Mencari Penyelenggara Pemilu 2024

Jum'at, 03 Desember 2021 - 16:39 WIB
loading...
Mencari Penyelenggara Pemilu 2024
Nur Elya Anggraeni (Ist)
A A A
Nur Elya Anggraini
Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur

SEBANYAK 629 orang bakal calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masa jabatan 2022-2027 dinyatakan lolos administrasi, dengan rincian 352 mendaftar di KPU, dan 277 lainnya di Bawaslu. Mereka juga telah mengikuti tes tulis dan psikologi dan tinggal menunggu hasilnya diumumkan pada 3 Desember 2021. Akan terpilih 20 orang calon anggota KPU dan 28 calon anggota Bawaslu. Siapa yang layak untuk menyelenggarakan Pemilu 2024?

Seluruh pendaftar telah mengikuti tahapan seleksi yang menguji kualitas, integritas dan rekam jejak. Dari timline yang dibuat oleh tim seleksi (timsel) pada 7 Januari 2022 nanti nama yang terpilih di timsel akan diserahkan kepada presiden.

Seleksi tersebut membutuhkan masukan publik. Harapannya jelas dan terukur. Penyelenggara pemilu terpilih harus memiliki kemampuan dan energi besar demi menyukseskan pesta demokrasi yang diprediksi menjadi paling rumit sepanjang sejarah republik ini.

Pada 2024 nanti kita akan memilih presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Provinsi, dan Kabupaten/Kota dalam satu hari. Kemudian di tahun yang sama akan dilanjutkan dengan pemilihan gubernur di 34 provinsi dan pemilihan kepala daerah untuk 514 Kabupaten/Kota se-Indonesia.

Secara teknis pelaksanannya akan rumit. Walau aturan-aturan teknis tentang tahapan pemilu dan pilkada belum terbit, besar dugaan gelaran pemilu dan pilkada akan beririsian. Kalkulasi sederhana, bila dalam pemilu dengan 5 kotak nanti akan ada ketidakpuasaan yang harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), maka penyelenggara akan terpecah fokusnya pada tahapan pilkada dalam waktu yang bersamaan.

Belum lagi detail teknis lainnya yang harus diurai. Pengalaman Pemilu 2019 lalu saja dengan memilih 5 kotak berdampak pada gugurnya sekitar 500 penyelenggara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal yang membuat miris, mereka gugur bukan karena korban kekisruhan, tetapi akibat kekeliruan manajemen. Tentu penyelenggara Pemilu 2024 nanti harus mengurai benang kusut ini.

Keserentakan pilkada dan pemilihan gubernur di seluruh Indonesia adalah tantangan lain. Suhu politik yang belum reda karena pemilu akan dilanjutkan dengan kontestasi tingkat lokal, berpotensi cukup besar terjadi pembelahan di aras nasional yang akan dibawa dalam konteks lokal. Apalagi pada 2024 nanti akan menjadi tarung bebas untuk setiap peserta.

Di aras nasional petahana, tidak boleh mencalonkan diri lagi sesuai konstitusi. Di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, walau ada petahana tetapi masa akhir jabatannya ada yang berakhir pada 2022 dan 2023. Kontestasinya akan berbeda dengan Pilkada 2020 lalu. Usaha dan kehendak untuk memenangkan kontestasi lebih besar. Kecil dugaan pelanggaran menggiring birokrasi untuk kepentingan petahana.

Secara kontestasi yang akan lebih keras dan bebas, maka penyelenggara dituntut punya kemampuan lebih untuk mendinginkan segala panas karena gesekan kepentingan kontestan untuk menang. Ini butuh figur penyelenggara yang spesial yang setiap pernyataannya menjadi oase di tengah gersang dan panas kepentingan.

Variabel pandemi juga perlu menjadi catatan. Walau penghujung 2021 ini kurva telah melandai, tetapi pandemi adalah tentang ketidakpastian. Ini berpengaruh pada wajah demokrasi. Yang paling tampak adalah kampanye. Bukan hanya soal pembatasan tatap muka, tetapi eksesnya akan pindah dan subur di media sosial.

Memaksimalkan teknologi untuk memikat pemilih potensinya akan berlipat. Jika dilakukan dengan cara benar sesuai aturan, kita berhak gembira. Tetapi sejak Pilkada 2017, Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 lalu media sosial ternyata juga digunakan untuk menyerang lawan. Mulai dari framing dengan menggunakan tagar, kemudian ditambah dengan hoaks yang disebarkan dengan terstruktur, sistematis dan masif, hingga menggunakan robot untuk menciptakan kegaduhan di ruang maya. Ini masalah kontemporer dan membutuhkan penyelenggara yang punya solusi.

Figur Penyelenggara Ideal
Seluruh peserta yang telah lolos seleksi administrasi serta telah mengikuti tes tulis dan psikologi untuk menjadi penyelenggara pemilu adalah orang pilihan. Kerja timsel akan tambah berat. Selain soal kualitas dan integritas, ada beberapa hal yang tampaknya bisa menjadi prioritas.

Pertama, ketokohan. Penyelenggara Pemilu 2024 harus memiliki pengalaman lama di dunia pemilu. Ia yang telah mengecap manis, asam, dan kecut dunia demokrasi. Pengalaman ini harus ditopang oleh posisinya yang mampu bisa berkomunikasi lintas kepentingan peserta. Sosok yang saat berbicara di depan publik akan meradam segala gejolak.

Tahun 2024 nanti akan riuh. Penyelengara pemilu berpotensi menjadi sasaran serang oleh pihak yang merasa dirugikan dan kalah. Kalau yang terpilih memiliki jejak buruk dan kualitasnya diragukan, maka akan jadi sasaran empuk. Ini akan berdampak marwah penyelenggara dan kepercayaan publik. Kalau publik sudah mulai ragu terhadap hasil pemilu, maka legitimasi pemeritahan akan rapuh pula.

Secara lebih konkret, kita ingin penyelenggara pemilu yang saat mengundang peserta pemilu tidak lagi hanya diwakili oleh sekretaris partai, misalnya. Tapi karena ketokohannya nanti bisa disegani oleh ketua umum partai politik. Keputusannya disegani dan diterima seluruh pihak. Tidak cukup hanya yang memiliki kemampuan teknis, tapi juga jam terbang yang tinggi.

Kedua, integritas dan kepemimpinan yang kuat. Dunia penyelenggara pemilu ini ditopang oleh birokrasi. Maka yang terpilih harus mampu menggerakkan seluruh penyelenggara di daerah dengan segala birokrasinya. Ketepatan dan kecepatan itu penting.

Kempimpinan ini harus mampu menutup celah adanya tafsir berbeda antara penyelenggara di pusat dan daerah. Segala kebijakannya harus mutawatir. Di ruang publik yang serba terbuka, kekeliruan sekecil apapun akan digunakan sebagai cara untuk menghantam dan menjatuhkan penyelenggara pemilu.

Kualitas kemimpinan antara lain bisa merapikan barisan internal dengan rapi. Bisa menginspirasi terhadap seluruh personel penyelenggara pemilu dari level nasional hingga daerah. Lagi-lagi, terkait ini keterlibatan publik penting untuk ikut menilai dan memberikan masukan terhadap calon penyelenggara pemilu.

Ketiga, penyelenggara pemilu yang adaptif dan atraktif terhadap teknologi. Bagi KPU tidak lagi cukup hanya dengan mengandalkan Sistem Informasi Rekapituali (Sirekap), pun demikian di Bawaslu tidak hanya hanya dengan menggunakan Sistem Informasi Pengawasan Pemilu (Siwaslu), tetapi kita pelu mahadata (big data) penyelenggaraan pemilu.

Secara konkret misalnya, soal data pemilih yang selalu ramai tiap momentum pemilu, maka mahadata pemilu harus dapat mengurangi kesalahan daftar pemilih secara presisi. Pun demikian, di Bawaslu perlu adaptasi dengan mahadata pengawasan. Teknologi tidak cukup hanya saat pencoblosan, tetapi juga perlu dibuat aplikasi untuk bisa mencegah pelanggaran dan memberikan sosialisasi pengawasan partisipatif.

Penyelenggara pemilu yang adaptif dan inovatif sangat dibutuhkan untuk Pemilu 2024. Sekali lagi, kita butuh kecepatan dan ketepatan. Teknologi memudahkan. Saatnya kita meninggalkan cara manual yang hanya menghabiskan anggaran.

Pada akhirnya, figur ideal penyelenggara pemilu adalah yang berpengalaman dan terbaik di antara yang baik, serta yang adaptif dan inovatif terhadap teknologi. Dari ratusan pendaftar, semoga terpilih 7 komisioner KPU dan 5 komisioner Bawaslu sesuai yang kita harapkan bersama.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1540 seconds (0.1#10.140)