Komunitas Muslim Indonesia di Luar Negeri: Sebuah Introspeksi
Rabu, 07 Juli 2021 - 06:58 WIB
Pertama, diakui atau tidak, disadari atau tidak, Komunitas Muslim Indonesia seringkali mengalami penyakit "minder" yang cukup kronis. Hal ini cukup berdampak pada wawasan dan karakter hidup di tengah masyarakat Amerika dan dunia yang heterogen.
Penyakit minder (inferiority complex) itu adalah sebuah fenomena kejiwaan yang merasa tidak mampu, lemah bahkan kalah. Penyakit ini dengan sendirinya mengantar kepada sikap apatis, pasif, bahkan kecenderungan putus asa.
Kedua, Komunitas Muslim Indonesia seringkali mengalami penyakit “don’t care” (tidak peduli). Mereka tahu bahwa mereka punya tanggung jawab besar dalam banyak hal. Tapi mereka seolah melarikan diri dari tanggung jawabnya.
Salah satu penyebab utama dari sikap “no care” ini adalah karena visi hidup yang terkadang terbatas pada kehidupan yang bertujuan personal. Bagi sebagian mereka ada di Amerika yang penting ada kerjaan dan aman secara finansial. Urusan Komunitas itu bukan urusan saya.
Ketiga, Komunitas Muslim Indonesia di luar negeri, khususnya di Amerika, kurang peduli lingkungan sekitarnya. Ketidakpedulian ini biasanya terjadi karena memang kekurangtahuan tentang lingkungan di mana mereka tinggal. Akibatnya sering Komunitas Muslim Indonesia ketinggalan kendaraan untuk menangkap peluang-peluang yang tersedia. Apakah itu peluang ekonom, pendidikan maupun peluang-peluang politik yang tersedia di negara ini.
Keempat, Komunitas Muslim Indonesia memiliki kecenderungan untuk membatasi diri dalam pergaulan. Saya melihat hal ini terjadi karena merupakan dampak langsung dari rasa minder yang disebutkan terdahulu.
Akibatnya, networking Komunitas Muslim Indonesia sangat terbatas. Hampir tidak ada di antara mereka yang terlibat dalam organisasi-organisasi lintas etnis/bangsa misalnya. Selain itu kemampuan berkomunikasi dan bahasa non Indonesia menjadi sangat terbatas.
Kelima, Komunitas Muslim Indonesia memiliki kecenderungan yang mengedepankan “negative minds” ketimbang berpikiran positif. Hal ini mengantar kepada sebuah prilaku yang cepat “menghakimi” (judgmental). Bahkan melemparkan tuduhan tentang isu yang tidak berdasar atau minimal terverifikasi.
Akibatnya ghibah, gossip bahkan fitnah menjadi sesuatu yang seolah biasa saja. Di zaman media sosial ini misalnya, gossip dan fitnah itu kerap berkeliaran secara liar. Bahkan dari orang yang terkadang harusnya menjadi tauladan bagi khalayak.
Keenam, bahwa Komunitas Indonesia, termasuk di dalamnya Komunitas Muslim, dalam bersikap secara komunal (jama’i) sangat diwarnai oleh warna komunal Kebangsaan kita di dalam negeri.
Penyakit minder (inferiority complex) itu adalah sebuah fenomena kejiwaan yang merasa tidak mampu, lemah bahkan kalah. Penyakit ini dengan sendirinya mengantar kepada sikap apatis, pasif, bahkan kecenderungan putus asa.
Kedua, Komunitas Muslim Indonesia seringkali mengalami penyakit “don’t care” (tidak peduli). Mereka tahu bahwa mereka punya tanggung jawab besar dalam banyak hal. Tapi mereka seolah melarikan diri dari tanggung jawabnya.
Salah satu penyebab utama dari sikap “no care” ini adalah karena visi hidup yang terkadang terbatas pada kehidupan yang bertujuan personal. Bagi sebagian mereka ada di Amerika yang penting ada kerjaan dan aman secara finansial. Urusan Komunitas itu bukan urusan saya.
Ketiga, Komunitas Muslim Indonesia di luar negeri, khususnya di Amerika, kurang peduli lingkungan sekitarnya. Ketidakpedulian ini biasanya terjadi karena memang kekurangtahuan tentang lingkungan di mana mereka tinggal. Akibatnya sering Komunitas Muslim Indonesia ketinggalan kendaraan untuk menangkap peluang-peluang yang tersedia. Apakah itu peluang ekonom, pendidikan maupun peluang-peluang politik yang tersedia di negara ini.
Keempat, Komunitas Muslim Indonesia memiliki kecenderungan untuk membatasi diri dalam pergaulan. Saya melihat hal ini terjadi karena merupakan dampak langsung dari rasa minder yang disebutkan terdahulu.
Akibatnya, networking Komunitas Muslim Indonesia sangat terbatas. Hampir tidak ada di antara mereka yang terlibat dalam organisasi-organisasi lintas etnis/bangsa misalnya. Selain itu kemampuan berkomunikasi dan bahasa non Indonesia menjadi sangat terbatas.
Kelima, Komunitas Muslim Indonesia memiliki kecenderungan yang mengedepankan “negative minds” ketimbang berpikiran positif. Hal ini mengantar kepada sebuah prilaku yang cepat “menghakimi” (judgmental). Bahkan melemparkan tuduhan tentang isu yang tidak berdasar atau minimal terverifikasi.
Akibatnya ghibah, gossip bahkan fitnah menjadi sesuatu yang seolah biasa saja. Di zaman media sosial ini misalnya, gossip dan fitnah itu kerap berkeliaran secara liar. Bahkan dari orang yang terkadang harusnya menjadi tauladan bagi khalayak.
Keenam, bahwa Komunitas Indonesia, termasuk di dalamnya Komunitas Muslim, dalam bersikap secara komunal (jama’i) sangat diwarnai oleh warna komunal Kebangsaan kita di dalam negeri.
tulis komentar anda