Soal Kebangkitan PKI, Komnas HAM Minta Elite Politik Pikirkan Korban
Jum'at, 01 Oktober 2021 - 17:54 WIB
JAKARTA - Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai isu kebangkitan PKI merupakan isu politik yang terus didaur ulang tiap tahun. Dampaknya, terjadi penebalan stigma, diskriminasi, dan segregasi sosial dari sisi para korban.
“Saya melihat ini (kebangkitan PKI) adalah isu politik yang didaur ulang setiap tahun dengan modal ketakutan dan keyakinan sehingga terus memainkan emosi korban,” tutur Beka pada rilis SMRC bertajuk Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunislewat saluran YouTube SMRC TV, Jumat (1/10/2021).
“Tetapi bukan hanya soal politik saja, tetapi berdampak pada penebalan stigma, trauma, diskriminasi dan segregasi sosial yang sepertinya terus dipelihara,” sambungnya.
Menurut Beka isu tersebut membuat publik berpikir soal adanya dua kubu. Bahkan, ada anggapan bahwa membela korban PKI atau membela korban PKI sudah termasuk membela PKI yang kemudian orang-orang tersebut patut dinilai berbeda juga.
“Pada titik itu saya kira kita harus melihat konteksnya, Komnas HAM tentu saja melindungi korban dan keluarga korban dari permainan atau isu politik yang tadi itu, menembalkan stigma,” ucapnya.
Hal tersebut, kata Beka dalam kenyataan benar-benar terjadi. Beka membeberkan contoh saat dirinya menyambangi daerah dekat teroris Poso.
“Korban 65 itu cerita, mereka mau ngaji saja, melakukan kumpul bareng antar korban dan melakukan pengajian, begitu ada aparat desa atau aparat kecamatan mendengar segala macam, malah minta bubar,” jelasnya.
“Mereka karena ketakutan lagi dan masih trauma dengan peristiwa 56 tahun lalu akhirnya bubar dengan ketakutan,” sambungnya.
Oleh karenanya, Beka mengimbau kepada elite-elite politik untuk turut memikirkan para korban. “Saya mengimbau pada elit politik untuk juga memikirkan korban yang ada, karena tadi soal stigma, trauma juga diskriminasi juga menjadi satu faktor yang melekat pada diri mereka.” tutupnya.
“Saya melihat ini (kebangkitan PKI) adalah isu politik yang didaur ulang setiap tahun dengan modal ketakutan dan keyakinan sehingga terus memainkan emosi korban,” tutur Beka pada rilis SMRC bertajuk Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunislewat saluran YouTube SMRC TV, Jumat (1/10/2021).
“Tetapi bukan hanya soal politik saja, tetapi berdampak pada penebalan stigma, trauma, diskriminasi dan segregasi sosial yang sepertinya terus dipelihara,” sambungnya.
Baca Juga
Menurut Beka isu tersebut membuat publik berpikir soal adanya dua kubu. Bahkan, ada anggapan bahwa membela korban PKI atau membela korban PKI sudah termasuk membela PKI yang kemudian orang-orang tersebut patut dinilai berbeda juga.
“Pada titik itu saya kira kita harus melihat konteksnya, Komnas HAM tentu saja melindungi korban dan keluarga korban dari permainan atau isu politik yang tadi itu, menembalkan stigma,” ucapnya.
Hal tersebut, kata Beka dalam kenyataan benar-benar terjadi. Beka membeberkan contoh saat dirinya menyambangi daerah dekat teroris Poso.
“Korban 65 itu cerita, mereka mau ngaji saja, melakukan kumpul bareng antar korban dan melakukan pengajian, begitu ada aparat desa atau aparat kecamatan mendengar segala macam, malah minta bubar,” jelasnya.
“Mereka karena ketakutan lagi dan masih trauma dengan peristiwa 56 tahun lalu akhirnya bubar dengan ketakutan,” sambungnya.
Oleh karenanya, Beka mengimbau kepada elite-elite politik untuk turut memikirkan para korban. “Saya mengimbau pada elit politik untuk juga memikirkan korban yang ada, karena tadi soal stigma, trauma juga diskriminasi juga menjadi satu faktor yang melekat pada diri mereka.” tutupnya.
(muh)
tulis komentar anda