Rokok dan Optimalisasi Bonus Demografi
loading...
A
A
A
Dedek Prayudi, B.A., M.Sc.,
Direktur Eksekutif Centre for Youth and Population Research
SEJAK 2015 Indonesia telah mengalami demographic dividend atau bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2024 mendatang (BPS, 2018). Bonus demografi adalah sebuah transisi demografi, di mana terjadi ledakan penduduk usia kerja (dua penduduk usia kerja banding satu penduduk non-usia kerja/rasio ketergantungan 50 atau lebih kecil). Bonus demografi adalah jendela peluang sekaligus bisa menjadi pintu malapetaka.
Saat ini, sekitar 7 dari 10 dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta merupakan penduduk usia produktif. Hampir separuhnya adalah pemuda berusia 16-30 tahun. Proporsi ini akan terus bertahan dengan jumlah penduduk yang bertambah hingga tahun 2024. Jika Indonesia berhasil menyediakan cukup ruang dan dorongan bagi penduduk usia produktif agar berdaya, maka bonus demografi akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sosial dan ekonomi nasional.
Para ilmuwan mencatat bahwa sepertiga dari keberhasilan ekonomi negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Korea Selatan disebabkan oleh kesuksesan mereka memetik bonus demografi (Bloom, 2003). Minimal, negara yang gagal memanfaatkan peluang bonus demografi akan terperangkap di dalam jebakan pendapatan menengah, seperti yang dialami Pakistan (Salim, et al 2015). Produktivitas penduduk melalui intervensi pembangunan manusia yang komprehensif adalah kunci untuk menyukseskan jendela peluang bonus demografi.
Bonus Demografi dan Dampak Buruk Merokok
Demi memaksimalkan bonus demografi, Pemerintah Indonesia fokus mencanangkan pembangunan manusia untuk mewujudkan generasi emas 2045 yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pembangunan manusia ini meliputi bidang kesehatan, pendidikan, perumahan rakyat, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Terkait aspek kesehatan, memetik bonus demografi hanya dapat dilakukan apabila penduduk usia produktif cukup sehat untuk menjalankan fungsi sosial dan ekonomi serta tidak menjadi beban layanan kesehatan berikut pembiayaannya.
Salah satu persoalan dalam aspek kesehatan yang berpotensi menghambat Indonesia untuk menikmati bonus demografi adalah prevalensi merokok. Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa 88 dari 100 kematian di Indonesia memiliki keterkaitan dengan kebiasaan merokok di tingkat downstream. Penyakit seperti kanker, darah tinggi, kardiovaskuler, paling tinggi dialami oleh pasien yang memiliki riwayat merokok. Ironisnya, pada 2018 lalu, Youth Global Tobacco mengemukakan bahwa Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga jumlah perokok di dunia.
Dalam 10 tahun terakhir, prevalensi merokok untuk kelompok penduduk dewasa muda (usia 20-24 tahun) mengalami peningkatan dua kali lipat, yaitu dari 17,3% pada tahun 2007 menjadi 33,2% pada tahun 2018. Artinya, 1 dari 5 orang penduduk dewasa usia muda dan produktif tersebut merokok.
Apabila permasalahan ini tidak segera diatasi, maka beban negara semakin bertambah berat dalam membiayai layanan kesehatan akibat risiko merokok. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mengucurkan biaya yang besar untuk penyakit tidak menular yang berkaitan dengan rokok seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit paru. Hanya dalam jangka waktu 4 tahun, dari Rp9.9 triliun pada 2014 menjadi Rp18,9 triliun pada 2018. Pengeluaran ini merupakan seperlima dari total pembiayaan medis program JKN. Hal ini makin memperburuk defisit anggaran JKN.
Kondisi ini menjadi ancaman bagi Indonesia untuk menikmati bonus demografi. Kita dihadapkan pada kemungkinan generasi emas yang seharusnya menjadi motor penggerak roda ekonomi sekaligus penyumbang pajak yang besar, justru menjadi generasi yang tidak cukup sehat untuk menjalankan fungsi sosial dan ekonominya. Generasi yang seyogyanya menjadi kontributor utama pembangunan malah berpotensi menjadi beban kesehatan dan biaya pengobatan.
Dilema Benci Tapi Cinta
Namun, pandangan masyarakat mengenai rokok terbelah. Pihak kontra menilai bahwa rokok membawa permasalahan sosial. Salah satunya adalah kesehatan. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri, rokok memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara melalui cukai. Keberadaan cukai rokok juga berpengaruh bagi pendapatan daerah karena adanya pajak rokok dan dana bagi hasil cukai tembakau. Pada 2020, cukai rokok memberikan kontribusi sebanyak 96% dari total penerimaan cukai negara yang berjumlah Rp176 triliun. Pemerintah menggunakan cukai untuk membiayai program pembinaan lingkungan sosial, salah satunya adalah kesehatan.
Demi menurunkan prevalensi merokok dan mengupayakan pengendalian bahaya merokok telah dilakukan oleh pemerintah melalui regulasi tentang iklan rokok, peringatan kesehatan untuk dicantumkan pada kemasan, harga (melalui cukai) dan aturan-aturan lain terkait konsumsi seperti batasan usia minimal untuk perokok, yaitu 18 tahun ke atas. Dapat disimpulkan bahwa upaya ini, selain tidak cukup untuk menurunkan prevalensi perokok, juga tak mampu mengurangi dampak yang ditimbulkan dari peningkatan tersebut, baik dari aspek kesehatan maupun beban fiskal yang ditimbulkan.
Upaya untuk mengatasi dua komponen masalah ini harus lebih komperehensif. Selain upaya pengurangan jumlah perokok yang harus lebih diintensifikan seperti pelibatan masyarakat dalam menciptakan social control dan pengaturan implementasi ID check di setiap transaksi rokok, dampak dari konsumsi tembakau juga harus dikurangi. Indonesia sudah seharusnya mulai mempertimbangkan penerapan konsep tobacco harm reduction atau pengurangan bahaya tembakau, seperti yang telah dilakukan Inggris, Swedia, Jepang dan Amerika Serikat.
Konsep pengurangan bahaya tembakau tersebut ialah strategi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan akses informasi yang faktual maupun akses terhadap produk alternatif kepada para perokok guna mengurangi risiko yang disebabkan oleh merokok. Adapun produk Alternatif yang dimaksud misalnya ialah rokok elektrik (vape), snus, dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco) yang tidak dibakar seperti rokok, sehingga dapat mengurangi zat berbahaya yang dihasilkan secara signifikan. Bagi penduduk dewasa usia kerja yang juga merupakan perokok berusia 18 tahun ke atas, diharapkan dapat berhenti merokok guna mengeliminasi bahaya terhadap kesehatan. Akan tetapi, jika menemui kendala saat berupaya berhenti, penggunaan alternatif dapat menjadi pilihan untuk mengurangi risiko penggunaan produk tembakau.
Lihat Juga: UKP Mardiono Dorong Peningkatan Produktivitas Angkatan Kerja untuk Hadapi Bonus Demografi
Direktur Eksekutif Centre for Youth and Population Research
SEJAK 2015 Indonesia telah mengalami demographic dividend atau bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2024 mendatang (BPS, 2018). Bonus demografi adalah sebuah transisi demografi, di mana terjadi ledakan penduduk usia kerja (dua penduduk usia kerja banding satu penduduk non-usia kerja/rasio ketergantungan 50 atau lebih kecil). Bonus demografi adalah jendela peluang sekaligus bisa menjadi pintu malapetaka.
Saat ini, sekitar 7 dari 10 dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta merupakan penduduk usia produktif. Hampir separuhnya adalah pemuda berusia 16-30 tahun. Proporsi ini akan terus bertahan dengan jumlah penduduk yang bertambah hingga tahun 2024. Jika Indonesia berhasil menyediakan cukup ruang dan dorongan bagi penduduk usia produktif agar berdaya, maka bonus demografi akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sosial dan ekonomi nasional.
Para ilmuwan mencatat bahwa sepertiga dari keberhasilan ekonomi negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Korea Selatan disebabkan oleh kesuksesan mereka memetik bonus demografi (Bloom, 2003). Minimal, negara yang gagal memanfaatkan peluang bonus demografi akan terperangkap di dalam jebakan pendapatan menengah, seperti yang dialami Pakistan (Salim, et al 2015). Produktivitas penduduk melalui intervensi pembangunan manusia yang komprehensif adalah kunci untuk menyukseskan jendela peluang bonus demografi.
Bonus Demografi dan Dampak Buruk Merokok
Demi memaksimalkan bonus demografi, Pemerintah Indonesia fokus mencanangkan pembangunan manusia untuk mewujudkan generasi emas 2045 yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pembangunan manusia ini meliputi bidang kesehatan, pendidikan, perumahan rakyat, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Terkait aspek kesehatan, memetik bonus demografi hanya dapat dilakukan apabila penduduk usia produktif cukup sehat untuk menjalankan fungsi sosial dan ekonomi serta tidak menjadi beban layanan kesehatan berikut pembiayaannya.
Salah satu persoalan dalam aspek kesehatan yang berpotensi menghambat Indonesia untuk menikmati bonus demografi adalah prevalensi merokok. Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa 88 dari 100 kematian di Indonesia memiliki keterkaitan dengan kebiasaan merokok di tingkat downstream. Penyakit seperti kanker, darah tinggi, kardiovaskuler, paling tinggi dialami oleh pasien yang memiliki riwayat merokok. Ironisnya, pada 2018 lalu, Youth Global Tobacco mengemukakan bahwa Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga jumlah perokok di dunia.
Dalam 10 tahun terakhir, prevalensi merokok untuk kelompok penduduk dewasa muda (usia 20-24 tahun) mengalami peningkatan dua kali lipat, yaitu dari 17,3% pada tahun 2007 menjadi 33,2% pada tahun 2018. Artinya, 1 dari 5 orang penduduk dewasa usia muda dan produktif tersebut merokok.
Apabila permasalahan ini tidak segera diatasi, maka beban negara semakin bertambah berat dalam membiayai layanan kesehatan akibat risiko merokok. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mengucurkan biaya yang besar untuk penyakit tidak menular yang berkaitan dengan rokok seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit paru. Hanya dalam jangka waktu 4 tahun, dari Rp9.9 triliun pada 2014 menjadi Rp18,9 triliun pada 2018. Pengeluaran ini merupakan seperlima dari total pembiayaan medis program JKN. Hal ini makin memperburuk defisit anggaran JKN.
Kondisi ini menjadi ancaman bagi Indonesia untuk menikmati bonus demografi. Kita dihadapkan pada kemungkinan generasi emas yang seharusnya menjadi motor penggerak roda ekonomi sekaligus penyumbang pajak yang besar, justru menjadi generasi yang tidak cukup sehat untuk menjalankan fungsi sosial dan ekonominya. Generasi yang seyogyanya menjadi kontributor utama pembangunan malah berpotensi menjadi beban kesehatan dan biaya pengobatan.
Dilema Benci Tapi Cinta
Namun, pandangan masyarakat mengenai rokok terbelah. Pihak kontra menilai bahwa rokok membawa permasalahan sosial. Salah satunya adalah kesehatan. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri, rokok memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara melalui cukai. Keberadaan cukai rokok juga berpengaruh bagi pendapatan daerah karena adanya pajak rokok dan dana bagi hasil cukai tembakau. Pada 2020, cukai rokok memberikan kontribusi sebanyak 96% dari total penerimaan cukai negara yang berjumlah Rp176 triliun. Pemerintah menggunakan cukai untuk membiayai program pembinaan lingkungan sosial, salah satunya adalah kesehatan.
Demi menurunkan prevalensi merokok dan mengupayakan pengendalian bahaya merokok telah dilakukan oleh pemerintah melalui regulasi tentang iklan rokok, peringatan kesehatan untuk dicantumkan pada kemasan, harga (melalui cukai) dan aturan-aturan lain terkait konsumsi seperti batasan usia minimal untuk perokok, yaitu 18 tahun ke atas. Dapat disimpulkan bahwa upaya ini, selain tidak cukup untuk menurunkan prevalensi perokok, juga tak mampu mengurangi dampak yang ditimbulkan dari peningkatan tersebut, baik dari aspek kesehatan maupun beban fiskal yang ditimbulkan.
Upaya untuk mengatasi dua komponen masalah ini harus lebih komperehensif. Selain upaya pengurangan jumlah perokok yang harus lebih diintensifikan seperti pelibatan masyarakat dalam menciptakan social control dan pengaturan implementasi ID check di setiap transaksi rokok, dampak dari konsumsi tembakau juga harus dikurangi. Indonesia sudah seharusnya mulai mempertimbangkan penerapan konsep tobacco harm reduction atau pengurangan bahaya tembakau, seperti yang telah dilakukan Inggris, Swedia, Jepang dan Amerika Serikat.
Konsep pengurangan bahaya tembakau tersebut ialah strategi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan akses informasi yang faktual maupun akses terhadap produk alternatif kepada para perokok guna mengurangi risiko yang disebabkan oleh merokok. Adapun produk Alternatif yang dimaksud misalnya ialah rokok elektrik (vape), snus, dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco) yang tidak dibakar seperti rokok, sehingga dapat mengurangi zat berbahaya yang dihasilkan secara signifikan. Bagi penduduk dewasa usia kerja yang juga merupakan perokok berusia 18 tahun ke atas, diharapkan dapat berhenti merokok guna mengeliminasi bahaya terhadap kesehatan. Akan tetapi, jika menemui kendala saat berupaya berhenti, penggunaan alternatif dapat menjadi pilihan untuk mengurangi risiko penggunaan produk tembakau.
Lihat Juga: UKP Mardiono Dorong Peningkatan Produktivitas Angkatan Kerja untuk Hadapi Bonus Demografi
(muh)