Waspadai Potensi Radikalisme dan Terorisme Pasca Hancurnya ISIS dan Berkuasanya Taliban
Minggu, 12 September 2021 - 04:52 WIB
Kedua, lanjut Hamidin, yang perlu diwaspadai adalah pengelana yang frustasi atau frustatated traveller. Saat ISIS berjaya, orang-orang ini sebenarnya ingin berangkat ke Suriah dan Irak tetapi tidak ada sponsor, tidak ada yang bisa mengajak, tidak ada yang bisa mengantar tapi gairahnya sangat tinggi.
“Kita sudah melihat bagaimana kasus misalnya penyerangan Kapolsek di Tangerang pada saat itu. Dia mau berangkat tapi tidak ada uang. Hanya melihat polisi dia hajar. Nah ini termasuk pengelana yang frustasi,” tegasnya.
Ketiga, ungkapnya, adalah sel-sel hibernasi atau hibernate cells atau sel tiarap. Mereka bila BNPT, Densus 88, dan BIN banyak kegiatan mereka tiarap, tapi bukan mati. Kendati demikian, semangat dan motivasi mereka tetap ada dan tinggi.
Kemudian yang keempat adalah sleeping cell atau sel tidur. Mereka ini tidak ada gerakan, tapi sebetulnya radikal. Mereka tidak melakukan apa-apa dan lebih banyak menunggu momen. Contohnya adalah kasus teror bom Surabaya dan bom Gereja Katedral Makassar.
Empat hal itulah yang harus diwaspadai terutama seiring berkuasanya Taliban di Afghanistan sekarang ini. Pasalnya, ideologi Taliban di masa lalu adalah ideologi terorisme.
“Semua kita paham itu. Jadi tetaplah kita waspada, kita ikuti perkembangan perkembangan Taliban di sana. Kita berharap mereka akan melaksanakan apa yang sudah Taliban deklarasikan kepada Amerika dan lain-lain bahwa mereka akan menjadi demokrasi dan mengikuti tata aturan global. Saya kira itu yang saya lihat. Lebih baik kita wait and see,” papar Ketua Kelompok Ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini.
Selain itu, Hamidin mengungkapkan ada tantangan besar bangsa Indonesia dalam mewaspadai radikalisme dan terorisme di masa pandemi COVID-19. Ia mengakui pandemi membuat banyak sektor terpuruk dan perekonomian nasional menurun, serta kegiatan masyarakat harus dibatasi. Di sisi lain, pemerintah juga fokus menangani pandemi COVID-19.
Menurutnya di tengah isu-isu pandemi COVID-19, bukan berarti isu terorisme selesai. Sebab, kadang-kadang kelompok-kelompok teroris memanfaatkan isu itu menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Misalnya mau percaya takut kepada siapa? Mau takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau takut kepada COVID-19? Nah ini yang mereka campur adukkan. Sebetulnya jawabannnya tidak seperti itu. Dua duamya memang harus kita waspadai. Jadi kalau Allah memang tempat kita bermohon, tetapi COVID-19 ini juga tidak bisa dihindari. Karena dia berada di tengah-tengah kita jadi saya kira dua hal ini harus sama-sama kita waspadai.Dan semua komponen bangsa harus turut serta di dalamnya,” tuturnya.
Untuk itulah, ia menyarankan BNPT sebagai koordinator penanggulangan terorisme di Indonesia menggandeng ulama-ulama untuk ikut juga memberikan pencerahan terhadap bagaimana mencegah pandemi COVID-19 dan juga mengembalikan apa namanya pemahaman kita kepada ideologi dan agama yang benar. Baca juga: Daftar Pesawat Tempur Indonesia Enggak Main-main, Ini Spesifikasinya
“Kita sudah melihat bagaimana kasus misalnya penyerangan Kapolsek di Tangerang pada saat itu. Dia mau berangkat tapi tidak ada uang. Hanya melihat polisi dia hajar. Nah ini termasuk pengelana yang frustasi,” tegasnya.
Ketiga, ungkapnya, adalah sel-sel hibernasi atau hibernate cells atau sel tiarap. Mereka bila BNPT, Densus 88, dan BIN banyak kegiatan mereka tiarap, tapi bukan mati. Kendati demikian, semangat dan motivasi mereka tetap ada dan tinggi.
Kemudian yang keempat adalah sleeping cell atau sel tidur. Mereka ini tidak ada gerakan, tapi sebetulnya radikal. Mereka tidak melakukan apa-apa dan lebih banyak menunggu momen. Contohnya adalah kasus teror bom Surabaya dan bom Gereja Katedral Makassar.
Empat hal itulah yang harus diwaspadai terutama seiring berkuasanya Taliban di Afghanistan sekarang ini. Pasalnya, ideologi Taliban di masa lalu adalah ideologi terorisme.
“Semua kita paham itu. Jadi tetaplah kita waspada, kita ikuti perkembangan perkembangan Taliban di sana. Kita berharap mereka akan melaksanakan apa yang sudah Taliban deklarasikan kepada Amerika dan lain-lain bahwa mereka akan menjadi demokrasi dan mengikuti tata aturan global. Saya kira itu yang saya lihat. Lebih baik kita wait and see,” papar Ketua Kelompok Ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini.
Selain itu, Hamidin mengungkapkan ada tantangan besar bangsa Indonesia dalam mewaspadai radikalisme dan terorisme di masa pandemi COVID-19. Ia mengakui pandemi membuat banyak sektor terpuruk dan perekonomian nasional menurun, serta kegiatan masyarakat harus dibatasi. Di sisi lain, pemerintah juga fokus menangani pandemi COVID-19.
Menurutnya di tengah isu-isu pandemi COVID-19, bukan berarti isu terorisme selesai. Sebab, kadang-kadang kelompok-kelompok teroris memanfaatkan isu itu menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Misalnya mau percaya takut kepada siapa? Mau takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau takut kepada COVID-19? Nah ini yang mereka campur adukkan. Sebetulnya jawabannnya tidak seperti itu. Dua duamya memang harus kita waspadai. Jadi kalau Allah memang tempat kita bermohon, tetapi COVID-19 ini juga tidak bisa dihindari. Karena dia berada di tengah-tengah kita jadi saya kira dua hal ini harus sama-sama kita waspadai.Dan semua komponen bangsa harus turut serta di dalamnya,” tuturnya.
Untuk itulah, ia menyarankan BNPT sebagai koordinator penanggulangan terorisme di Indonesia menggandeng ulama-ulama untuk ikut juga memberikan pencerahan terhadap bagaimana mencegah pandemi COVID-19 dan juga mengembalikan apa namanya pemahaman kita kepada ideologi dan agama yang benar. Baca juga: Daftar Pesawat Tempur Indonesia Enggak Main-main, Ini Spesifikasinya
Lihat Juga :
tulis komentar anda