Wakil Ketua MPR Tegaskan Peningkatan Pemahaman Kesetaraan Gender Harus Diwujudkan
Rabu, 04 Agustus 2021 - 18:08 WIB
JAKARTA - Pemahaman masyarakat terkait kesetaraan gender sangat memengaruhi sikap sejumlah pihak terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Upaya peningkatan pemahaman kesetaraan gender dapat diwujudkan lewat pencapain target Sustainable Development Goal's (SDGs).
"Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) harus dilihat secara holistik, sehingga sejumlah target, termasuk kesetaraan gender, dapat segera dicapai," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Kesetaraan Gender Sebagai Bagian dari Cita-Cita Pembangunan Berkelanjutan, yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (4/8/2021).
Dalam diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri itu, menghadirkan, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Mimah Susanti, Pakar dan Aktivis Gender/ Ketua Pusat Penelitian Gender Universitas Muhammadiyah Malang/UMM Sugiarti, dan Akademisi - Dosen Hukum Pidana Elsa R.M Toule sebagai pembicara. Baca juga: Wakil Ketua MPR: UU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Jadi Perjuangan Bersama
Selain itu hadir pula Inisiator RUU PKS yang juga mantan anggota DPR RI Periode 2014-2019 sekaligus Wakil Ketua DPP Garnita Malahayati Nasdem Ammy A.F Surya, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI sekaligus pakar Hukum Tata Negara Atang Irawan dan Ketua Koordinator Bidang Kebijakan Publik & Isu Strategis DPP Partai Nasdem Suyoto sebagai penanggap.
Menurut Lestari, berbagai upaya harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan segenap lapisan masyarakat dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender. Apalagi, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pemahaman kesetaraan gender di masyarakat Indonesia terbilang rendah. Hal itu, tambahnya, diindikasikan dengan berlarut-larutnya proses pembahasan RUU PKS, yang salah satu soal yang dipertentangkan terkait dengan permasalahan gender.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, berharap negara berkomitmen kuat dalam mewujudkan peningkatan pemahaman masyarakat terkait kesetaraan gender, yang merupakan bagian dari SDGs. Karena SDGs, jelas Rerie, adalah sebuah peta jalan bangsa-bangsa di dunia untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara di dunia dan Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen untuk menjalankannya.
Rerie mengajak, semua pihak tanpa melihat sekat partai politik, golongan dan agama, untuk bahu membahu lewat gerakan peningkatan pemahaman kesetaraan gender di masyarakat dan mendorong segera lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS), untuk melindungi bangsa ini dari ancaman kekerasan seksual yang terus meningkat di Tanah Air.
Pakar Hukum Pidana Universitas Pattimura, Ambon, Elsa R.M Toule berpendapat mekanisme perlindungan terhadap kekerasan seksual bisa diberikan dalam berbagai upaya yaitu preemtif, preventif dan represif. Upaya preemtif, menurut Elsa, bertujuan untuk meminimalkan faktor kriminogen, terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan misalnya didorong oleh faktor penyebab yaitu sosio-budaya yang belum memahami kesetaraan gender, penegakan hukum yang belum memadai. Selain itu, jelasnya, faktor pemicunya adalah kemiskinan, pengangguran, tayangan di media massa dan faktor pelestari kekerasan seksual terhadap perempuan adalah ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan upaya preventif, jelas Elsa, bisa melalui aturan perundangan-undangan untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual. Sementara upaya Represif lewat hukuman pidana.
"Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) harus dilihat secara holistik, sehingga sejumlah target, termasuk kesetaraan gender, dapat segera dicapai," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Kesetaraan Gender Sebagai Bagian dari Cita-Cita Pembangunan Berkelanjutan, yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (4/8/2021).
Dalam diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri itu, menghadirkan, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Mimah Susanti, Pakar dan Aktivis Gender/ Ketua Pusat Penelitian Gender Universitas Muhammadiyah Malang/UMM Sugiarti, dan Akademisi - Dosen Hukum Pidana Elsa R.M Toule sebagai pembicara. Baca juga: Wakil Ketua MPR: UU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Jadi Perjuangan Bersama
Selain itu hadir pula Inisiator RUU PKS yang juga mantan anggota DPR RI Periode 2014-2019 sekaligus Wakil Ketua DPP Garnita Malahayati Nasdem Ammy A.F Surya, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI sekaligus pakar Hukum Tata Negara Atang Irawan dan Ketua Koordinator Bidang Kebijakan Publik & Isu Strategis DPP Partai Nasdem Suyoto sebagai penanggap.
Menurut Lestari, berbagai upaya harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan segenap lapisan masyarakat dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender. Apalagi, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pemahaman kesetaraan gender di masyarakat Indonesia terbilang rendah. Hal itu, tambahnya, diindikasikan dengan berlarut-larutnya proses pembahasan RUU PKS, yang salah satu soal yang dipertentangkan terkait dengan permasalahan gender.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, berharap negara berkomitmen kuat dalam mewujudkan peningkatan pemahaman masyarakat terkait kesetaraan gender, yang merupakan bagian dari SDGs. Karena SDGs, jelas Rerie, adalah sebuah peta jalan bangsa-bangsa di dunia untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara di dunia dan Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen untuk menjalankannya.
Rerie mengajak, semua pihak tanpa melihat sekat partai politik, golongan dan agama, untuk bahu membahu lewat gerakan peningkatan pemahaman kesetaraan gender di masyarakat dan mendorong segera lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS), untuk melindungi bangsa ini dari ancaman kekerasan seksual yang terus meningkat di Tanah Air.
Pakar Hukum Pidana Universitas Pattimura, Ambon, Elsa R.M Toule berpendapat mekanisme perlindungan terhadap kekerasan seksual bisa diberikan dalam berbagai upaya yaitu preemtif, preventif dan represif. Upaya preemtif, menurut Elsa, bertujuan untuk meminimalkan faktor kriminogen, terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan misalnya didorong oleh faktor penyebab yaitu sosio-budaya yang belum memahami kesetaraan gender, penegakan hukum yang belum memadai. Selain itu, jelasnya, faktor pemicunya adalah kemiskinan, pengangguran, tayangan di media massa dan faktor pelestari kekerasan seksual terhadap perempuan adalah ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan upaya preventif, jelas Elsa, bisa melalui aturan perundangan-undangan untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual. Sementara upaya Represif lewat hukuman pidana.
tulis komentar anda