Polemik Moratorium Kepailitan dan PKPU

Minggu, 12 September 2021 - 22:28 WIB
Jika gagasan moratorium kepailitan dan PKPU berawal dari meningkatnya perkara yang terdaftar di pengadilan niaga maupun dampak ekonomi lainnya maka sebenarnya dapat dikatakan moratorium bukanlah solusi yang tepat. Hadjon (2000), menjelaskan bahwa moratorium dapat dilakukan jika terjadi ketidakpastian keadaan dan jika moratorium dilakukan akan membawa kebaikan dan keteraturan bagi seluruh pihak.

Moratorium perkara kepailitan dan PKPU bukanlah solusi yang efektif, mengingat lembaga kepailitan dan PKPU lahir dari UU Nomor 37/2004. Artinya, gagasan moratorium harus melalui proses legislasi sehingga dapat sinkron dengan UU Nomor 37/2004, mekanisme ini tidaklah mudah dan akan membutuhkan waktu yang lama sehingga gagasan moratorium secara teknis perundang-undangan tidaklah mudah untuk diterapkan. Demikian juga secara teknis yudisial, gagasan moratorium ini berkaitan dengan pembatasan kompetensi pengadilan niaga sehingga perlu sinkronisasi fungsi legislasi dan yudikatif.

Meskipun pada awalnya memiliki semangat yang baik namun gagasan moratorium perkara kepailitan dan PKPU ini jika diimplementasikan selain akan menimbulkan banyak persoalan sehingga akan lebih efektif dan efisien dilakukan revisi UU Nomor 37/2004 beserta PP Nomor 10/2005. Dibandingkan melakukan moratorium perkara kepailitan dan PKPU maka melakukan revisi kedua aturan tersebut akan lebih efektif untuk menyelesaikan dampak negatif yang timbul sehubungan dengan perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga.

Saat ini urgensi dari revisi UU Nomor 37/2004 beserta PP Nomor 10/2005 adalah guna menghindari dimanfaatkannya lembaga kepailitan maupun PKPU untuk hal-hal di luar peruntukan lembaga kepailitan dan PKPU yang sebenarnya, seperti misalnya dimanfaatkan oleh kreditur maupun debitur yang beritikad tidak baik maupun sebaliknya dimanfaatkannya kedua lembaga tersebut untuk menciptakan kepailitan maupun restrukturisasi utang yang sifatnya by design yang pada akhirnya justru menyimpang dari tujuan lembaga tersebut.

Contoh penyimpangan yang sering terjadi adalah utang yang direncanakan (loan by design) guna menambah atau mengurangi hak suara mengingat persyaratan memiliki hak suara dale pemungutan suara sesuai PP Nomor 10/2005 dinilai sangat mudah untuk disalahgunakan karena nominal hutang yang diakui dan dapat dikonversi menjadi hak suara sangatlah rendah (10 juta rupiah/suara).

Demikian juga revisi UU Nomor 37/2004 juga diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan lembaga kepailitan dan PKPU yang pada akhirnya merugikan perekonomian nasional, seperti misalnya ketentuan dalam UU Nomor 37/2004 yang menyatakan bahwa selama proses perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga kreditur tidak dapat mengenakan bunga, denda, pinalti termasuk angsuran yang sedang berjalan. Revisi juga diperlukan terkait syarat jumlah kreditur maupun jumlah besaran piutang sehingga lembaga kepailitan dan PKPU tidak mudah untuk disalahgunakan.

Terakhir perlu diatur mengenai sifat perkara kepailitan dan PKPU apakah bersifat permohonan atau sengketa. Dalam hal ini guna menghindari penyimpangan, sebaiknya perkara kepailitan dan PKPU tidak dapat diajukan berdasarkan permohonan debitur terkait. Dengan adanya revisi pada hal-hal fundamental dalam UU Nomor 37/2004 beserta PP Nomor 10/2005 maka lembaga kepailitan dan PKPU dapat berfungsi sesuai peruntukannya. Jika kedua lembaga tersebut dapat difungsikan secara efektif maka tidak akan terjadi penumpukan perkara di pengadilan niaga yang tentu berdampak pada perekonomian, sebaliknya lembaga kepailitan dan PKPU akan berkorelasi positif pada perekonomian.
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More