Rokok dan Optimalisasi Bonus Demografi

Senin, 26 Juli 2021 - 23:32 WIB
Apabila permasalahan ini tidak segera diatasi, maka beban negara semakin bertambah berat dalam membiayai layanan kesehatan akibat risiko merokok. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mengucurkan biaya yang besar untuk penyakit tidak menular yang berkaitan dengan rokok seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit paru. Hanya dalam jangka waktu 4 tahun, dari Rp9.9 triliun pada 2014 menjadi Rp18,9 triliun pada 2018. Pengeluaran ini merupakan seperlima dari total pembiayaan medis program JKN. Hal ini makin memperburuk defisit anggaran JKN.

Kondisi ini menjadi ancaman bagi Indonesia untuk menikmati bonus demografi. Kita dihadapkan pada kemungkinan generasi emas yang seharusnya menjadi motor penggerak roda ekonomi sekaligus penyumbang pajak yang besar, justru menjadi generasi yang tidak cukup sehat untuk menjalankan fungsi sosial dan ekonominya. Generasi yang seyogyanya menjadi kontributor utama pembangunan malah berpotensi menjadi beban kesehatan dan biaya pengobatan.



Dilema Benci Tapi Cinta

Namun, pandangan masyarakat mengenai rokok terbelah. Pihak kontra menilai bahwa rokok membawa permasalahan sosial. Salah satunya adalah kesehatan. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri, rokok memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara melalui cukai. Keberadaan cukai rokok juga berpengaruh bagi pendapatan daerah karena adanya pajak rokok dan dana bagi hasil cukai tembakau. Pada 2020, cukai rokok memberikan kontribusi sebanyak 96% dari total penerimaan cukai negara yang berjumlah Rp176 triliun. Pemerintah menggunakan cukai untuk membiayai program pembinaan lingkungan sosial, salah satunya adalah kesehatan.

Demi menurunkan prevalensi merokok dan mengupayakan pengendalian bahaya merokok telah dilakukan oleh pemerintah melalui regulasi tentang iklan rokok, peringatan kesehatan untuk dicantumkan pada kemasan, harga (melalui cukai) dan aturan-aturan lain terkait konsumsi seperti batasan usia minimal untuk perokok, yaitu 18 tahun ke atas. Dapat disimpulkan bahwa upaya ini, selain tidak cukup untuk menurunkan prevalensi perokok, juga tak mampu mengurangi dampak yang ditimbulkan dari peningkatan tersebut, baik dari aspek kesehatan maupun beban fiskal yang ditimbulkan.

Upaya untuk mengatasi dua komponen masalah ini harus lebih komperehensif. Selain upaya pengurangan jumlah perokok yang harus lebih diintensifikan seperti pelibatan masyarakat dalam menciptakan social control dan pengaturan implementasi ID check di setiap transaksi rokok, dampak dari konsumsi tembakau juga harus dikurangi. Indonesia sudah seharusnya mulai mempertimbangkan penerapan konsep tobacco harm reduction atau pengurangan bahaya tembakau, seperti yang telah dilakukan Inggris, Swedia, Jepang dan Amerika Serikat.

Konsep pengurangan bahaya tembakau tersebut ialah strategi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan akses informasi yang faktual maupun akses terhadap produk alternatif kepada para perokok guna mengurangi risiko yang disebabkan oleh merokok. Adapun produk Alternatif yang dimaksud misalnya ialah rokok elektrik (vape), snus, dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco) yang tidak dibakar seperti rokok, sehingga dapat mengurangi zat berbahaya yang dihasilkan secara signifikan. Bagi penduduk dewasa usia kerja yang juga merupakan perokok berusia 18 tahun ke atas, diharapkan dapat berhenti merokok guna mengeliminasi bahaya terhadap kesehatan. Akan tetapi, jika menemui kendala saat berupaya berhenti, penggunaan alternatif dapat menjadi pilihan untuk mengurangi risiko penggunaan produk tembakau.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(muh)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Terpopuler
Berita Terkini More