Potensi Besar Obat Herbal Indonesia Harus Digarap Serius
Kamis, 02 September 2021 - 19:33 WIB
Itu pun dia secara aktif ikut memberikan masukan atas kandungan obat herbalnya. Karena rumitnya izin uji klinik ini, para pengusaha herbal akhirnya menyiasati dengan hanya mencantumkan sedikit bahan di produk obat herbalnya. "Makin sedikit bahan kandungan, keluar izinnya makin cepat," ungkapnya.
Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat juga menjadi kendala tersendiri. Iwan mengaku punya pengalaman dalam membina petani kapulaga di Kawasan Garut, Jawa Barat. Dia mengaku kesulitan untuk mendapatkan kapulaga dengan kualitas bagus. Karena para petani memanen buah kapulaga secara bersamaan, sehingga antara yang matang dan masih muda bercampur. "Mereka memanen kapulaga utuh satu bonggol meski belum matang semua, karena takut keduluan sama pencuri," kata Iwan. Akibatnya, kapulaga yang seharusnya memiliki nilai herbal yang tinggi hanya dihargai sebagai bumbu dapur yang murah.
Sebagai perbandingan, misalnya, red ginseng dari Korea Selatan yang nilainya sangat tinggi karena mereka mampu menjaga standar kualitas komoditasnya tetap baik. Mereka memanen buahnya setelah benar-benar matang. Tidak terburu-buru dipanen. Karena tanaman red ginseng di sana tidak ada yang mencuri meski ditanam di alam liar.
Iwan mengaku heran dengan fenomena masyarakat yang suka mencuri tanaman seperti kapulaga. Karena hal itu membuat petani tidak bisa menjaga standar kualitas kandungan kapulaga secara baik. Padahal, kapulaga merupakan tanaman herbal yang potensial. Permintaan dunia akan kapulaga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kementerian Pertanian menyebut pada 2020 ekspor kapulaga dari Indonesia mencapai 6.248 ton atau senilai USD8 juta. Kapulaga banyak diminati di Timur Tengah, India dan Mesir.
Berbagai potensi yang besar dari herbal dan rempah itu sudah seharusnya digarap serius oleh pemerintah dengan kebijakan yang sistematis dan komprehensif. Menurut Iwan, masih banyak kebijakan yang bersifat top down sehingga acap kali gagal dalam implementasinya. Misalnya, karena booming produk minyak atsiri, pemerintah tiba-tiba membuat program alat penyulingan dengan skala besar. Tapi alat penyulingan tersebut akhirnya mangkrak karena lama-kelamaan tidak ada suplai mencukupi dari bahan baku minyak atsiri tersebut.
"Hal ini karena tidak ada studi dari bawah, langsung top down, akhirnya mesin nggak dipakai lagi. Sayang sekali," ungkap Iwan.
Hal senada juga diungkap Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania. "Di bidang kuliner, rempah-rempah kita masih sangat berjaya. Banyak komoditas rempah yang diekspor ke luar negeri. Tapi untuk obat herbal masih perlu banyak perbaikan," katanya.
Inggrid menyebut perbaikan yang dilakukan mulai soal standardisasi bahan baku untuk obat herbal yang tidak konsisten. Masalah standarisasi ini harus dipecahkan melalui penelitian yang serius. "Banyak sekali yang harus diteliti dengan motode yang paling baik untuk menghasilkan rempah atau herbal yang baik," kata Inggrid Tania.
Selain itu, pemerintah harus menggencarkan promosi obat herbal dan rempah Tanah Air ke dunia dengan strategi marketing yang bagus. Yang tak kalah penting adalah Indonesia harus membuat standar khusus untuk obat herbal seperti China dan India. Karena selama ini Indonesia menggunakan standar obat kimia konvensional dari WHO. Hal ini memberatkan karena bahan baku obat herbal dan rempah sulit mendapatkan kadar yang terstandar.
Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat juga menjadi kendala tersendiri. Iwan mengaku punya pengalaman dalam membina petani kapulaga di Kawasan Garut, Jawa Barat. Dia mengaku kesulitan untuk mendapatkan kapulaga dengan kualitas bagus. Karena para petani memanen buah kapulaga secara bersamaan, sehingga antara yang matang dan masih muda bercampur. "Mereka memanen kapulaga utuh satu bonggol meski belum matang semua, karena takut keduluan sama pencuri," kata Iwan. Akibatnya, kapulaga yang seharusnya memiliki nilai herbal yang tinggi hanya dihargai sebagai bumbu dapur yang murah.
Sebagai perbandingan, misalnya, red ginseng dari Korea Selatan yang nilainya sangat tinggi karena mereka mampu menjaga standar kualitas komoditasnya tetap baik. Mereka memanen buahnya setelah benar-benar matang. Tidak terburu-buru dipanen. Karena tanaman red ginseng di sana tidak ada yang mencuri meski ditanam di alam liar.
Iwan mengaku heran dengan fenomena masyarakat yang suka mencuri tanaman seperti kapulaga. Karena hal itu membuat petani tidak bisa menjaga standar kualitas kandungan kapulaga secara baik. Padahal, kapulaga merupakan tanaman herbal yang potensial. Permintaan dunia akan kapulaga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kementerian Pertanian menyebut pada 2020 ekspor kapulaga dari Indonesia mencapai 6.248 ton atau senilai USD8 juta. Kapulaga banyak diminati di Timur Tengah, India dan Mesir.
Berbagai potensi yang besar dari herbal dan rempah itu sudah seharusnya digarap serius oleh pemerintah dengan kebijakan yang sistematis dan komprehensif. Menurut Iwan, masih banyak kebijakan yang bersifat top down sehingga acap kali gagal dalam implementasinya. Misalnya, karena booming produk minyak atsiri, pemerintah tiba-tiba membuat program alat penyulingan dengan skala besar. Tapi alat penyulingan tersebut akhirnya mangkrak karena lama-kelamaan tidak ada suplai mencukupi dari bahan baku minyak atsiri tersebut.
"Hal ini karena tidak ada studi dari bawah, langsung top down, akhirnya mesin nggak dipakai lagi. Sayang sekali," ungkap Iwan.
Hal senada juga diungkap Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania. "Di bidang kuliner, rempah-rempah kita masih sangat berjaya. Banyak komoditas rempah yang diekspor ke luar negeri. Tapi untuk obat herbal masih perlu banyak perbaikan," katanya.
Inggrid menyebut perbaikan yang dilakukan mulai soal standardisasi bahan baku untuk obat herbal yang tidak konsisten. Masalah standarisasi ini harus dipecahkan melalui penelitian yang serius. "Banyak sekali yang harus diteliti dengan motode yang paling baik untuk menghasilkan rempah atau herbal yang baik," kata Inggrid Tania.
Selain itu, pemerintah harus menggencarkan promosi obat herbal dan rempah Tanah Air ke dunia dengan strategi marketing yang bagus. Yang tak kalah penting adalah Indonesia harus membuat standar khusus untuk obat herbal seperti China dan India. Karena selama ini Indonesia menggunakan standar obat kimia konvensional dari WHO. Hal ini memberatkan karena bahan baku obat herbal dan rempah sulit mendapatkan kadar yang terstandar.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda