PRIK KT dan Revera Institute Gelar Seminar HAM dan Penanggulangan Terorisme
Rabu, 29 September 2021 - 23:03 WIB
JAKARTA - Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Irjen Pol Marthinus Hukom menegaskan bawah Kelompok Krimininal Bersenjata (KKB) di Papua bukan sekedar organisasi separatis yang memiliki keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"KKB OPM dikategorikan sebagai terorisme karena melakukan kekerasan, intimidasi, dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat tidak bersalah sebagai upaya mereka memaksakan kehendak terhadap orang lain," kata Marthinus Hukom dalam seminar bertema "Antara HAM dan Penanggulangan Terorisme: Studi Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Uighur" di Hotel JW Marriott, Senin (27/9/2021).
Dalam merespons permasalahan terorisme separatis, kata Marthinus, pendekatan yang ideal adalah pendekatan hukum yang progresif dan berkelanjutan. Di sini, pendekatan militer perlu di-back up oleh hukum agar setiap tindakan, baik oleh kelompok KKB maupun aparat keamanan, dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sehingga aspek HAM tetap menjadi perhatian.
Baca juga: PPATK Temukan 5.000 Laporan Terkait Aliran Dana Kelompok Terorisme
Selanjutnya diperlukan program deradikalisasi yang secara khusus diberikan kepada kelompok KKB agar dapat memutus tensi antara pelaku dan aparat keamanan.
"Terakhir, langkah-langkah politik di level internasional juga perlu terus digalakkan khususnya dalam upaya komunikasi politik agar Indonesia mendapat dukungan dari internasional untuk penyelesaian masalah di Papua yang lebih komprehensif," katanya.
Marthinus mengungkapkan bahwa terorisme di Indoensia juga memiliki hubungan dengan Uighur di Xinjiang, China. Tercatat sebanyak 12 teroris Uighur masuk ke Indonesia pada 2011. Mereka masuk Indonesia karena kesulitan ke Syria dan memilih konflik terdekat di Asia Tenggara yaitu Poso.
Informasi intelijen menyebut, 12 orang Uighur yang masuk Indonesia adalah bentuk water test atau percobaan untuk ribuan lainnya.
"KKB OPM dikategorikan sebagai terorisme karena melakukan kekerasan, intimidasi, dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat tidak bersalah sebagai upaya mereka memaksakan kehendak terhadap orang lain," kata Marthinus Hukom dalam seminar bertema "Antara HAM dan Penanggulangan Terorisme: Studi Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Uighur" di Hotel JW Marriott, Senin (27/9/2021).
Dalam merespons permasalahan terorisme separatis, kata Marthinus, pendekatan yang ideal adalah pendekatan hukum yang progresif dan berkelanjutan. Di sini, pendekatan militer perlu di-back up oleh hukum agar setiap tindakan, baik oleh kelompok KKB maupun aparat keamanan, dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sehingga aspek HAM tetap menjadi perhatian.
Baca juga: PPATK Temukan 5.000 Laporan Terkait Aliran Dana Kelompok Terorisme
Selanjutnya diperlukan program deradikalisasi yang secara khusus diberikan kepada kelompok KKB agar dapat memutus tensi antara pelaku dan aparat keamanan.
"Terakhir, langkah-langkah politik di level internasional juga perlu terus digalakkan khususnya dalam upaya komunikasi politik agar Indonesia mendapat dukungan dari internasional untuk penyelesaian masalah di Papua yang lebih komprehensif," katanya.
Marthinus mengungkapkan bahwa terorisme di Indoensia juga memiliki hubungan dengan Uighur di Xinjiang, China. Tercatat sebanyak 12 teroris Uighur masuk ke Indonesia pada 2011. Mereka masuk Indonesia karena kesulitan ke Syria dan memilih konflik terdekat di Asia Tenggara yaitu Poso.
Informasi intelijen menyebut, 12 orang Uighur yang masuk Indonesia adalah bentuk water test atau percobaan untuk ribuan lainnya.
tulis komentar anda