New Normal dan Ayah yang Membisu
Rabu, 27 Mei 2020 - 21:29 WIB
Sikap berbeda ditunjukkan oleh anak perempuan saya, yang tahun ini memasuki bangku sekolah tingkat lanjutan atas (SLTA). Ia memaklumi kondisi yang terjadi.
Aktivitas saya di rumah menjadi lebih banyak. Selain menyelesaikan “tugas rutin” pekerjaan di rumah (work from home), saya juga ikut mengurus anak lelaki. Dari mulai memandikan, menyuapinya makan, menemaninya bermain sampai mendengarkan cerita tentang film kartun yang ditontonnya.
Pengakuan Diri
Apakah ada peran ayah yang salah di sini? Dalam konteks ayah ideal di Indonesia, bisa saja hal tersebut disalahkan.
Meminjam pernyataan aktivis gender Saparinah Sadli dalam Rahayu (2015), kontruksi sosial dalam sejarah laki-laki dipersepsikan sebagai individu yang tidak perlu berkontribusi pada urusan domestik. Termasuk di dalamnya mengasuh anak. Hal tersebut berkaitan dengan peran ayah secara tradisional sebagai pemimpin dan pelindung dalam rumah tangga.
Padahal dalam beberapa penelitian, ayah justru sangat berperan dalam perkembangan anak. Terutama bagi anak laki-laki. Anak laki-laki yang hidup tanpa figur ayah dan jarang berkomunikasi dengannya, cenderung tumbuh menjadi anak yang sulit. Dia seperti kehilangan pegangan, menjadi pemberontak, melawan hukum, dan perilaku negatif lainnya.
Setidaknya hal itu yang ditulis oleh Guy Corneau dalam bukunya Absent Fathers, Lost Sons. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan menjadi Ayah yang Tidak Dirasakan Kehadirannya, Putera yang Kehilangan Arah (Penerbit Karisma, 2008). Buku ini merupakan kisah nyata dari sang penulis.
Corneau memaparkan, saat kecil hubungan dengan ayahnya sangat baik. Namun saat remaja, komunikasi dengan sang ayah seolah hilang. Sosok ayah tidak lagi hadir dalam hidupnya, padahal saat itu Corneau membutuhkannya.
Saat ia sengaja ingin berbicara dengan ayahnya, Corneau bingung bagaimana memulainya. Seolah ada tembok besar yang menghalanginya. Saat kuliah dan dalam peneilitiannya, Corneau mendapati kenyataan bahwa banyak anak remaja mengalami apa yang dirasakannya dulu. Itu sudah turun menurun dilakukan, dari generasi ke generasi berikutnya.
Julianto Simanjuntak dalam buku Kebisuan Para Ayah menulis, budaya kita mendukung “kebisuan” lelaki. Laki-laki yang berwibawa adalah mereka yang penampilannya tenang, bicara seperlunya, dan tidak menunjukkan perasaannya.
Aktivitas saya di rumah menjadi lebih banyak. Selain menyelesaikan “tugas rutin” pekerjaan di rumah (work from home), saya juga ikut mengurus anak lelaki. Dari mulai memandikan, menyuapinya makan, menemaninya bermain sampai mendengarkan cerita tentang film kartun yang ditontonnya.
Pengakuan Diri
Apakah ada peran ayah yang salah di sini? Dalam konteks ayah ideal di Indonesia, bisa saja hal tersebut disalahkan.
Meminjam pernyataan aktivis gender Saparinah Sadli dalam Rahayu (2015), kontruksi sosial dalam sejarah laki-laki dipersepsikan sebagai individu yang tidak perlu berkontribusi pada urusan domestik. Termasuk di dalamnya mengasuh anak. Hal tersebut berkaitan dengan peran ayah secara tradisional sebagai pemimpin dan pelindung dalam rumah tangga.
Padahal dalam beberapa penelitian, ayah justru sangat berperan dalam perkembangan anak. Terutama bagi anak laki-laki. Anak laki-laki yang hidup tanpa figur ayah dan jarang berkomunikasi dengannya, cenderung tumbuh menjadi anak yang sulit. Dia seperti kehilangan pegangan, menjadi pemberontak, melawan hukum, dan perilaku negatif lainnya.
Setidaknya hal itu yang ditulis oleh Guy Corneau dalam bukunya Absent Fathers, Lost Sons. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan menjadi Ayah yang Tidak Dirasakan Kehadirannya, Putera yang Kehilangan Arah (Penerbit Karisma, 2008). Buku ini merupakan kisah nyata dari sang penulis.
Corneau memaparkan, saat kecil hubungan dengan ayahnya sangat baik. Namun saat remaja, komunikasi dengan sang ayah seolah hilang. Sosok ayah tidak lagi hadir dalam hidupnya, padahal saat itu Corneau membutuhkannya.
Saat ia sengaja ingin berbicara dengan ayahnya, Corneau bingung bagaimana memulainya. Seolah ada tembok besar yang menghalanginya. Saat kuliah dan dalam peneilitiannya, Corneau mendapati kenyataan bahwa banyak anak remaja mengalami apa yang dirasakannya dulu. Itu sudah turun menurun dilakukan, dari generasi ke generasi berikutnya.
Julianto Simanjuntak dalam buku Kebisuan Para Ayah menulis, budaya kita mendukung “kebisuan” lelaki. Laki-laki yang berwibawa adalah mereka yang penampilannya tenang, bicara seperlunya, dan tidak menunjukkan perasaannya.
tulis komentar anda