Muktamar NU: Sukses, Sehat, dan Keren
Rabu, 20 Oktober 2021 - 19:30 WIB
Soal itu memang paling sensitif. Apalagi menyangkut pemilihan Ketua Umum. Seolah, inti Muktamar hanya di sini. Sehingga agenda-agenda yang lain tak jarang justru terlupakan. Lihat saja, bagaimana perbincangan di media akhir-akhir ini. Semua membahas tentang itu. Wacana seputar Ketua Umum demikian menyita perhatian. Jabatan itu seakan-akan telah diperebutkan.
Beda dengan Rais Aam Syuriyah, misalnya, para kiai sepuh malah tak jarang saling menghindar. Di Muktamar Jombang, KH Mustofa Bisri justru mengundurkan diri, kemudian tampillah KH Ma'ruf Amin. Bahkan dulu, sepeninggal KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang) pada 1980, para kiai malah saling menghindari.
Baca juga: Ketua Umum FKDT Sebut Kredibilitas Gus Yahya Teruji untuk Pimpin PBNU
Kita semua tahu, baik KH Mahrus Aly (Lirboyo), KH As'ad Syamsul Arifin (Situbondo), maupun KH Ali Maksum (Krapyak DIY), tak ada satu pun di antara mereka yang menyatakan kesediaan. Meskipun pada akhirnya, karena berbagai desakan, KH Ali Maksum mau menerima jabatan Rais Aam tapi hanya sampai Muktamar 1984 di Situbondo.
Itulah akhlaq kiai yang harus selalu diteladani. Tak mudah memang, apalagi jika melihat kondisi sekarang. Saat ini semua serba pragmatis. Semua diukur bahkan dengan uang. "Keuangan yang maha segalanya," begitu kata teman saya.
Tentu sangat tidak sehat jika "gelaran suci" dari organisasi para kiai terkotori dengan praktik-praktik transaksional. Saya masih meyakini, money politics tak akan pernah terjadi. Muktamar Jombang yang konon berbau itu saja, menurut saya, hanya isu dan rumor belaka.
Maka seharusnya, Muktamar mendatang akan jauh lebih baik. Ini tidak hanya menjadi komitmen para pengurus saja. Mereka, para muktamirin, tentu memiliki tanggung jawab yang tak ringan. Komitmen ke-NU-an haruslah dimiliki setiap kader, bahkan mereka yang memang peduli dengan NU.
Sebagai warga biasa, saya hanya bisa berharap, melalui Muktamar Lampung nanti dapat menghasilkan berbagai keputusan yang membawa kemaslahatan. Tidak hanya untuk jam'iyah, tetapi juga untuk para jamaahnya. Mereka yang tetap memilki kesetiaan meski berada dalam kondisi yang serba tidak menguntungkan.
Bagaimana, misalnya, para petani bisa makin berdaya. Demikian pula pedagang kecil, para pekerja, nelayan dll, semua warga nahdliyin itu benar-benar merasakan kemaslahatan. Selain mereka tetap bisa aktif mengikuti pengajian. Di sinilah pentingnya program ekonomi, pendidikan dan kesehatan khususnya, lebih diprioritaskan.
Beda dengan Rais Aam Syuriyah, misalnya, para kiai sepuh malah tak jarang saling menghindar. Di Muktamar Jombang, KH Mustofa Bisri justru mengundurkan diri, kemudian tampillah KH Ma'ruf Amin. Bahkan dulu, sepeninggal KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang) pada 1980, para kiai malah saling menghindari.
Baca juga: Ketua Umum FKDT Sebut Kredibilitas Gus Yahya Teruji untuk Pimpin PBNU
Kita semua tahu, baik KH Mahrus Aly (Lirboyo), KH As'ad Syamsul Arifin (Situbondo), maupun KH Ali Maksum (Krapyak DIY), tak ada satu pun di antara mereka yang menyatakan kesediaan. Meskipun pada akhirnya, karena berbagai desakan, KH Ali Maksum mau menerima jabatan Rais Aam tapi hanya sampai Muktamar 1984 di Situbondo.
Itulah akhlaq kiai yang harus selalu diteladani. Tak mudah memang, apalagi jika melihat kondisi sekarang. Saat ini semua serba pragmatis. Semua diukur bahkan dengan uang. "Keuangan yang maha segalanya," begitu kata teman saya.
Tentu sangat tidak sehat jika "gelaran suci" dari organisasi para kiai terkotori dengan praktik-praktik transaksional. Saya masih meyakini, money politics tak akan pernah terjadi. Muktamar Jombang yang konon berbau itu saja, menurut saya, hanya isu dan rumor belaka.
Maka seharusnya, Muktamar mendatang akan jauh lebih baik. Ini tidak hanya menjadi komitmen para pengurus saja. Mereka, para muktamirin, tentu memiliki tanggung jawab yang tak ringan. Komitmen ke-NU-an haruslah dimiliki setiap kader, bahkan mereka yang memang peduli dengan NU.
Sebagai warga biasa, saya hanya bisa berharap, melalui Muktamar Lampung nanti dapat menghasilkan berbagai keputusan yang membawa kemaslahatan. Tidak hanya untuk jam'iyah, tetapi juga untuk para jamaahnya. Mereka yang tetap memilki kesetiaan meski berada dalam kondisi yang serba tidak menguntungkan.
Bagaimana, misalnya, para petani bisa makin berdaya. Demikian pula pedagang kecil, para pekerja, nelayan dll, semua warga nahdliyin itu benar-benar merasakan kemaslahatan. Selain mereka tetap bisa aktif mengikuti pengajian. Di sinilah pentingnya program ekonomi, pendidikan dan kesehatan khususnya, lebih diprioritaskan.
tulis komentar anda