Potensi Besar Obat Herbal Indonesia Harus Digarap Serius
Kamis, 02 September 2021 - 19:33 WIB
Misalnya, hasil panen jahe sekarang punya standar yang baik untuk bahan obat herbal. Namun, ketika menanam lagi, hasil panen jahe pada periode berikutnya belum tentu memiliki kandungan dengan kualitas yang sama. Begitulah rata-rata produk panenan rempah dan herbal yang umumnya memiliki kelemahan.
Tidak ajegnya standar rempah dan herbal ini menjadi masalah yang serius bagi kualitas obat herbal. Obat herbal yang kurang standar tidak bisa dipakai terutama untuk mengobati pasien dengan penyakit berat. "Bahaya kalau dipaksakan," kata Iwan.
Namun, Iwan punya trik jitu untuk menyiasati tidak ajegnya standar bahan aktif yang dikandung bahan baku obat herbal. "Agar suatu produk herbal mampu bekerja secara sistemik dengan hasil yang konsisten, maka strategi menyinergikan beragam zat aktif dengan efikasi yang konvergen ke organ-organ tertentu, sangat diperlukan," papar Iwan.
Menurut dia, penggabungan kerja beberapa bahan baku herbal dengan kandungan zat aktif yang efikasinya saling komplementer dan menguatkan, dapat menutupi kelemahan dan ketidakkonsistenan daya kerja zat aktif dari penggunaan bahan baku herbal secara tunggal, yang seringkali disebabkan oleh fluktuasi kondisi cuaca dan musim panen, ragam varietas komoditi herbal dan teknik pengolahan pasca panen.
Namun, pihaknya tidak lantas menggabungkan sebanyak-banyaknya bahan herbal tanpa aturan khusus. Karena banyak juga bahan herbal yang khasiatnya saling memperlemah atau menetralkan satu dengan lainnya, misalnya penggabungan antara bawang putih dengan jahe merah, dimana keduanya memiliki sifat anti-platelet. "Jadi ada rule khusus kalau menggabungkan bahan-bahan herbal. Tidak bisa dilakukan begitu saja," katanya.
Dan, Iwan bersama tim di CV Pratistha Bakti Negeri mengaku sudah menerapkan ilmu baru tersebut pada produknya, Pratistha Herbanav. Produk herbal itu diklaim lebih baik dari herbal China dalam mengatasi demam pasien yang terkena badai sitokin. Dalam waktu dua hari minum herbal produksinya, pasien tersebut demamnya turun. Iwan mengaku selama pandemi Covid-19, penjualan obat herbalnya naik hingga 400%.
"Bahkan, saat peak varian Delta kemarin, naiknya sampai 1.000%," kata Iwan yang juga Co-Founder Pratistha Bakti Negeri.
Perlu Standar Khusus
Lebih jauh, sambung Iwan, banyaknya bahan herbal yang dimasukkan ke kandungan obat ternyata "bermasalah" dalam proses memperoleh izin uji klinik di BPOM. Dia bercerita saat mengajukan izin untuk obat herbal dengan kandungan enam bahan rempah dan herbal. "Keluar izinnya sangat lama. Saya harus menunggu 1 tahun 2 bulan untuk mendapat izin dari BPOM. Bisa dibayangkan kalau kandungan bahannya lebih banyak, pasti lebih lama," kata Iwan Suryolaksono.
Lihat Juga :
tulis komentar anda