Usman Hamid: Nasionalisme Berlebihan Menguat, Gerus Demokratisasi Habibie dan Gus Dur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai situasi yang berkembang di Indonesia saat ini berasal rasa nasionalisme yang berlebihan. Hal ini sebenarnya justru berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.Hal itu disampaikan Usman dalam Survei Opini Publik Nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertema Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunis.
Menurut Usman, banyak pemahaman demokratisasi yang tergerus. Padahal pemahaman tersebut pernah berkembang di masa Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ketika itu hak asasi manusia (HAM) setidaknya diorientasikan ke sistem politik. Tetapi, kata Usman, sekarang hal itu hilang.
"HAM, kebebasan, demokrasi, banyak nilai-nilai liberal yang ingin setidak-tidaknya diorientasikan sistem politik ketika itu sekarang hilang atau tergerus oleh bangkitnya nasionalisme itu," kata Usman dikutip kanal YouTube SMRC TV, Jumat (1/10/2021).
Usman mengatakan, menjadi pesaing nasionalisme bukan hanya dari kanan Islamis, tapi juga dari kanan liberal atau bahkan sosialisme itu sendiri. Tetapi dia mengaku belum mengetahui pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut.
"Saya penasaran dengan persepsi masyarakat yang demikian. Mungkin perlu ada atau mungkin saya yang belum baca kalau ada yang misalnya mendalami apa sebenarnya pemikiran-pemikiran yang ada di balik jawaban-jawaban para responden itu terkait terhadap survei ini," ujar Usman.
"Apakah mereka mendasarkan itu kepada pengalaman subjektif mereka atau pengalaman-pengalaman sosialnya terkait ketegangan subkultur. Misalnya antara yang nasionalis, yang muslim islamis atau katakanlah sosialis yang kiri, yang komunis. Sampai saat ini belum ada yang bisa menjelaskan sangat lengkap," ujar dia.
Lebih lanjut, Usman berpendapat bahwa Pancasila yang dibayangkan para pendiri Indonesia telah berbeda dalam praktik politik hari ini. Bahkan, penerapan Pancasila saat ini mereplikasi tafsir Orde Baru.
"Sehingga Pancasila itu ditafsirkan dalam kebenaran tunggal dalam versi otoritas, versi kekuasaan, bukan versi yang terbuka, di mana inspirasi-inspirasi Islam atau inspirasi komunisme itu diterima. Itu yang nggak ada menurut saya," kata Usman.
Yang terjadi, lanjut dia, ketakutan pada Islam dan komunisme terus didaur ulang. Ini merupakan politisasi yang nyaris tanpa henti kendati sebenarnya dari keduanya tafsir atas Pancasila bisa dibuka.
Lihat Juga: Harmoni di Tengah Kebisingan: Belajar Hidup Berbangsa dari Pengajian dan Pedagang Asongan
Menurut Usman, banyak pemahaman demokratisasi yang tergerus. Padahal pemahaman tersebut pernah berkembang di masa Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ketika itu hak asasi manusia (HAM) setidaknya diorientasikan ke sistem politik. Tetapi, kata Usman, sekarang hal itu hilang.
"HAM, kebebasan, demokrasi, banyak nilai-nilai liberal yang ingin setidak-tidaknya diorientasikan sistem politik ketika itu sekarang hilang atau tergerus oleh bangkitnya nasionalisme itu," kata Usman dikutip kanal YouTube SMRC TV, Jumat (1/10/2021).
Usman mengatakan, menjadi pesaing nasionalisme bukan hanya dari kanan Islamis, tapi juga dari kanan liberal atau bahkan sosialisme itu sendiri. Tetapi dia mengaku belum mengetahui pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut.
"Saya penasaran dengan persepsi masyarakat yang demikian. Mungkin perlu ada atau mungkin saya yang belum baca kalau ada yang misalnya mendalami apa sebenarnya pemikiran-pemikiran yang ada di balik jawaban-jawaban para responden itu terkait terhadap survei ini," ujar Usman.
"Apakah mereka mendasarkan itu kepada pengalaman subjektif mereka atau pengalaman-pengalaman sosialnya terkait ketegangan subkultur. Misalnya antara yang nasionalis, yang muslim islamis atau katakanlah sosialis yang kiri, yang komunis. Sampai saat ini belum ada yang bisa menjelaskan sangat lengkap," ujar dia.
Lebih lanjut, Usman berpendapat bahwa Pancasila yang dibayangkan para pendiri Indonesia telah berbeda dalam praktik politik hari ini. Bahkan, penerapan Pancasila saat ini mereplikasi tafsir Orde Baru.
"Sehingga Pancasila itu ditafsirkan dalam kebenaran tunggal dalam versi otoritas, versi kekuasaan, bukan versi yang terbuka, di mana inspirasi-inspirasi Islam atau inspirasi komunisme itu diterima. Itu yang nggak ada menurut saya," kata Usman.
Yang terjadi, lanjut dia, ketakutan pada Islam dan komunisme terus didaur ulang. Ini merupakan politisasi yang nyaris tanpa henti kendati sebenarnya dari keduanya tafsir atas Pancasila bisa dibuka.
Lihat Juga: Harmoni di Tengah Kebisingan: Belajar Hidup Berbangsa dari Pengajian dan Pedagang Asongan
(muh)