Din Syamsuddin: Kebebasan Berpendapat Itu Hak Manusia

Senin, 01 Juni 2020 - 13:31 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Teror terhadap panitia dan narasumber diskusi bertema Pemberhentian Presiden yang digelar Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat banyak pihak merasa greram.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan kebebasan berpendapat merupakan hak manusia.

Din mengutip ucapan ulama karismatik Mesir, Muhammad Abduh yang menyatakan kebebasan itu sesuatu yang sakral, suci, dan fitrah yang melekat pada kemanusiaan.

“Dia menjadi suci karena dari zat yang maha suci. Manusia terikat pada janji. Ketika dilahir ke muka bumi, menyimpang dari perjanjian, Allah memberikan kebebasan mau tetap beriman (kepada-Nya) atau tidak,” tutur Din dalam diskusi sebuah diskusi online, Senin (1/6/2020).



Din menjelaskan, kebebasan itu bisa diaktualisasikan ketika manusia berada pada dua fase kehidupan, yakni eksistensi alamiah dan sosial komunal. Hanya pada manusia yang beradab ada kebebasan.

“Logika sebaliknya, tidak berada jika ada orang yang ingin menghalangi kebebasan (berpendapat-red),” ucapnya.( )

Dalam politik Islam ada tiga kebebasan, yakni agama, berpendapat, serta memilih dan dipilih. Artinya, menyampaikan pendapat itu memiliki landasan teologis pemikiran Islam yang kuat.

Kebebasan berpendapat itu diatur dalam aturan baik di level nasional maupun internasional.

Deklarasi Kairo mencantumkan tentang hak asasi manusia dan memberikan ruang untuk kebebasan itu sendiri. Di Indonesia, Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang (UU).

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu pun menyinggung mengenai pemakzulan dalam hukum Islam. Makzul, menurutnya, artinya mencopot atau menyingkirkan ke samping. Pemakzulan itu dimungkinkan tapi dengan syarat.

Pertama, pemimpin sudah tidak adil, hanya menciptakan satu kelompok yang lebih kaya dari lainnya, dan kesenjangan ekonomi. Kedua, ketiadaan ilmu pengetahuan dan visi untuk mencapaikan cita-cita hidup berbangsa. Ketiga, pemimpin didikte oleh orang atau terkekang kekuatan tertentu.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More