Potensi Besar Obat Herbal Indonesia Harus Digarap Serius
loading...
A
A
A
JAKARTA - Potensi rempah dan herbal sangat besar untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat obat herbal dunia. Pandemi Covid-19 merupakan momentum baik untuk menjadikan rempah dan herbal sebagai obat alternatif yang efektif dan aman. Sayangnya, strategi yang kurang konsisten dan cenderung parsial membuat industri obat herbal di Indonesia belum bisa berkembang secara baik terutama dalam menembus pasar global.
Herbalis, Iwan Suryolaksono mengungkapkan hal tersebut merespons keinginan pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah Nusantara pada abad ke-15 dan 16. "Negara kita sebenarnya harus menjadi juara dalam perdagangan rempah dan herbal dunia karena kekayaan alam yang dimiliki sangat besar," kata Iwan.
Sebagaimana diketahui, keragaman hayati yang dimiliki Indonesia sangat besar. Tidak kurang dari 30.000 spesies tanaman tumbuh di hutan tropis Indonesia. Di mana 9.600 spesies di antaranya mengandung khasiat obat. Hanya, sejauh ini baru sekitar 200 spesies tanaman yang dipakai untuk bahan baku pembuatan obat tradisional. Selain rempah, ada banyak sekali tumbuhan herbal yang bisa dipakai untuk kepentingan medis.
Baca juga: Sudah Vaksin, Tetap Lengkapi Hari Anda dengan Kandungan Suplemen Herbal Ini
Namun, banyaknya kekayaan nabati tersebut belum mampu dimaksimalkan menjadi produk unggulan. Dalam industri obat herbal, Indonesia masih harus mengakui keunggulan bangsa lain seperti China dan India yang produknya lebih dikenal khalayak dunia. Bahkan di Indonesia, obat herbal China juga sangat popular. Misalnya, saat ini sudah banyak obat herbal China beredar di pasaran seperti Linhua Qingwen Jiaonang dan Hua Xiang Zheng Qi Kou Fu Ye. Obat-obatan dari negeri Tirai Bambu itu banyak dikonsumsi oleh pasien Covid-19 di Indonesia.
Pandemi Covid-19 seharusnya dijadikan momentum untuk mengangkat rempah dan herbal Indonesia. Karena sejauh ini belum ditemukan obat kimia yang dinilai efektif untuk melawan Covid-19. Bahkan, obat kimia yang digunakan untuk pasien Covid memiliki dampak yang tidak ringan bagi kesehatan. Ke depan, obat herbal yang lebih aman diprediksi akan makin diminati masyarakat.
Iwan mengakui di tengah potensi besar di atas, masih banyak kendala dalam mengembangkan obat herbal secara paten. Salah satunya adalah soal standar bahan baku rempah dan herbal. Obat atau suplemen berbasis herbal memiliki kelemahan sulitnya mendapatkan kadar yang terstandar. Karena rempah dan herbal mengandung kadar bahan aktif bervariasi yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor mulai tempat tumbuh, umur panen, musim, teknis ekstraksi, dan lain-lain.
Baca juga: Inovasi Keren, Mahasiswa UNNES Sulap Daun Kelor Jadi Pasta Gigi Herbal
Misalnya, hasil panen jahe sekarang punya standar yang baik untuk bahan obat herbal. Namun, ketika menanam lagi, hasil panen jahe pada periode berikutnya belum tentu memiliki kandungan dengan kualitas yang sama. Begitulah rata-rata produk panenan rempah dan herbal yang umumnya memiliki kelemahan.
Tidak ajegnya standar rempah dan herbal ini menjadi masalah yang serius bagi kualitas obat herbal. Obat herbal yang kurang standar tidak bisa dipakai terutama untuk mengobati pasien dengan penyakit berat. "Bahaya kalau dipaksakan," kata Iwan.
Namun, Iwan punya trik jitu untuk menyiasati tidak ajegnya standar bahan aktif yang dikandung bahan baku obat herbal. "Agar suatu produk herbal mampu bekerja secara sistemik dengan hasil yang konsisten, maka strategi menyinergikan beragam zat aktif dengan efikasi yang konvergen ke organ-organ tertentu, sangat diperlukan," papar Iwan.
Menurut dia, penggabungan kerja beberapa bahan baku herbal dengan kandungan zat aktif yang efikasinya saling komplementer dan menguatkan, dapat menutupi kelemahan dan ketidakkonsistenan daya kerja zat aktif dari penggunaan bahan baku herbal secara tunggal, yang seringkali disebabkan oleh fluktuasi kondisi cuaca dan musim panen, ragam varietas komoditi herbal dan teknik pengolahan pasca panen.
Namun, pihaknya tidak lantas menggabungkan sebanyak-banyaknya bahan herbal tanpa aturan khusus. Karena banyak juga bahan herbal yang khasiatnya saling memperlemah atau menetralkan satu dengan lainnya, misalnya penggabungan antara bawang putih dengan jahe merah, dimana keduanya memiliki sifat anti-platelet. "Jadi ada rule khusus kalau menggabungkan bahan-bahan herbal. Tidak bisa dilakukan begitu saja," katanya.
Dan, Iwan bersama tim di CV Pratistha Bakti Negeri mengaku sudah menerapkan ilmu baru tersebut pada produknya, Pratistha Herbanav. Produk herbal itu diklaim lebih baik dari herbal China dalam mengatasi demam pasien yang terkena badai sitokin. Dalam waktu dua hari minum herbal produksinya, pasien tersebut demamnya turun. Iwan mengaku selama pandemi Covid-19, penjualan obat herbalnya naik hingga 400%.
"Bahkan, saat peak varian Delta kemarin, naiknya sampai 1.000%," kata Iwan yang juga Co-Founder Pratistha Bakti Negeri.
Perlu Standar Khusus
Lebih jauh, sambung Iwan, banyaknya bahan herbal yang dimasukkan ke kandungan obat ternyata "bermasalah" dalam proses memperoleh izin uji klinik di BPOM. Dia bercerita saat mengajukan izin untuk obat herbal dengan kandungan enam bahan rempah dan herbal. "Keluar izinnya sangat lama. Saya harus menunggu 1 tahun 2 bulan untuk mendapat izin dari BPOM. Bisa dibayangkan kalau kandungan bahannya lebih banyak, pasti lebih lama," kata Iwan Suryolaksono.
Itu pun dia secara aktif ikut memberikan masukan atas kandungan obat herbalnya. Karena rumitnya izin uji klinik ini, para pengusaha herbal akhirnya menyiasati dengan hanya mencantumkan sedikit bahan di produk obat herbalnya. "Makin sedikit bahan kandungan, keluar izinnya makin cepat," ungkapnya.
Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat juga menjadi kendala tersendiri. Iwan mengaku punya pengalaman dalam membina petani kapulaga di Kawasan Garut, Jawa Barat. Dia mengaku kesulitan untuk mendapatkan kapulaga dengan kualitas bagus. Karena para petani memanen buah kapulaga secara bersamaan, sehingga antara yang matang dan masih muda bercampur. "Mereka memanen kapulaga utuh satu bonggol meski belum matang semua, karena takut keduluan sama pencuri," kata Iwan. Akibatnya, kapulaga yang seharusnya memiliki nilai herbal yang tinggi hanya dihargai sebagai bumbu dapur yang murah.
Sebagai perbandingan, misalnya, red ginseng dari Korea Selatan yang nilainya sangat tinggi karena mereka mampu menjaga standar kualitas komoditasnya tetap baik. Mereka memanen buahnya setelah benar-benar matang. Tidak terburu-buru dipanen. Karena tanaman red ginseng di sana tidak ada yang mencuri meski ditanam di alam liar.
Iwan mengaku heran dengan fenomena masyarakat yang suka mencuri tanaman seperti kapulaga. Karena hal itu membuat petani tidak bisa menjaga standar kualitas kandungan kapulaga secara baik. Padahal, kapulaga merupakan tanaman herbal yang potensial. Permintaan dunia akan kapulaga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kementerian Pertanian menyebut pada 2020 ekspor kapulaga dari Indonesia mencapai 6.248 ton atau senilai USD8 juta. Kapulaga banyak diminati di Timur Tengah, India dan Mesir.
Berbagai potensi yang besar dari herbal dan rempah itu sudah seharusnya digarap serius oleh pemerintah dengan kebijakan yang sistematis dan komprehensif. Menurut Iwan, masih banyak kebijakan yang bersifat top down sehingga acap kali gagal dalam implementasinya. Misalnya, karena booming produk minyak atsiri, pemerintah tiba-tiba membuat program alat penyulingan dengan skala besar. Tapi alat penyulingan tersebut akhirnya mangkrak karena lama-kelamaan tidak ada suplai mencukupi dari bahan baku minyak atsiri tersebut.
"Hal ini karena tidak ada studi dari bawah, langsung top down, akhirnya mesin nggak dipakai lagi. Sayang sekali," ungkap Iwan.
Hal senada juga diungkap Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania. "Di bidang kuliner, rempah-rempah kita masih sangat berjaya. Banyak komoditas rempah yang diekspor ke luar negeri. Tapi untuk obat herbal masih perlu banyak perbaikan," katanya.
Inggrid menyebut perbaikan yang dilakukan mulai soal standardisasi bahan baku untuk obat herbal yang tidak konsisten. Masalah standarisasi ini harus dipecahkan melalui penelitian yang serius. "Banyak sekali yang harus diteliti dengan motode yang paling baik untuk menghasilkan rempah atau herbal yang baik," kata Inggrid Tania.
Selain itu, pemerintah harus menggencarkan promosi obat herbal dan rempah Tanah Air ke dunia dengan strategi marketing yang bagus. Yang tak kalah penting adalah Indonesia harus membuat standar khusus untuk obat herbal seperti China dan India. Karena selama ini Indonesia menggunakan standar obat kimia konvensional dari WHO. Hal ini memberatkan karena bahan baku obat herbal dan rempah sulit mendapatkan kadar yang terstandar.
Herbalis, Iwan Suryolaksono mengungkapkan hal tersebut merespons keinginan pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah Nusantara pada abad ke-15 dan 16. "Negara kita sebenarnya harus menjadi juara dalam perdagangan rempah dan herbal dunia karena kekayaan alam yang dimiliki sangat besar," kata Iwan.
Sebagaimana diketahui, keragaman hayati yang dimiliki Indonesia sangat besar. Tidak kurang dari 30.000 spesies tanaman tumbuh di hutan tropis Indonesia. Di mana 9.600 spesies di antaranya mengandung khasiat obat. Hanya, sejauh ini baru sekitar 200 spesies tanaman yang dipakai untuk bahan baku pembuatan obat tradisional. Selain rempah, ada banyak sekali tumbuhan herbal yang bisa dipakai untuk kepentingan medis.
Baca juga: Sudah Vaksin, Tetap Lengkapi Hari Anda dengan Kandungan Suplemen Herbal Ini
Namun, banyaknya kekayaan nabati tersebut belum mampu dimaksimalkan menjadi produk unggulan. Dalam industri obat herbal, Indonesia masih harus mengakui keunggulan bangsa lain seperti China dan India yang produknya lebih dikenal khalayak dunia. Bahkan di Indonesia, obat herbal China juga sangat popular. Misalnya, saat ini sudah banyak obat herbal China beredar di pasaran seperti Linhua Qingwen Jiaonang dan Hua Xiang Zheng Qi Kou Fu Ye. Obat-obatan dari negeri Tirai Bambu itu banyak dikonsumsi oleh pasien Covid-19 di Indonesia.
Pandemi Covid-19 seharusnya dijadikan momentum untuk mengangkat rempah dan herbal Indonesia. Karena sejauh ini belum ditemukan obat kimia yang dinilai efektif untuk melawan Covid-19. Bahkan, obat kimia yang digunakan untuk pasien Covid memiliki dampak yang tidak ringan bagi kesehatan. Ke depan, obat herbal yang lebih aman diprediksi akan makin diminati masyarakat.
Iwan mengakui di tengah potensi besar di atas, masih banyak kendala dalam mengembangkan obat herbal secara paten. Salah satunya adalah soal standar bahan baku rempah dan herbal. Obat atau suplemen berbasis herbal memiliki kelemahan sulitnya mendapatkan kadar yang terstandar. Karena rempah dan herbal mengandung kadar bahan aktif bervariasi yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor mulai tempat tumbuh, umur panen, musim, teknis ekstraksi, dan lain-lain.
Baca juga: Inovasi Keren, Mahasiswa UNNES Sulap Daun Kelor Jadi Pasta Gigi Herbal
Misalnya, hasil panen jahe sekarang punya standar yang baik untuk bahan obat herbal. Namun, ketika menanam lagi, hasil panen jahe pada periode berikutnya belum tentu memiliki kandungan dengan kualitas yang sama. Begitulah rata-rata produk panenan rempah dan herbal yang umumnya memiliki kelemahan.
Tidak ajegnya standar rempah dan herbal ini menjadi masalah yang serius bagi kualitas obat herbal. Obat herbal yang kurang standar tidak bisa dipakai terutama untuk mengobati pasien dengan penyakit berat. "Bahaya kalau dipaksakan," kata Iwan.
Namun, Iwan punya trik jitu untuk menyiasati tidak ajegnya standar bahan aktif yang dikandung bahan baku obat herbal. "Agar suatu produk herbal mampu bekerja secara sistemik dengan hasil yang konsisten, maka strategi menyinergikan beragam zat aktif dengan efikasi yang konvergen ke organ-organ tertentu, sangat diperlukan," papar Iwan.
Menurut dia, penggabungan kerja beberapa bahan baku herbal dengan kandungan zat aktif yang efikasinya saling komplementer dan menguatkan, dapat menutupi kelemahan dan ketidakkonsistenan daya kerja zat aktif dari penggunaan bahan baku herbal secara tunggal, yang seringkali disebabkan oleh fluktuasi kondisi cuaca dan musim panen, ragam varietas komoditi herbal dan teknik pengolahan pasca panen.
Namun, pihaknya tidak lantas menggabungkan sebanyak-banyaknya bahan herbal tanpa aturan khusus. Karena banyak juga bahan herbal yang khasiatnya saling memperlemah atau menetralkan satu dengan lainnya, misalnya penggabungan antara bawang putih dengan jahe merah, dimana keduanya memiliki sifat anti-platelet. "Jadi ada rule khusus kalau menggabungkan bahan-bahan herbal. Tidak bisa dilakukan begitu saja," katanya.
Dan, Iwan bersama tim di CV Pratistha Bakti Negeri mengaku sudah menerapkan ilmu baru tersebut pada produknya, Pratistha Herbanav. Produk herbal itu diklaim lebih baik dari herbal China dalam mengatasi demam pasien yang terkena badai sitokin. Dalam waktu dua hari minum herbal produksinya, pasien tersebut demamnya turun. Iwan mengaku selama pandemi Covid-19, penjualan obat herbalnya naik hingga 400%.
"Bahkan, saat peak varian Delta kemarin, naiknya sampai 1.000%," kata Iwan yang juga Co-Founder Pratistha Bakti Negeri.
Perlu Standar Khusus
Lebih jauh, sambung Iwan, banyaknya bahan herbal yang dimasukkan ke kandungan obat ternyata "bermasalah" dalam proses memperoleh izin uji klinik di BPOM. Dia bercerita saat mengajukan izin untuk obat herbal dengan kandungan enam bahan rempah dan herbal. "Keluar izinnya sangat lama. Saya harus menunggu 1 tahun 2 bulan untuk mendapat izin dari BPOM. Bisa dibayangkan kalau kandungan bahannya lebih banyak, pasti lebih lama," kata Iwan Suryolaksono.
Itu pun dia secara aktif ikut memberikan masukan atas kandungan obat herbalnya. Karena rumitnya izin uji klinik ini, para pengusaha herbal akhirnya menyiasati dengan hanya mencantumkan sedikit bahan di produk obat herbalnya. "Makin sedikit bahan kandungan, keluar izinnya makin cepat," ungkapnya.
Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat juga menjadi kendala tersendiri. Iwan mengaku punya pengalaman dalam membina petani kapulaga di Kawasan Garut, Jawa Barat. Dia mengaku kesulitan untuk mendapatkan kapulaga dengan kualitas bagus. Karena para petani memanen buah kapulaga secara bersamaan, sehingga antara yang matang dan masih muda bercampur. "Mereka memanen kapulaga utuh satu bonggol meski belum matang semua, karena takut keduluan sama pencuri," kata Iwan. Akibatnya, kapulaga yang seharusnya memiliki nilai herbal yang tinggi hanya dihargai sebagai bumbu dapur yang murah.
Sebagai perbandingan, misalnya, red ginseng dari Korea Selatan yang nilainya sangat tinggi karena mereka mampu menjaga standar kualitas komoditasnya tetap baik. Mereka memanen buahnya setelah benar-benar matang. Tidak terburu-buru dipanen. Karena tanaman red ginseng di sana tidak ada yang mencuri meski ditanam di alam liar.
Iwan mengaku heran dengan fenomena masyarakat yang suka mencuri tanaman seperti kapulaga. Karena hal itu membuat petani tidak bisa menjaga standar kualitas kandungan kapulaga secara baik. Padahal, kapulaga merupakan tanaman herbal yang potensial. Permintaan dunia akan kapulaga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kementerian Pertanian menyebut pada 2020 ekspor kapulaga dari Indonesia mencapai 6.248 ton atau senilai USD8 juta. Kapulaga banyak diminati di Timur Tengah, India dan Mesir.
Berbagai potensi yang besar dari herbal dan rempah itu sudah seharusnya digarap serius oleh pemerintah dengan kebijakan yang sistematis dan komprehensif. Menurut Iwan, masih banyak kebijakan yang bersifat top down sehingga acap kali gagal dalam implementasinya. Misalnya, karena booming produk minyak atsiri, pemerintah tiba-tiba membuat program alat penyulingan dengan skala besar. Tapi alat penyulingan tersebut akhirnya mangkrak karena lama-kelamaan tidak ada suplai mencukupi dari bahan baku minyak atsiri tersebut.
"Hal ini karena tidak ada studi dari bawah, langsung top down, akhirnya mesin nggak dipakai lagi. Sayang sekali," ungkap Iwan.
Hal senada juga diungkap Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania. "Di bidang kuliner, rempah-rempah kita masih sangat berjaya. Banyak komoditas rempah yang diekspor ke luar negeri. Tapi untuk obat herbal masih perlu banyak perbaikan," katanya.
Inggrid menyebut perbaikan yang dilakukan mulai soal standardisasi bahan baku untuk obat herbal yang tidak konsisten. Masalah standarisasi ini harus dipecahkan melalui penelitian yang serius. "Banyak sekali yang harus diteliti dengan motode yang paling baik untuk menghasilkan rempah atau herbal yang baik," kata Inggrid Tania.
Selain itu, pemerintah harus menggencarkan promosi obat herbal dan rempah Tanah Air ke dunia dengan strategi marketing yang bagus. Yang tak kalah penting adalah Indonesia harus membuat standar khusus untuk obat herbal seperti China dan India. Karena selama ini Indonesia menggunakan standar obat kimia konvensional dari WHO. Hal ini memberatkan karena bahan baku obat herbal dan rempah sulit mendapatkan kadar yang terstandar.
(abd)