Reaktualisasi Hijrah di Era Pandemi

Senin, 09 Agustus 2021 - 11:13 WIB
“Segala puji bagi Allah, Yang Menciptakanku dan aku tidak ada sebelumnya. Ya Allah, tolonglah aku dalam menghadapi kesulitan dunia dan musibah yang menimpa baik malam maupun siang. Ya Allah, di hadapan-Mu hinalah aku, bantu aku untuk taat kepada-Mu, dan jangan Engkau serahkan aku kepada (dominasi) makhluk-Mu.”

Ketiga, di antara pelajaran penting dari peringatan hijrah untuk memperbaiki realitas bangsa adalah semua kerja dan upaya harus dilakukan dengan perencanaan matang, sistematis, dan komprehensif. Itulah teladan Nabi yang percaya dengan inteligensia manusia disamping kuasa Tuhan.

Muhammad didampingi sahabatnya Abu Bakar saat hijrah dengan mempersiapkan pengamanan optimal. Keduanya bersembunyi selama tiga hari di Gunung Tsur, untuk menghilangkan jejak. Muhammad meminta pertolongan penunjuk jalan dari seorang pagan bernama Abdullah bin Uraiqith demi menyamarkan misinya. Di tengah pandemi yang menghantam seluruh aspek kesehatan, ekonomi dan sistem sosial-politik, kita perlu berkolaborasi dengan banyak pihak. Prioritas utama ialah keselamatan rakyat.

Secara preventif kita menutup kemungkinan datangnya bahaya pemburukan pandemi dari semua penjuru. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) seharusnya diikuti pengawasan ketat pintu masuk dari luar negeri, selain diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat terdampak. Ujian pandemi memperlihatkan ketidaksiapan kita mengelola fasilitas kesehatan mendasar di berbagai daerah.

Pelajaran keempat dari momen hijrah adalah seorang pemimpin harus siap menghadapi situasi paling berat, bahkan mengancam nyawanya. Muhammad mengerahkan para sahabat berangkat ke Madinah lebih dahulu untuk mengantisipasi perlakuan buruk kaum musyrikin Mekah, bila mengetahui rencana eksodus. Muhammad yang menjadi incaran utama kaum musyrikin tetap berada di Mekah, dan baru melakukan hijrah pada giliran terakhir.

Di situ diuji nilai keberanian, kepedulian sekaligus tanggung-jawab seorang pemimpin. Dalam konteks kita saat ini, pemimpin di level manapun, dituntut untuk menunaikan tanggung-jawab, berempati, siap berkorban, berani menanggung resiko dalam menghadapi badai pandemi. Pemimpin tidak mementingkan diri sendiri, keluarga dan koleganya di atas kepentingan rakyat yang sedang melewati krisis di berbagai sektor.

Satu hal penting yang tak boleh dilupakan, hijrah merupakan momen diletakkannya fondasi sebuah negara-kota (city state) yang berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman. Fenomena sosial-politik yang paling maju di zamannya. Fondasi sosial yang melandasi pemerintahan kuat, masyarakat solid, dan hubungan harmonis antara seluruh elemen berbeda. Sejarawan Muhammad Hamidullah (1975) menyebutnya sebagai negara pertama yang berdiri di atas prinsip konstitusi dan sistem politik yang mengatur hak dan kewajiban antara warga dan pemimpinnya.

Hijrah Nabawiyah pada hakekatnya adalah transformasi dari sistem sosial yang mengagungkan sentimen kesukuan primordial, saling menyerang dan saling menindas, menimbulkan kekacauan dan keterbelahan. Menuju masyarakat yang adil, saling menghargai perbedaan, saling bantu, membangun sistem pelrindungan dan menyatu. Transposisi dari masyarakat yang suka melanggar hak dasar manusia (terutama kepada kaum lemah) menjadi masyrakat yang menghormati hak dan kebebasan, terutama kebebasan berkeyakinan dan beribadah, bagi kaum mayoritas maupun minoritas.

Semua warga Kota Madinah berkedudukan sama. Mereka bergenggaman tangan satu sama lain, saling membela dari ancaman asing. Piagam Madinah merupakan pertama dalam sejarah kemanusiaan sebagai buah kesepakatan social (social contract). Salah satu butir ketentuannya menegaskan:

“Orang Yahudi membiayai hidup mereka sendiri. Demikian juga dengan orang-orang Islam membiayai hidup mereka sendiri. Para pendukung piagam ini membantu salah satu dari mereka, apabila ada musuh yang menyerang salah satu dari mereka. Di antara mereka saling menyambung hubungan baik, tidak boleh berlaku zalim. Tidak boleh menzalimi orang-orang yang mengikat perjanjian. Tidak boleh menolong orang zalim.” Intinya, tidak ada penindasan, diskriminsi dan otoriterianisme dalam konstitusi Madinah.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More