Mencari Penyelenggara Pemilu 2024
Jum'at, 03 Desember 2021 - 16:39 WIB
Di aras nasional petahana, tidak boleh mencalonkan diri lagi sesuai konstitusi. Di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, walau ada petahana tetapi masa akhir jabatannya ada yang berakhir pada 2022 dan 2023. Kontestasinya akan berbeda dengan Pilkada 2020 lalu. Usaha dan kehendak untuk memenangkan kontestasi lebih besar. Kecil dugaan pelanggaran menggiring birokrasi untuk kepentingan petahana.
Secara kontestasi yang akan lebih keras dan bebas, maka penyelenggara dituntut punya kemampuan lebih untuk mendinginkan segala panas karena gesekan kepentingan kontestan untuk menang. Ini butuh figur penyelenggara yang spesial yang setiap pernyataannya menjadi oase di tengah gersang dan panas kepentingan.
Variabel pandemi juga perlu menjadi catatan. Walau penghujung 2021 ini kurva telah melandai, tetapi pandemi adalah tentang ketidakpastian. Ini berpengaruh pada wajah demokrasi. Yang paling tampak adalah kampanye. Bukan hanya soal pembatasan tatap muka, tetapi eksesnya akan pindah dan subur di media sosial.
Memaksimalkan teknologi untuk memikat pemilih potensinya akan berlipat. Jika dilakukan dengan cara benar sesuai aturan, kita berhak gembira. Tetapi sejak Pilkada 2017, Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 lalu media sosial ternyata juga digunakan untuk menyerang lawan. Mulai dari framing dengan menggunakan tagar, kemudian ditambah dengan hoaks yang disebarkan dengan terstruktur, sistematis dan masif, hingga menggunakan robot untuk menciptakan kegaduhan di ruang maya. Ini masalah kontemporer dan membutuhkan penyelenggara yang punya solusi.
Figur Penyelenggara Ideal
Seluruh peserta yang telah lolos seleksi administrasi serta telah mengikuti tes tulis dan psikologi untuk menjadi penyelenggara pemilu adalah orang pilihan. Kerja timsel akan tambah berat. Selain soal kualitas dan integritas, ada beberapa hal yang tampaknya bisa menjadi prioritas.
Pertama, ketokohan. Penyelenggara Pemilu 2024 harus memiliki pengalaman lama di dunia pemilu. Ia yang telah mengecap manis, asam, dan kecut dunia demokrasi. Pengalaman ini harus ditopang oleh posisinya yang mampu bisa berkomunikasi lintas kepentingan peserta. Sosok yang saat berbicara di depan publik akan meradam segala gejolak.
Tahun 2024 nanti akan riuh. Penyelengara pemilu berpotensi menjadi sasaran serang oleh pihak yang merasa dirugikan dan kalah. Kalau yang terpilih memiliki jejak buruk dan kualitasnya diragukan, maka akan jadi sasaran empuk. Ini akan berdampak marwah penyelenggara dan kepercayaan publik. Kalau publik sudah mulai ragu terhadap hasil pemilu, maka legitimasi pemeritahan akan rapuh pula.
Secara lebih konkret, kita ingin penyelenggara pemilu yang saat mengundang peserta pemilu tidak lagi hanya diwakili oleh sekretaris partai, misalnya. Tapi karena ketokohannya nanti bisa disegani oleh ketua umum partai politik. Keputusannya disegani dan diterima seluruh pihak. Tidak cukup hanya yang memiliki kemampuan teknis, tapi juga jam terbang yang tinggi.
Kedua, integritas dan kepemimpinan yang kuat. Dunia penyelenggara pemilu ini ditopang oleh birokrasi. Maka yang terpilih harus mampu menggerakkan seluruh penyelenggara di daerah dengan segala birokrasinya. Ketepatan dan kecepatan itu penting.
Secara kontestasi yang akan lebih keras dan bebas, maka penyelenggara dituntut punya kemampuan lebih untuk mendinginkan segala panas karena gesekan kepentingan kontestan untuk menang. Ini butuh figur penyelenggara yang spesial yang setiap pernyataannya menjadi oase di tengah gersang dan panas kepentingan.
Variabel pandemi juga perlu menjadi catatan. Walau penghujung 2021 ini kurva telah melandai, tetapi pandemi adalah tentang ketidakpastian. Ini berpengaruh pada wajah demokrasi. Yang paling tampak adalah kampanye. Bukan hanya soal pembatasan tatap muka, tetapi eksesnya akan pindah dan subur di media sosial.
Memaksimalkan teknologi untuk memikat pemilih potensinya akan berlipat. Jika dilakukan dengan cara benar sesuai aturan, kita berhak gembira. Tetapi sejak Pilkada 2017, Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 lalu media sosial ternyata juga digunakan untuk menyerang lawan. Mulai dari framing dengan menggunakan tagar, kemudian ditambah dengan hoaks yang disebarkan dengan terstruktur, sistematis dan masif, hingga menggunakan robot untuk menciptakan kegaduhan di ruang maya. Ini masalah kontemporer dan membutuhkan penyelenggara yang punya solusi.
Figur Penyelenggara Ideal
Seluruh peserta yang telah lolos seleksi administrasi serta telah mengikuti tes tulis dan psikologi untuk menjadi penyelenggara pemilu adalah orang pilihan. Kerja timsel akan tambah berat. Selain soal kualitas dan integritas, ada beberapa hal yang tampaknya bisa menjadi prioritas.
Pertama, ketokohan. Penyelenggara Pemilu 2024 harus memiliki pengalaman lama di dunia pemilu. Ia yang telah mengecap manis, asam, dan kecut dunia demokrasi. Pengalaman ini harus ditopang oleh posisinya yang mampu bisa berkomunikasi lintas kepentingan peserta. Sosok yang saat berbicara di depan publik akan meradam segala gejolak.
Tahun 2024 nanti akan riuh. Penyelengara pemilu berpotensi menjadi sasaran serang oleh pihak yang merasa dirugikan dan kalah. Kalau yang terpilih memiliki jejak buruk dan kualitasnya diragukan, maka akan jadi sasaran empuk. Ini akan berdampak marwah penyelenggara dan kepercayaan publik. Kalau publik sudah mulai ragu terhadap hasil pemilu, maka legitimasi pemeritahan akan rapuh pula.
Secara lebih konkret, kita ingin penyelenggara pemilu yang saat mengundang peserta pemilu tidak lagi hanya diwakili oleh sekretaris partai, misalnya. Tapi karena ketokohannya nanti bisa disegani oleh ketua umum partai politik. Keputusannya disegani dan diterima seluruh pihak. Tidak cukup hanya yang memiliki kemampuan teknis, tapi juga jam terbang yang tinggi.
Kedua, integritas dan kepemimpinan yang kuat. Dunia penyelenggara pemilu ini ditopang oleh birokrasi. Maka yang terpilih harus mampu menggerakkan seluruh penyelenggara di daerah dengan segala birokrasinya. Ketepatan dan kecepatan itu penting.
tulis komentar anda