KPK Larang Lembaga Jasa Keuangan Beri Gratifikasi ke Pejabat Negara
Senin, 26 Juli 2021 - 17:29 WIB
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewanti-wanti kepada lembaga jasa keuangan agar tidak memberikan gratifikasi kepada pejabat negara. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) KPK Nomor 19 tahun 2021 tanggal 23 Juli 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi Terkait Industri Jasa Keuangan.
"Dalam SE tersebut, KPK mengingatkan lembaga jasa keuangan dilarang memberikan gratifikasi kepada Pegawai Negeri (PN) atau Penyelenggara Negara (PN) yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya, baik secara langsung atau disamarkan dalam bentuk fee marketing, collection fee, refund, atau penamaan lainnya," ujar Plt Juru Bicara KPK bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati Kuding melalui pesan singkatnya, Senin (26/7/2021).
Menurut Ipi, lembaga jasa keuangan sebagai entitas korporasi wajib melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Ipi juga meminta agar lembaga jasa keuangan dapat bekerja sama mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana korupsi.
"Tidak dilakukannya hal tersebut menjadi penilaian kesalahan korporasi yang dapat berimplikasi pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi," imbuhnya.
Sebelumnya, kata Ipi, para pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan BUMN/BUMD yang diwakilkan oleh Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) telah bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan budaya anti gratifikasi. Salah satunya, larangan bagi bendahara instansi pemerintah menerima collection fee dari lembaga jasa keuangan.
"Kesepakatan itu dilakukan pada Rapat Koordinasi Nasional tahun 2018 dan ditindaklanjuti pada Rapat Koordinasi pada Oktober 2020," ucapnya.
KPK juga mengimbau pemberian berupa insentif untuk mendukung upaya promosi, pengembangan pasar, dan kegiatan operasional jasa keuangan lainnya yang berkaitan dengan instansi pemerintahan atau BUMN dan BUMD, hanya dapat diberikan kepada instansi. Adapun, prosesnya yakni melalui mekanisme yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak diberikan secara langsung kepada individu pejabat negara.
Selain itu, KPK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Nota Kesepahaman nomor 48 tahun 2021 telah melakukan kerja sama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor jasa keuangan. Salah satu kegiatannya yakni, penerapan program pengendalian gratifikasi dengan mendiseminasikan pencegahan korupsi kepada lembaga jasa keuangan yang berada di bawah pengawasannya.
"Jika karena kondisi tertentu, PN (Penyelenggara Negara atau Pejabat Negara) tidak dapat menolak gratifikasi, maka wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima," bebernya.
KPK berharap pejabat negara dapat menjadi panutan bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi. Sehingga, dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan, kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana.
"Dalam SE tersebut, KPK mengingatkan lembaga jasa keuangan dilarang memberikan gratifikasi kepada Pegawai Negeri (PN) atau Penyelenggara Negara (PN) yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya, baik secara langsung atau disamarkan dalam bentuk fee marketing, collection fee, refund, atau penamaan lainnya," ujar Plt Juru Bicara KPK bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati Kuding melalui pesan singkatnya, Senin (26/7/2021).
Menurut Ipi, lembaga jasa keuangan sebagai entitas korporasi wajib melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Ipi juga meminta agar lembaga jasa keuangan dapat bekerja sama mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana korupsi.
"Tidak dilakukannya hal tersebut menjadi penilaian kesalahan korporasi yang dapat berimplikasi pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi," imbuhnya.
Sebelumnya, kata Ipi, para pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan BUMN/BUMD yang diwakilkan oleh Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) telah bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan budaya anti gratifikasi. Salah satunya, larangan bagi bendahara instansi pemerintah menerima collection fee dari lembaga jasa keuangan.
"Kesepakatan itu dilakukan pada Rapat Koordinasi Nasional tahun 2018 dan ditindaklanjuti pada Rapat Koordinasi pada Oktober 2020," ucapnya.
KPK juga mengimbau pemberian berupa insentif untuk mendukung upaya promosi, pengembangan pasar, dan kegiatan operasional jasa keuangan lainnya yang berkaitan dengan instansi pemerintahan atau BUMN dan BUMD, hanya dapat diberikan kepada instansi. Adapun, prosesnya yakni melalui mekanisme yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak diberikan secara langsung kepada individu pejabat negara.
Selain itu, KPK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Nota Kesepahaman nomor 48 tahun 2021 telah melakukan kerja sama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor jasa keuangan. Salah satu kegiatannya yakni, penerapan program pengendalian gratifikasi dengan mendiseminasikan pencegahan korupsi kepada lembaga jasa keuangan yang berada di bawah pengawasannya.
"Jika karena kondisi tertentu, PN (Penyelenggara Negara atau Pejabat Negara) tidak dapat menolak gratifikasi, maka wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima," bebernya.
Baca Juga
KPK berharap pejabat negara dapat menjadi panutan bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi. Sehingga, dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan, kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana.
(kri)
tulis komentar anda