Bergerak: Jawa dan Suriname
Sabtu, 09 Oktober 2021 - 05:35 WIB
baca juga: Eksistensi Manusia di Era Digital
Di Suriname, masalah-masalah mulai dihadapi dalam bekerja, bahasa, makanan, busana, dan lain-lain. Tokoh si bocah menginsafi faedah bahasa Belanda bila ingin betah dan mendapat keberuntungan selama di Suriname. Pengakuan tokoh: “Masalah paling menonjol adalah rasa malu. Jangan coba-coba anak Jawa mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda, dia pasti akan diejek dan dianggap sok oleh kawannya sendiri.” Keputusan belajar bahasa Belanda secara tekun di sekolah atau merawat keminderan sebagai manusia Jawa.
Perubahan terus terjadi saat keluarga itu pindah ke kota. Di sana, ada kota bernama Paramaribo. Kota memiliki kejutan-kejutan dan pelbagai kemungkinan. Pengarang bercerita: “Ayah tidak pernah memperhitungkan bagaimana cara hidup di kota yang sama sekali asing baginya. Keluar dari lingkungan masyarakat pertambangan yang bertahun-tahun hanya hidup di tengah masyarakat Jawa. Corak pemikirannya tentu tradisional. Sekarang mau tidak mau, setelah pindah, ia harus beradaptasi dengan masyarakat kota yang bukan orang-orang Jawa dan memiliki pola hidup yang berlainan. Tentu saja ini adalah perubahan yang menimbulkan tantangan. Ayah tak pandai bahasa Belanda.” Hidup di tempat jauh dari tanah asal bertaruh nasib terpengaruhi penguasaan bahasa dan kecondongan sikap politik. Orang-orang Jawa belum tentu mulia.
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Pada masa berbeda, kita mendapat penjelasan orang-orang Jawa di Suriname melalui buku berjudul Suriname yang Saya Lihat (1984) susunan Max Dwipusrandito. Kita berhak membandingkan antara fiksi gubahan Koko Hendri Lubis dengan pengamatan Max Dwipusrandito: “Sayangnya, masyarakat Jawa menduduki lapisan terendah dalam susunan kemasyarakatan di Suriname. Misalnya sebagai petani kecil, pedagang kecil atau lazim disebut pedagang kaki lima, mendorong gerobagnya berisi kue-kue Jawa, guru-guru sekolah dasar, dan sebagainya. Ada beberapa yang menjabat menteri dan beberapa intelektual seperti insinyur, dokter, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan kita. Tak sebanding dengan jumlah kaum intelektual di kalangan orang India dan Negro yang kebanyakan memandang orang-orang Jawa sebagai ‘De domme Javaan’, orang Jawa yang bodoh dan lugu.”
baca juga: Launching Buku 'Refleksi Dakwah Realitas' Seruan Mahasiswa Penantang Zaman
Si bocah dalam novel sudah menjadi dewasa. Ia menantang nasib di Suriname. Koko Hendri Lubis menceritakan si tokoh menekuni pers. Profesi agak mengejutkan untuk menguatkan konflik dalam cerita. Kita membaca pengisahan: “Aku malu. Hati ini mendongkol karena masih saja dianggap anak ingusan. Aku mencoba meningkatkan popularitas agar tidak dianggap pemuda Jawa melempem dengan cara mengajukan diri untuk sepenuhnya jadi wartawan politik. Sikap pun harus diubah. Rasa malu dan ragu dikubur dalam-dalam. Pola hidup yang berlaku di kota sebaiknya diikuti saja.” Si tokoh mulai mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam pekerjaan, politik, kriminalitas, agama, dan lain-lain. Pata tokoh beragam bangsa terlibat dalam pelbagai masalah. Novel memuat ketegangan-ketegangan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Suriname menjadi tempat bergejolak. Para tokoh mulai berdilema. Kangen kampung halaman berpengaruh dalam penentuan sikap selama di Suriname. Tuturan si tokoh: “Ayah khawatir aku kecantol dengan wanita non-Jawa. Memang sejak dari bangku sekolah, pergaulanku bukan dengan orang Jawa. Bukan ayah tidak senang punya menantu lain bangsa. Tetapi dia takut hal itu akan menjadi penghalang bagi cita-citanya. Ayah bercita-cita suatu saat akan kembali pulang ke tanah air bersama segenap anggota keluarganya.” Pembaca perlahan mengetaui debar-debar dan pengharapan orang-orang Jawa kembali ke Indonesia gara-gara politik dan perubahan situasi dunia.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
Di Suriname, masalah-masalah mulai dihadapi dalam bekerja, bahasa, makanan, busana, dan lain-lain. Tokoh si bocah menginsafi faedah bahasa Belanda bila ingin betah dan mendapat keberuntungan selama di Suriname. Pengakuan tokoh: “Masalah paling menonjol adalah rasa malu. Jangan coba-coba anak Jawa mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda, dia pasti akan diejek dan dianggap sok oleh kawannya sendiri.” Keputusan belajar bahasa Belanda secara tekun di sekolah atau merawat keminderan sebagai manusia Jawa.
Perubahan terus terjadi saat keluarga itu pindah ke kota. Di sana, ada kota bernama Paramaribo. Kota memiliki kejutan-kejutan dan pelbagai kemungkinan. Pengarang bercerita: “Ayah tidak pernah memperhitungkan bagaimana cara hidup di kota yang sama sekali asing baginya. Keluar dari lingkungan masyarakat pertambangan yang bertahun-tahun hanya hidup di tengah masyarakat Jawa. Corak pemikirannya tentu tradisional. Sekarang mau tidak mau, setelah pindah, ia harus beradaptasi dengan masyarakat kota yang bukan orang-orang Jawa dan memiliki pola hidup yang berlainan. Tentu saja ini adalah perubahan yang menimbulkan tantangan. Ayah tak pandai bahasa Belanda.” Hidup di tempat jauh dari tanah asal bertaruh nasib terpengaruhi penguasaan bahasa dan kecondongan sikap politik. Orang-orang Jawa belum tentu mulia.
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Pada masa berbeda, kita mendapat penjelasan orang-orang Jawa di Suriname melalui buku berjudul Suriname yang Saya Lihat (1984) susunan Max Dwipusrandito. Kita berhak membandingkan antara fiksi gubahan Koko Hendri Lubis dengan pengamatan Max Dwipusrandito: “Sayangnya, masyarakat Jawa menduduki lapisan terendah dalam susunan kemasyarakatan di Suriname. Misalnya sebagai petani kecil, pedagang kecil atau lazim disebut pedagang kaki lima, mendorong gerobagnya berisi kue-kue Jawa, guru-guru sekolah dasar, dan sebagainya. Ada beberapa yang menjabat menteri dan beberapa intelektual seperti insinyur, dokter, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan kita. Tak sebanding dengan jumlah kaum intelektual di kalangan orang India dan Negro yang kebanyakan memandang orang-orang Jawa sebagai ‘De domme Javaan’, orang Jawa yang bodoh dan lugu.”
baca juga: Launching Buku 'Refleksi Dakwah Realitas' Seruan Mahasiswa Penantang Zaman
Si bocah dalam novel sudah menjadi dewasa. Ia menantang nasib di Suriname. Koko Hendri Lubis menceritakan si tokoh menekuni pers. Profesi agak mengejutkan untuk menguatkan konflik dalam cerita. Kita membaca pengisahan: “Aku malu. Hati ini mendongkol karena masih saja dianggap anak ingusan. Aku mencoba meningkatkan popularitas agar tidak dianggap pemuda Jawa melempem dengan cara mengajukan diri untuk sepenuhnya jadi wartawan politik. Sikap pun harus diubah. Rasa malu dan ragu dikubur dalam-dalam. Pola hidup yang berlaku di kota sebaiknya diikuti saja.” Si tokoh mulai mengalami peristiwa-peristiwa besar dalam pekerjaan, politik, kriminalitas, agama, dan lain-lain. Pata tokoh beragam bangsa terlibat dalam pelbagai masalah. Novel memuat ketegangan-ketegangan.
baca juga: Milad Ilkom UNY Luncurkan Tujuh Buku Komunikasi
Suriname menjadi tempat bergejolak. Para tokoh mulai berdilema. Kangen kampung halaman berpengaruh dalam penentuan sikap selama di Suriname. Tuturan si tokoh: “Ayah khawatir aku kecantol dengan wanita non-Jawa. Memang sejak dari bangku sekolah, pergaulanku bukan dengan orang Jawa. Bukan ayah tidak senang punya menantu lain bangsa. Tetapi dia takut hal itu akan menjadi penghalang bagi cita-citanya. Ayah bercita-cita suatu saat akan kembali pulang ke tanah air bersama segenap anggota keluarganya.” Pembaca perlahan mengetaui debar-debar dan pengharapan orang-orang Jawa kembali ke Indonesia gara-gara politik dan perubahan situasi dunia.
baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab
tulis komentar anda