Rokok dan Optimalisasi Bonus Demografi

Senin, 26 Juli 2021 - 23:32 WIB
Rokok dan Optimalisasi Bonus Demografi
Dedek Prayudi, B.A., M.Sc.,

Direktur Eksekutif Centre for Youth and Population Research

SEJAK 2015 Indonesia telah mengalami demographic dividend atau bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2024 mendatang (BPS, 2018). Bonus demografi adalah sebuah transisi demografi, di mana terjadi ledakan penduduk usia kerja (dua penduduk usia kerja banding satu penduduk non-usia kerja/rasio ketergantungan 50 atau lebih kecil). Bonus demografi adalah jendela peluang sekaligus bisa menjadi pintu malapetaka.

Saat ini, sekitar 7 dari 10 dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta merupakan penduduk usia produktif. Hampir separuhnya adalah pemuda berusia 16-30 tahun. Proporsi ini akan terus bertahan dengan jumlah penduduk yang bertambah hingga tahun 2024. Jika Indonesia berhasil menyediakan cukup ruang dan dorongan bagi penduduk usia produktif agar berdaya, maka bonus demografi akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sosial dan ekonomi nasional.

Para ilmuwan mencatat bahwa sepertiga dari keberhasilan ekonomi negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Korea Selatan disebabkan oleh kesuksesan mereka memetik bonus demografi (Bloom, 2003). Minimal, negara yang gagal memanfaatkan peluang bonus demografi akan terperangkap di dalam jebakan pendapatan menengah, seperti yang dialami Pakistan (Salim, et al 2015). Produktivitas penduduk melalui intervensi pembangunan manusia yang komprehensif adalah kunci untuk menyukseskan jendela peluang bonus demografi.



Bonus Demografi dan Dampak Buruk Merokok

Demi memaksimalkan bonus demografi, Pemerintah Indonesia fokus mencanangkan pembangunan manusia untuk mewujudkan generasi emas 2045 yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pembangunan manusia ini meliputi bidang kesehatan, pendidikan, perumahan rakyat, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Terkait aspek kesehatan, memetik bonus demografi hanya dapat dilakukan apabila penduduk usia produktif cukup sehat untuk menjalankan fungsi sosial dan ekonomi serta tidak menjadi beban layanan kesehatan berikut pembiayaannya.

Salah satu persoalan dalam aspek kesehatan yang berpotensi menghambat Indonesia untuk menikmati bonus demografi adalah prevalensi merokok. Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa 88 dari 100 kematian di Indonesia memiliki keterkaitan dengan kebiasaan merokok di tingkat downstream. Penyakit seperti kanker, darah tinggi, kardiovaskuler, paling tinggi dialami oleh pasien yang memiliki riwayat merokok. Ironisnya, pada 2018 lalu, Youth Global Tobacco mengemukakan bahwa Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga jumlah perokok di dunia.

Dalam 10 tahun terakhir, prevalensi merokok untuk kelompok penduduk dewasa muda (usia 20-24 tahun) mengalami peningkatan dua kali lipat, yaitu dari 17,3% pada tahun 2007 menjadi 33,2% pada tahun 2018. Artinya, 1 dari 5 orang penduduk dewasa usia muda dan produktif tersebut merokok.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Terpopuler
Berita Terkini More