Teruslah Membangun, Papua
Senin, 19 Juli 2021 - 05:42 WIB
Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Salah satu tujuan dari pembangunan tak lain adalah kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dalam prosesnya, bukanlah hal yang mudah bagi Indonesia untuk membangun secara bersamaan bagi seluruh wilayah mengingat perbedaan sumber daya, budaya, dan luas wilayah yang sangat luas. Tantangan ini tidak akan pernah berkurang sejalan kebutuhan yang mendesak dan tuntutan untuk sejajar dengan bangsa – bangsa lain yang sudah maju.
Kebijakan otonomi daerah yang dijalankan sejak 2001 sebenarnya adalah salah satu upaya pemerintah untuk membangun bangsa berbasis perbedaan yang ada, di mana daerah menjadi sumber kekuatan pembangunan nasional. Otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada masyarakat di daerah, dengan hak otonom mengatur dan mengembangkan masyarakatnya menuju kesejahteraan, sesuai dengan corak dan karakter masyarakat daerah tersebut. Melalui otonomi daerah tersebut diharapkan seluruh daerah di Indonesia dapat berkembang dan maju secara bersama.
Papua, sebagai wilayah yang memiliki otonomi khusus (otsus) yang termaktub si dalam UU Nomor 21/2001 dan akan berakhir di tahun ini kini telah berhasil disahkan kembali dengan beberapa revisi di dalamnya. Tujuan dari undang-undang baru ini, tentu untuk perbaikan Papua sebagai provinsi paling ujung untuk terus berkembang dengan segala kekayaan sumber daya alam serta karakter masyarakatnya.Pada intinya perbaikan ini untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (OAP) dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
Akselerasi Peningkatan Kualitas Belanja dan Birokrasi
Birokrasi memiliki peran penting di dalam mengantarkan kebijakan pemerintah dalam tindakan operasional nyata pada semua lapisan masyarakat. Birokrasi memiliki sumber daya finansial untuk menentukan arah dan fokus pembangunan termasuk mengikutsertakan masyarakat di dalam berbagai implementasi kebijakan yang dibuat. Sejalan dengan keyakinan ini maka birokrasi merupakan “pemain” penting di dalam proses pembangunan, untuk itu birokrasi yang efektif, tata kelola yang baik dan konstruktif menjadi kunci keberhasilan pembangunan di Papua.Peningkatan kualitas birokrasi seharusnya dapat menjadi motor utama bagi Papua untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan, di antaranya adalah kemiskinan dan kesenjangan. Untuk itu evaluasi atas program kerja, kinerja pemerintahan, merupakan suatu keniscayaan bagi birokrasi yang lebih baik. Perang melawan kemiskinan di Papua membutuhkan birokrasi yang kuat, tegas, dan bersih.
Saat ini Papua masih menjadi wilayah Indonesia yang memiliki angka kemiskinan tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Papua mengalami peningkatan 0,09% poin, yaitu dari 26,55% pada September 2019 menjadi 26,64% pada Maret 2020. Artinya, angka ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, lebih dari seperempat jumlah penduduk.Kualitas belanja juga merupakan kunci penting dalam akselerasi pembangunan daerah. Kualitas belanja yang tidak baik, secara empiris sejalan dengan kualitas sumber daya manusia di birokrasi, kualitas belanja dapat diukur melalui beberapa variabel, yaitu prioritas belanja, ketepatan waktu, alokasi belanja, akuntabilitas dan transparansi, dan efektivitas. Data menunjukkan bahwa jika dilihat dari proporsinya, belanja tidak langsung (BTL) seperti gaji masih mendominasi alokasi belanja daerah baik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Proporsi BTL Papua dari 2016-2019 berturut-turut 56%, 54%, 63%, dan 49%. Adapun di Papua Barat dengan rentang waktu yang sama, kondisinya tidak jauh berbeda, yaitu 51%, 57%, 56% dan 57%. Besarnya BTL ini mengindikasikan bahwa efektivitas belanja daerah Papua maupun Papua Barat masih rendah untuk pembangunan.
Selanjutnya, jika dilihat dari rasio belanja modal, Provinsi Papua dan Papua Barat belum menunjukkan efektivitas belanja untuk pembangunan. Belanja modal diyakini akan memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Saat ini Provinsi Papua Barat lebih besar mengalokasikan belanja modal dengan rata-rata 23% selama 2016-2019, sementara Provinsi Papua rata-rata berkisar 22%. Kecilnya angka belanja modal ini menunjukkan kualitas belanja yang ada masih perlu terus diperbaiki dan ditingkatkan.
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Salah satu tujuan dari pembangunan tak lain adalah kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dalam prosesnya, bukanlah hal yang mudah bagi Indonesia untuk membangun secara bersamaan bagi seluruh wilayah mengingat perbedaan sumber daya, budaya, dan luas wilayah yang sangat luas. Tantangan ini tidak akan pernah berkurang sejalan kebutuhan yang mendesak dan tuntutan untuk sejajar dengan bangsa – bangsa lain yang sudah maju.
Kebijakan otonomi daerah yang dijalankan sejak 2001 sebenarnya adalah salah satu upaya pemerintah untuk membangun bangsa berbasis perbedaan yang ada, di mana daerah menjadi sumber kekuatan pembangunan nasional. Otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada masyarakat di daerah, dengan hak otonom mengatur dan mengembangkan masyarakatnya menuju kesejahteraan, sesuai dengan corak dan karakter masyarakat daerah tersebut. Melalui otonomi daerah tersebut diharapkan seluruh daerah di Indonesia dapat berkembang dan maju secara bersama.
Papua, sebagai wilayah yang memiliki otonomi khusus (otsus) yang termaktub si dalam UU Nomor 21/2001 dan akan berakhir di tahun ini kini telah berhasil disahkan kembali dengan beberapa revisi di dalamnya. Tujuan dari undang-undang baru ini, tentu untuk perbaikan Papua sebagai provinsi paling ujung untuk terus berkembang dengan segala kekayaan sumber daya alam serta karakter masyarakatnya.Pada intinya perbaikan ini untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (OAP) dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
Akselerasi Peningkatan Kualitas Belanja dan Birokrasi
Birokrasi memiliki peran penting di dalam mengantarkan kebijakan pemerintah dalam tindakan operasional nyata pada semua lapisan masyarakat. Birokrasi memiliki sumber daya finansial untuk menentukan arah dan fokus pembangunan termasuk mengikutsertakan masyarakat di dalam berbagai implementasi kebijakan yang dibuat. Sejalan dengan keyakinan ini maka birokrasi merupakan “pemain” penting di dalam proses pembangunan, untuk itu birokrasi yang efektif, tata kelola yang baik dan konstruktif menjadi kunci keberhasilan pembangunan di Papua.Peningkatan kualitas birokrasi seharusnya dapat menjadi motor utama bagi Papua untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan, di antaranya adalah kemiskinan dan kesenjangan. Untuk itu evaluasi atas program kerja, kinerja pemerintahan, merupakan suatu keniscayaan bagi birokrasi yang lebih baik. Perang melawan kemiskinan di Papua membutuhkan birokrasi yang kuat, tegas, dan bersih.
Saat ini Papua masih menjadi wilayah Indonesia yang memiliki angka kemiskinan tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Papua mengalami peningkatan 0,09% poin, yaitu dari 26,55% pada September 2019 menjadi 26,64% pada Maret 2020. Artinya, angka ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, lebih dari seperempat jumlah penduduk.Kualitas belanja juga merupakan kunci penting dalam akselerasi pembangunan daerah. Kualitas belanja yang tidak baik, secara empiris sejalan dengan kualitas sumber daya manusia di birokrasi, kualitas belanja dapat diukur melalui beberapa variabel, yaitu prioritas belanja, ketepatan waktu, alokasi belanja, akuntabilitas dan transparansi, dan efektivitas. Data menunjukkan bahwa jika dilihat dari proporsinya, belanja tidak langsung (BTL) seperti gaji masih mendominasi alokasi belanja daerah baik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Proporsi BTL Papua dari 2016-2019 berturut-turut 56%, 54%, 63%, dan 49%. Adapun di Papua Barat dengan rentang waktu yang sama, kondisinya tidak jauh berbeda, yaitu 51%, 57%, 56% dan 57%. Besarnya BTL ini mengindikasikan bahwa efektivitas belanja daerah Papua maupun Papua Barat masih rendah untuk pembangunan.
Selanjutnya, jika dilihat dari rasio belanja modal, Provinsi Papua dan Papua Barat belum menunjukkan efektivitas belanja untuk pembangunan. Belanja modal diyakini akan memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Saat ini Provinsi Papua Barat lebih besar mengalokasikan belanja modal dengan rata-rata 23% selama 2016-2019, sementara Provinsi Papua rata-rata berkisar 22%. Kecilnya angka belanja modal ini menunjukkan kualitas belanja yang ada masih perlu terus diperbaiki dan ditingkatkan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda