PRIK KT dan Revera Institute Gelar Seminar HAM dan Penanggulangan Terorisme

Rabu, 29 September 2021 - 23:03 WIB
Deputi III Kerja Sama Internasional BNPT RI Andhika Chrisnayudhanto membahas mengenai perspektif penanggulangan terorisme dan HAM dalam konteks internasional melalui kerangka Global Counter-terrorism Strategy. Dalam strategi ini bukan hanya HAM tapi juga nilai kemanusiaan (humaniter) menjadi penting dalam upaya kontra-terorisme karena pelanggaran HAM justru menjadi salah satu pendorong kemunculan kelompok ekstremis kekerasan.

Dalam konteks Papua, harus dipahami semenjak dilabel sebagai KKB, tingkat kekerasan yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin meningkat dengan korban sebanyak 70% berasal dari warga sipil. Melihat hal ini KKB OPM dapat dikategorikan sebagai kelompok teroris sesuai dengan definisi terorisme dalam UU No 5 Tahun 2018. Definisi ini dianggap representatif, lengkap, dan sesuai dengan DK PBB.

Dalam menyikapi kasus Uighur dan OPM, Andhika melihat kembali respons dan temuan UN, China terlihat dalam rangka diplomasi untuk memperoleh dukungan dari 50 negara berkembang, sedangkan 22 negara maju menyatakan terdapat human right abuses di Xinjiang. Hal ini memperlihatkan bahwa ada agenda negara maju terhadap isu Uighur di Xinjiang.

"Namun tentu perlu kajian dan tergantung undang-undang keamanan nasional yang berlaku di China dalam melihat kasus Uighur, apakah dikategorikan sebagai gerakan separatis, ekstremisme, atau terorisme," katanya.

Ketua Harian Kompolnas, Irjen Pol (Purn) Benny J Mamoto memberikan gambaran bagaimana Kompolnas berhubungan dengan terorisme khususnya dalam upaya mengawasi kenerja kepolisian dan menampung saran dan keluhan masyarakat mengenai penanganan terorisme. Dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap kinerja kepolisian, Kompolnas memastikan kepolisian memerhatikan berbagai peraturan Kapolri yang berkaitan dengan HAM seperti Perkap No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri dan Perkap No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

Perlu dipahami bahwa pelaku kejahatan terorisme berbeda dengan pelaku kejahatan lain. Diperlukan tindakan dan pertimbangan-pertimbangan khusus baik dalam penangkapan, hingga pemeriksaan. Sayangnya masyarakat umum masih belum banyak memahami hal tersebut.

Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi terkait UU No 5 Tahun 2018. Dalam praktiknya sejauh mungkin kepolisian menghindari penanganan terorisme dengan cara yang represif.

"Oleh karenanya pendekatan yang lunak (soft approach) seperti deradikalisasi menjadi unsur penting dalam strategi kontra-terorisme khususnya untuk dapat mendapatkan kepercayaan dan membuat pelaku dapat memikirkan kembali keterlibatan mereka dalam kelompok teror," katanya.

Benny juga setuju dengan pernyataan Andhika yang mengatakan bahwa isu Uighur merupakan agenda negara-negara maju. Benny mengatakan bahwa terdapat ketidakselarasan fakta yang terjadi di China dan isu-isu yang disebarluaskan oleh media social dan media massa yang terkesan menyudutkan pemerintah China. Hal ini juga perlu kita waspadai dalam menangani permasalahan OPM.

Seminar ini menjadi kesempatan penting untuk berdiskusi mengenai masalah terorisme dan kontra radikalisasi di mana ahli dan praktisi yang berkontribusi langsung dalam isu ini berbagi pengalaman, pandangan dan filosofi untuk memberikan pemahaman benar kepada peserta konferensi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More