Prima Gandhi

Sekretaris Pusat Studi Bencana (PSB) LPPM IPB dan Dosen Sekolah Vokasi, IPB University.

BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan kepada masyarakat Indonesia terkait cuaca ekstrem pada 2021 sampai Februari 2022. Berdasarkan pengalaman tahun lalu cuaca ekstrem mengakibatkan terjadinya bencana hidrometeorologi dan ekologis di berbagai pelosok Nusantara.

Benar saja, bencana yang terjadi tahun lalu terulang lagi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 424 kejadian bencana terjadi di Indonesia pada November 2021. Dari 424 kejadian bencana, 201 di antaranya adalah bencana hidrometeorologi. Jika dibandingkan dengan data November 2020, kejadian bencana meningkat 19,4% pada November tahun ini.

Menanggapi peningkatan bencana tahun ini, banyak pengamat bencana menuding La Nina sebagai kambing hitam. Terlepas benar atau tidak, hemat penulis tudingan ini tentunya tidak mengurangi atau menyelesaikan masalah bencana. Sejatinya membuat kebijakan pembangunan presisi ramah lingkungan akan mengurangi masalah bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi tahunan. Karena penulis meyakini banjir dan longsor di berbagai wilayah Indonesia merupakan buah kebijakan pembangunan.



Riset tim Bank Dunia sejak 2009 menunjukkan biaya lingkungan dari kebijakan pembangunan yang mengejar target pertumbuhan ekonomi semata telah menggerus Produk Domestik Bruto (PDB) 0,13 - 2%. Pun di Indonesia ketika bencana alam terjadi seperti tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2006 menyebabkan PDB turun sampai 3%. Lalu pertanyaanya adakah kebijakan pembangunan yang menumbuhkan perekonomian sekaligus ramah lingkungan?

Secara historis, pascarevolusi industri ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk memproduksi barang dagangan dan keuntungan dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator pembangunan. Pertumbuhan ekonomi ibarat obat ampuh bagi negara-negara miskin dan terbelakang. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, sumber daya alam terus dieksploitasi sebagai faktor produksi. Sayangnya eksploitasi ini tidak diikuti dengan menghitung nilai daya dukung sumberdaya alam tersebut.

Saat pohon ditebang hanya kayunya yang dinilai sebagai faktor produksi, sementara fungsi pohon sebagai “jantung” ekosistem tidak dihitung. Ketika lahan gambut direklamasi, hanya laba dari bisnis yang diperhitungkan. Namun, fungsi lahan gambut sebagai sebuah ekosistem yang mampu menampung hingga tiga puluh persen jumlah karbon dunia agar tidak terlepas ke atmosfer tidak pernah dikuantifikasikan dalam bentuk mata uang.

Penulis sepakat dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa di Indonesia ekonomi dan lingkungan tidak boleh didikotomikan. Alasannya karena sinergitas antara ekonomi dan lingkungan sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4 yang berbunyi “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More