PKS Klaim Kian Mantap Beroposisi di Tengah Konsolidasi Partai Pro Pemerintah
Kamis, 02 September 2021 - 06:19 WIB
"Akibatnya puluhan tahun Indonesia tidak beranjak status sebagai negara berkembang. Indonesia terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap), bahkan dalam penilaian Bank Dunia (2021) negara kita turun peringkat menjadi negara berpenghasilan menengah-bawah (lower middle income country)," jelasnya.
Kemudian angka kemiskinan dan pengangguran masih sangat tinggi apalagi setelah dihantam pandemi. Data BPS Maret 2021 kemiskinan di angka 10,14 % atau setara 27,54 juta. Kesenjangan atau disparitas ekonomi rakyat dan wilayah juga masih sangat lebar.
"Laporan TNP2K tahun 2019 mencatat 1% orang kaya Indonesia menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan 10% maka aset yang dikuasi menjadi 70%. Artinya 90% orang Indonesia berebut 30% aset nasional. Selanjutnya, kebijakan importasi masih dominan dalam sejumlah komoditas khususnya di sektor pangan, manufaktur dan energi," ujar Jazuli.
"Utang luar negeri terus bertambah dan menjadi beban generasi yang akan datang. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan audit LKKP 2020 telah mengingatkan bahwa utang pemerintah sudah melampaui batas dan kapasitas pengembalian dibanding potensi pendapatan," tambahnya.
Di sisi lain kata Jazuli, arah untuk mewujudkan kedaulatan bagi petani, nelayan, pekerja, sdm lokal, serta produk-produk dalam negeri tidak terlihat konsisten, kebijakan hulu dan hilirnya acapkali tidak nyambung. Kita negara kaya sumber daya alam, hasil bumi dan hasil laut tapi tiap tahun pemerintah masih impor beras hingga garam.
"Di bidang politik dan penegakan hukum yang berkeadilan rapor pemerintah juga tidak menggembirakan. Lembaga internasional The Economist Intellegence Unit (2020) menilai terjadi penurunan indeks demokrasi Indonesia terendah selama 14 tahun terakhir," ungkapnya.
Merosot ke posisi 64 dari 167 negara. Posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara Indonesia di bawah Malaysia, Thailand, dan negara baru eks wilayah kita Timor Leste. Menurut banyak akademisi dan masyarakat sipil, hal ini tidak lepas dari iklim kebebasan berpendapat yang dirasakan ada pengekangan, ada kecenderungan perbedaan pendapat disikapi secara reaktif dan represif.
"Kelompok-kelompok kritis merasa dikriminalisasi. Ada persepsi ketidakadilan dalam perlakuan antara kelompok kritis dengan mereka yang kerap membela pemerintah. Ditambah lagi sikap dan perilaku buzzer yang agresif sehingga acapkali menimbulkan segregasi dan alienasi yang mengarah pada disharmoni sosial dan konflik terbuka," tegasnya.
"Kita juga masih tersandera kasus-kasus korupsi, konflik kepentingan pengisian jabatan publik dan BUMN, pelanggaran etik dan kepatutan, serta sejumlah praktik maladministrasi, data yang tidak vakid dan akurat, hingga maraknya kasus kebocoran data pribadi," sambungnya.
Ketiga kata Jazuli, di bidang pengembangan SDM dan daya saing bangsa, peringkat kita masih di bawah dan kalah dibandingkan sejumlah negara kecil di kawasan. Indeks Pembangunan Manusia kita peringkat 107 dari 189 negara (UNDP, 2020).
Kemudian angka kemiskinan dan pengangguran masih sangat tinggi apalagi setelah dihantam pandemi. Data BPS Maret 2021 kemiskinan di angka 10,14 % atau setara 27,54 juta. Kesenjangan atau disparitas ekonomi rakyat dan wilayah juga masih sangat lebar.
"Laporan TNP2K tahun 2019 mencatat 1% orang kaya Indonesia menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan 10% maka aset yang dikuasi menjadi 70%. Artinya 90% orang Indonesia berebut 30% aset nasional. Selanjutnya, kebijakan importasi masih dominan dalam sejumlah komoditas khususnya di sektor pangan, manufaktur dan energi," ujar Jazuli.
"Utang luar negeri terus bertambah dan menjadi beban generasi yang akan datang. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan audit LKKP 2020 telah mengingatkan bahwa utang pemerintah sudah melampaui batas dan kapasitas pengembalian dibanding potensi pendapatan," tambahnya.
Di sisi lain kata Jazuli, arah untuk mewujudkan kedaulatan bagi petani, nelayan, pekerja, sdm lokal, serta produk-produk dalam negeri tidak terlihat konsisten, kebijakan hulu dan hilirnya acapkali tidak nyambung. Kita negara kaya sumber daya alam, hasil bumi dan hasil laut tapi tiap tahun pemerintah masih impor beras hingga garam.
"Di bidang politik dan penegakan hukum yang berkeadilan rapor pemerintah juga tidak menggembirakan. Lembaga internasional The Economist Intellegence Unit (2020) menilai terjadi penurunan indeks demokrasi Indonesia terendah selama 14 tahun terakhir," ungkapnya.
Merosot ke posisi 64 dari 167 negara. Posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara Indonesia di bawah Malaysia, Thailand, dan negara baru eks wilayah kita Timor Leste. Menurut banyak akademisi dan masyarakat sipil, hal ini tidak lepas dari iklim kebebasan berpendapat yang dirasakan ada pengekangan, ada kecenderungan perbedaan pendapat disikapi secara reaktif dan represif.
"Kelompok-kelompok kritis merasa dikriminalisasi. Ada persepsi ketidakadilan dalam perlakuan antara kelompok kritis dengan mereka yang kerap membela pemerintah. Ditambah lagi sikap dan perilaku buzzer yang agresif sehingga acapkali menimbulkan segregasi dan alienasi yang mengarah pada disharmoni sosial dan konflik terbuka," tegasnya.
"Kita juga masih tersandera kasus-kasus korupsi, konflik kepentingan pengisian jabatan publik dan BUMN, pelanggaran etik dan kepatutan, serta sejumlah praktik maladministrasi, data yang tidak vakid dan akurat, hingga maraknya kasus kebocoran data pribadi," sambungnya.
Ketiga kata Jazuli, di bidang pengembangan SDM dan daya saing bangsa, peringkat kita masih di bawah dan kalah dibandingkan sejumlah negara kecil di kawasan. Indeks Pembangunan Manusia kita peringkat 107 dari 189 negara (UNDP, 2020).
tulis komentar anda