Ekonomi Berbasis Saintek, Kunci Indonesia Menjadi Negara Maju
Sabtu, 07 Agustus 2021 - 11:36 WIB
Baca juga: 7 Ilmuwan Dunia yang Melakukan Terobosan Sains Modern
Diakui Pontjo, Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini di beberapa sektor pembangunan ekonomi Indonesia, masih berbasis sumber daya alam. Penyebabnya, kata Pontjo, seperti disampaikan Gustav Papanek dalamsuatu diskusi ekonomi di Jakarta pada 2014 mengatakan bahwa Indonesia terlalu terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya sehingga disebut mengalami penyakit Belanda (Dutch disease).
Ketergantungan pada Teknologi Luar
Selain penguasaan masih rendah, lanjut Pontjo, ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar juga masih sangat tinggi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa Indonesia dalam percaturan global.
Menurut Pontjo, rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan "triple-helix" antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.
Dunia usaha yang memiliki peran strategis bahkan seharusnya menjadi motor dalam pengembangan inovasi teknologi lanjut Pontjo, juga masih ketinggalan baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Padahal, dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Tanpa dunia usaha inovasi teknologi tidak akan berkembang.
"Peran strategis inilah yang seharusnya selalu disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggung jawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, ada kebutuhan road-map pengembangan dunia usaha kita," katanya.
Selain berbagai hambatan atau kendala tersebut, diakui Pontjo, bangsa Indonesia juga masih menghadapi kendala budaya (kultural). Sebagaimana diungkapkan oleh Simon Philpot dalam bukunya: "Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity" (2000) 2, yaitu ketidakmampuan menciptakan imajinasi kultural (cultural imagination). Dalam buku tersebut, Simon menilai bangsa Indonesia kurang mampu membangun imajinasi komprehensif yang dituangkan ke dalam visi bangsa. Bangsa tanpa imajinasi akan hidup di dalam bingkai imajinasi orang lain.
Pontjo mengingatkan bahwa sebuah bangsa menjadi besar karena kemampuannya membangun imajinasi masa depan, yang sudah barang tentu harus disertai perencanaan dan usaha sistematis untuk mencapainya. Lihat saja imajinasi Amerika Serikat tentang kota ilmu dan teknologi yang melahirkan Silicon Valley, imajinasi India sebagai negeri perangkat lunak, dan imajinasi China sebagai negeri perangkat keras.
Diakui Pontjo, Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini di beberapa sektor pembangunan ekonomi Indonesia, masih berbasis sumber daya alam. Penyebabnya, kata Pontjo, seperti disampaikan Gustav Papanek dalamsuatu diskusi ekonomi di Jakarta pada 2014 mengatakan bahwa Indonesia terlalu terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya sehingga disebut mengalami penyakit Belanda (Dutch disease).
Ketergantungan pada Teknologi Luar
Selain penguasaan masih rendah, lanjut Pontjo, ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar juga masih sangat tinggi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa Indonesia dalam percaturan global.
Menurut Pontjo, rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan "triple-helix" antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.
Dunia usaha yang memiliki peran strategis bahkan seharusnya menjadi motor dalam pengembangan inovasi teknologi lanjut Pontjo, juga masih ketinggalan baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Padahal, dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Tanpa dunia usaha inovasi teknologi tidak akan berkembang.
"Peran strategis inilah yang seharusnya selalu disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggung jawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, ada kebutuhan road-map pengembangan dunia usaha kita," katanya.
Selain berbagai hambatan atau kendala tersebut, diakui Pontjo, bangsa Indonesia juga masih menghadapi kendala budaya (kultural). Sebagaimana diungkapkan oleh Simon Philpot dalam bukunya: "Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity" (2000) 2, yaitu ketidakmampuan menciptakan imajinasi kultural (cultural imagination). Dalam buku tersebut, Simon menilai bangsa Indonesia kurang mampu membangun imajinasi komprehensif yang dituangkan ke dalam visi bangsa. Bangsa tanpa imajinasi akan hidup di dalam bingkai imajinasi orang lain.
Pontjo mengingatkan bahwa sebuah bangsa menjadi besar karena kemampuannya membangun imajinasi masa depan, yang sudah barang tentu harus disertai perencanaan dan usaha sistematis untuk mencapainya. Lihat saja imajinasi Amerika Serikat tentang kota ilmu dan teknologi yang melahirkan Silicon Valley, imajinasi India sebagai negeri perangkat lunak, dan imajinasi China sebagai negeri perangkat keras.
tulis komentar anda