Polemik Moratorium Kepailitan dan PKPU
Minggu, 12 September 2021 - 22:28 WIB
Rio Christiawan
Pengamat Hukum Bisnis
BEBERAPA waktu lalu beredar wacana bahwa pemerintah akan mengkaji kemungkinan moratorium kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Latar belakang dari gagasan moratorium kepailitan dan PKPU tersebut adalah meningkatnya perkara kepailitan dan PKPU dalam tiga tahun terakhir. Pada sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di portal Mahkamah Agung Republik Indonesia memang menunjukkan dalam tiga tahun terakhir secara year on year perkara kepailitan dan PKPU pada pengadilan niaga meningkat lebih dari 100%, meskipun angka tersebut tentu sangat dipengaruhi dampak pandemi Covid-19.
Tentu saja pertimbangan pemerintah pada gagasan moratorium kepailitan dan PKPU tidak saja disebabkan oleh meningkatnya jumlah perkara di pengadilan niaga, tetapi juga pertimbangan yang bersifat ekonomi lainnya, seperti kelangsungan usaha maupun upaya menghindari kepailitan dalam jumlah masal. De Haan (1991), menjelaskan bahwa moratorium adalah penghentian yang bersifat sementara dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang terkait.
Persoalan jika gagasan moratorium direalisasikan akan menimbulkan banyak masalah lainnya baik yang bersifat teknis penyelesaian sengketa maupun dampak ekonomi yang bersifat negatif. Dalam perspektif hukum, pengadilan niaga merupakan pengadilan yang bersifat khusus dan berbeda dengan peradilan perdata pada umumnya. Pengadilan niaga memiliki kewenangan menyatakan pailit, melakukan restrukturisasi utang dan piutang hingga mengesahkan perjanjian perdamaian (homologasi) berdasarkan pemungutan suara.
Tindakan di atas tidak dapat dilakukan melalui upaya hukum lainnya. Ciri khas perkara kepailitan dan PKPU adalah penyelesaian hutang debitur yang melibatkan banyak (lebih dari dua) kreditur dengan jangka waktu yang dibatasi oleh UU Nomor 37/2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dan mekanisme yang secara khusus diatur dalam PP Nomor 10/2005 tentang Penghitungan Hak Suara Kreditur. Sebaliknya jika diberlakukan moratorium perkara kepailitan dan PKPU maka peradilan umum akan menjadi upaya terakhir pada penyelesaian sengketa utang – piutang jika tidak dapat dicapai kesepakatan restrukturisasi di antara para pihak.
Penyelesaian perkara utang-piutang melalui pengadilan umum akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, perkara yang lebih banyak dengan banyak pihak dan kemungkinan terjadi putusan pengadilan yang bertolak belakang karena masing-masing hakim memiliki kekuasaan kehakiman. Sebaliknya kondisi tersebut tidak akan terjadi pada penyelesaian melalui pengadilan niaga mengingat pada perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga sesuai Pasal 281 UU Nomor 37/2004 dan PP Nomor 10/2005 dikenal penyelesaian melalui pemungutan suara (voting) untuk mencapai satu putusan yang akan berlaku bagi semua kreditur dan debitur.
Demikian juga dalam perspektif ekonomi, jika diberlakukan moratorium maka akan terjadi ancaman krisis ekonomi seperti 1998. Sebagaimana diketahui peraturan kepailitan pertama di Indonesia lahir pertama kali pada 1998 melalui peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) dikarenakan adanya kegentingan yang mendesak karena adanya gangguan perekonomian sistematik akibat tiadanya solusi sengketa utang piutang yang implementatif dan efektif bagi kegiatan perekonomian itu sendiri.
Revisi Aturan
Pengamat Hukum Bisnis
BEBERAPA waktu lalu beredar wacana bahwa pemerintah akan mengkaji kemungkinan moratorium kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Latar belakang dari gagasan moratorium kepailitan dan PKPU tersebut adalah meningkatnya perkara kepailitan dan PKPU dalam tiga tahun terakhir. Pada sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di portal Mahkamah Agung Republik Indonesia memang menunjukkan dalam tiga tahun terakhir secara year on year perkara kepailitan dan PKPU pada pengadilan niaga meningkat lebih dari 100%, meskipun angka tersebut tentu sangat dipengaruhi dampak pandemi Covid-19.
Tentu saja pertimbangan pemerintah pada gagasan moratorium kepailitan dan PKPU tidak saja disebabkan oleh meningkatnya jumlah perkara di pengadilan niaga, tetapi juga pertimbangan yang bersifat ekonomi lainnya, seperti kelangsungan usaha maupun upaya menghindari kepailitan dalam jumlah masal. De Haan (1991), menjelaskan bahwa moratorium adalah penghentian yang bersifat sementara dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang terkait.
Persoalan jika gagasan moratorium direalisasikan akan menimbulkan banyak masalah lainnya baik yang bersifat teknis penyelesaian sengketa maupun dampak ekonomi yang bersifat negatif. Dalam perspektif hukum, pengadilan niaga merupakan pengadilan yang bersifat khusus dan berbeda dengan peradilan perdata pada umumnya. Pengadilan niaga memiliki kewenangan menyatakan pailit, melakukan restrukturisasi utang dan piutang hingga mengesahkan perjanjian perdamaian (homologasi) berdasarkan pemungutan suara.
Tindakan di atas tidak dapat dilakukan melalui upaya hukum lainnya. Ciri khas perkara kepailitan dan PKPU adalah penyelesaian hutang debitur yang melibatkan banyak (lebih dari dua) kreditur dengan jangka waktu yang dibatasi oleh UU Nomor 37/2004 Tentang Kepailitan dan PKPU dan mekanisme yang secara khusus diatur dalam PP Nomor 10/2005 tentang Penghitungan Hak Suara Kreditur. Sebaliknya jika diberlakukan moratorium perkara kepailitan dan PKPU maka peradilan umum akan menjadi upaya terakhir pada penyelesaian sengketa utang – piutang jika tidak dapat dicapai kesepakatan restrukturisasi di antara para pihak.
Penyelesaian perkara utang-piutang melalui pengadilan umum akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, perkara yang lebih banyak dengan banyak pihak dan kemungkinan terjadi putusan pengadilan yang bertolak belakang karena masing-masing hakim memiliki kekuasaan kehakiman. Sebaliknya kondisi tersebut tidak akan terjadi pada penyelesaian melalui pengadilan niaga mengingat pada perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga sesuai Pasal 281 UU Nomor 37/2004 dan PP Nomor 10/2005 dikenal penyelesaian melalui pemungutan suara (voting) untuk mencapai satu putusan yang akan berlaku bagi semua kreditur dan debitur.
Demikian juga dalam perspektif ekonomi, jika diberlakukan moratorium maka akan terjadi ancaman krisis ekonomi seperti 1998. Sebagaimana diketahui peraturan kepailitan pertama di Indonesia lahir pertama kali pada 1998 melalui peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) dikarenakan adanya kegentingan yang mendesak karena adanya gangguan perekonomian sistematik akibat tiadanya solusi sengketa utang piutang yang implementatif dan efektif bagi kegiatan perekonomian itu sendiri.
Revisi Aturan
Lihat Juga :
tulis komentar anda