Aturan Wajib PCR Berpotensi Reguk Omzet hingga Rp1,6 Triliun per Bulan
Minggu, 31 Oktober 2021 - 16:07 WIB
JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk keluar masuk Jawa dan Bali melalui jalur darat, laut, dan udara menuai pro-kontra di masyarakat. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta menyebut kebijakan ini lebih kuat bermuatan bisnis daripada tujuan kesehatan.
"Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar," kata Sukamta dikutip Minggu (31/10/2021).
"Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah," katanya.
Baca juga: Harga Tes PCR Turun Rp275 Ribu, Bisnis Lab dan Klinik Tetap Untung
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. Potensi omzetnya mencapai Rp800 miliar sampai dengan Rp1,6 triliun dengan kebutuhan alat 2,8-5,6 juta per bulan.
"Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100.000–200.000 kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp300.000,- saja potensinya mencapai Rp800 milliar sampai Rp1,6 triliun per bulan. Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu," katanya.
Soal siapa yang menikmati, Sukamta mengungkap data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini. Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai USD516,09 juta atau setara Rp7,3 triliun. China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD174 juta dan USD181 juta, disusul AS sebesar USD45 juta, Jerman USD33 juta.
Kedua, sambung dia, perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16%, lembaga nonprofit hanya 6,04%, dan pemerintah 5,81%.
Anggota Komisi I DPR RI ini menambahkan, alasan bahwa motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan yaitu vaksinasi dan kebijakan pembatasan pergerakan.
"Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp523 miliar," kata Sukamta dikutip Minggu (31/10/2021).
"Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah," katanya.
Baca juga: Harga Tes PCR Turun Rp275 Ribu, Bisnis Lab dan Klinik Tetap Untung
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. Potensi omzetnya mencapai Rp800 miliar sampai dengan Rp1,6 triliun dengan kebutuhan alat 2,8-5,6 juta per bulan.
"Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100.000–200.000 kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp300.000,- saja potensinya mencapai Rp800 milliar sampai Rp1,6 triliun per bulan. Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu," katanya.
Soal siapa yang menikmati, Sukamta mengungkap data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini. Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai USD516,09 juta atau setara Rp7,3 triliun. China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD174 juta dan USD181 juta, disusul AS sebesar USD45 juta, Jerman USD33 juta.
Kedua, sambung dia, perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16%, lembaga nonprofit hanya 6,04%, dan pemerintah 5,81%.
Anggota Komisi I DPR RI ini menambahkan, alasan bahwa motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan yaitu vaksinasi dan kebijakan pembatasan pergerakan.
tulis komentar anda