UMKM Bangkit!
Jum'at, 27 Agustus 2021 - 13:49 WIB
Kendati demikian, ada tantangan memasuki kuartal III-2021 lantaran penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang diikuti PPKM Level 4-3-2-1 sejak 3 Juli 2021. Seiring penurunan kasus aktif Covid-19, perlahan tapi pasti sektor-sektor ekonomi pun mulai dibuka kembali. Ekonomi kuartal ini diyakini masih bisa tumbuh di kisaran 4%.
Secara kasat mata, dampak pandemi Covid-19 terhadap UMKM terlihat nyata di sekeliling kita. Sebagai contoh sederhana, satu per satu warung makan atau akrab dengan sebutan warteg tutup. Penutupan warteg itu tidak hanya bisa dilihat dari sisi usaha semata, melainkan juga dari sisi pekerja yang terlibat di dalamnya. Belum lagi pihak ketiga atau keempat yang mendukung keberlangsungan usaha.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berupaya membangkitkan kembali sektor UMKM. Apalagi, mengutip penelitian Badan Keahlian DPR, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,19 juta dengan komposisi usaha mikro dan kecil (UMK) sangat dominan, yaitu 64,13 juta (99,92%) dari keseluruhan usaha.
Survei Katadata Insight Center terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek yang dipublikasikan tahun lalu menunjukkan 82,9% responden merasakan dampak negatif pandemi Covid-19.
Pandemi juga menyebabkan 63,9% UMKM mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. Demi bertahan, pelaku UMKM melakukan berbagai efisiensi seperti menurunkan produksi barang/jasa, mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan, dan saluran penjualan/pemasaran. Akan tetapi, ada pula UMKM yang mengambil langkah berbeda, yakni menambah saluran pemasaran.
Pandemi sebagaimana diberitakan media online juga mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan. Beberapa di antaranya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kendala lain yang diderita pelaku UMKM adalah kesulitan memperoleh bahan baku, permodalan, penurunan pelanggan, distribusi, dan produksi terhambat.
Saatnya Bangkit
Kendati demikian, perlahan tapi pasti, situasi yang menimpa pelaku UMKM mulai membaik beberapa waktu belakangan. Pelonggaran ekonomi bertahap seiring perbaikan pengendalian Covid-19 telah berdampak positif. Situasi itu secara kasat mata terlihat di sekitar tempat tinggal kita. Warung makan misalnya, sudah mulai diramaikan pengunjung lagi, meski harus menaati protokol kesehatan (prokes) yang ketat disertai durasi makan yang terbatas hanya 30 menit.
Tapi satu hal, jangan sampai pemulihan ekonomi yang ditandai geliat usaha pelaku UMKM itu terganggu lagi gara-gara lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi pada Juni-Juli 2021.
Terlepas dari dinamika yang ada, sudah sepatutnya para pihak, dalam hal ini pemerintah, swasta, dan pelaku UMKM mempersiapkan diri menyongsong kebangkitan di era postpandemic Covid-19. Jika diperdalam, masalah inti UMKM masih tidak dapat terlepas dari pembiayaan. Sebagaimana dijelaskan di awal, pandemi mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman kepada lembaga keuangan. Oleh karena itu, penting agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong lembaga keuangan agar memberikan kemudahan kepada pelaku UMKM menyelesaikan kewajibannya. Aturan dalam wujud POJK tentu akan lebih mengikat lembaga keuangan.
Secara kasat mata, dampak pandemi Covid-19 terhadap UMKM terlihat nyata di sekeliling kita. Sebagai contoh sederhana, satu per satu warung makan atau akrab dengan sebutan warteg tutup. Penutupan warteg itu tidak hanya bisa dilihat dari sisi usaha semata, melainkan juga dari sisi pekerja yang terlibat di dalamnya. Belum lagi pihak ketiga atau keempat yang mendukung keberlangsungan usaha.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berupaya membangkitkan kembali sektor UMKM. Apalagi, mengutip penelitian Badan Keahlian DPR, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,19 juta dengan komposisi usaha mikro dan kecil (UMK) sangat dominan, yaitu 64,13 juta (99,92%) dari keseluruhan usaha.
Survei Katadata Insight Center terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek yang dipublikasikan tahun lalu menunjukkan 82,9% responden merasakan dampak negatif pandemi Covid-19.
Pandemi juga menyebabkan 63,9% UMKM mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. Demi bertahan, pelaku UMKM melakukan berbagai efisiensi seperti menurunkan produksi barang/jasa, mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan, dan saluran penjualan/pemasaran. Akan tetapi, ada pula UMKM yang mengambil langkah berbeda, yakni menambah saluran pemasaran.
Pandemi sebagaimana diberitakan media online juga mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan. Beberapa di antaranya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kendala lain yang diderita pelaku UMKM adalah kesulitan memperoleh bahan baku, permodalan, penurunan pelanggan, distribusi, dan produksi terhambat.
Saatnya Bangkit
Kendati demikian, perlahan tapi pasti, situasi yang menimpa pelaku UMKM mulai membaik beberapa waktu belakangan. Pelonggaran ekonomi bertahap seiring perbaikan pengendalian Covid-19 telah berdampak positif. Situasi itu secara kasat mata terlihat di sekitar tempat tinggal kita. Warung makan misalnya, sudah mulai diramaikan pengunjung lagi, meski harus menaati protokol kesehatan (prokes) yang ketat disertai durasi makan yang terbatas hanya 30 menit.
Tapi satu hal, jangan sampai pemulihan ekonomi yang ditandai geliat usaha pelaku UMKM itu terganggu lagi gara-gara lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi pada Juni-Juli 2021.
Terlepas dari dinamika yang ada, sudah sepatutnya para pihak, dalam hal ini pemerintah, swasta, dan pelaku UMKM mempersiapkan diri menyongsong kebangkitan di era postpandemic Covid-19. Jika diperdalam, masalah inti UMKM masih tidak dapat terlepas dari pembiayaan. Sebagaimana dijelaskan di awal, pandemi mengakibatkan banyak pelaku UMKM kesulitan melunasi pinjaman kepada lembaga keuangan. Oleh karena itu, penting agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong lembaga keuangan agar memberikan kemudahan kepada pelaku UMKM menyelesaikan kewajibannya. Aturan dalam wujud POJK tentu akan lebih mengikat lembaga keuangan.
tulis komentar anda