Aplikasi Pelacak Covid-19, Efektifkah?
Sabtu, 26 Juni 2021 - 07:00 WIB
Dia lantas menuturkan, saat ini masyarakat, terutama yang positif Covid-19, kerap dalam kondisi cemas dan panik. Kondisi demikian diperparah setelah mereka sulit mendapatkan informasi RS mana yang masih kosong. Mereka yang sudah tak tahan akhirnya keluar mencari RS dengan segala risikonya seperti tidak dapat faskes dan menularkan ke orang lain.
“Paling tidak (dengan telemedicine dan informasi digital), kecemasan dan kepanikan orang bisa berkurang seandainya ada yang menilai kondisinya saat ini seberapa parah. Apakah harus ke RS atau kondisi sekarang ini bisa di rumah dengan obat biasa,” ujar dia.
Lia G Partakusuma, Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), memastikan integrasi sistem antara faskes 1 dan tingkat di atasnya, juga rumah sakit besar, selama ini sudah berjalan. Hal ini karena sudah ada sistem rujukan terpadu. Biasanya jika ada pasien yang ingin dikirim ke rumah sakit rujukan dimasukkan datanya ke sistem itu.
“Puskesmas atau RS merujuk ke RS yang lebih besar, nanti terlihat apa saja yang dibutuhkan, juga riwayat pasien. Dengan sistem itu bisa dipantau apa saja fasilitas yang dibutuhkan hingga tindakan medis,” jelasnya.
Dia menjelaskan, sistem ini dimulai dari sistem gawat darurat. Kalau ada kondisi gawat dapat menelepon ke IGD terdekat, nanti ditanya mengenai data pasien. Di IGD rumah sakit itu ada orang yang khusus menerima telepon dari puskesmas, faskes, bahkan masyarakat. "Rumah sakit rujukan lebih berharap dari puskesmas atau faskes karena data medis semua jelas. Bahkan ada konsultasi dulu dari dokter sebelum pasien datang ke rumah sakit," ungkapnya.
Urgensi data disimpan melalui sistem TI karena akan ada laporan medis yang tercatat untuk penanganan selanjutnya. Setelah data TI dilanjut dengan secara langsung melakukan pertolongan, biasanya itu melalui telepon.
Lia kemudian memberi catatan bahwa setiap pasien yang masuk rumah sakit harus melalui IGD dulu, tidak dapat langsung dan tidak bisa cari kamar atau yang banyak dicari ruang ICU begitu saja tanpa ada konsultasi medis dahulu. Nanti rumah sakit yang menerima, yang akan menyiapkan dan memberikan konsultasi.
Jika sistem integrasi ini tidak berjalan, itu bisa karena tidak semua rumah sakit memiliki petugas medis yang 24 jam duduk di depan telepon atau komputer. "Dia yang jaga itu juga tenaga medis yang harus mengerti kondisi, bahkan terkadang ada yang sampai menyarankan terapi. Kalau yang menerima pesan itu dokter umum harus konsultasi ke dokter spesialis. Setelah dijawab, dokter umum kembali menjelaskan kepada faskes yang akan merujuk," papar Lia.
Masalah kedua, saat rumah sakit penuh seperti ketika terjadi lonjakan kasus pandemi seperti sekarang, faskes atau rumah sakit saat mendapat rujukan harus menahan sampai pasiennya mendapat tempat. Tidak akan dibiarkan mencari sendiri. Di luar pandemi, biasanya kasus jantung kedaruratan harus segera dibedah untuk pertolongan, tetapi tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas itu. Faskes wajib untuk menahan pasien sampai dapat fasilitas yang dicari.
“Paling tidak (dengan telemedicine dan informasi digital), kecemasan dan kepanikan orang bisa berkurang seandainya ada yang menilai kondisinya saat ini seberapa parah. Apakah harus ke RS atau kondisi sekarang ini bisa di rumah dengan obat biasa,” ujar dia.
Lia G Partakusuma, Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), memastikan integrasi sistem antara faskes 1 dan tingkat di atasnya, juga rumah sakit besar, selama ini sudah berjalan. Hal ini karena sudah ada sistem rujukan terpadu. Biasanya jika ada pasien yang ingin dikirim ke rumah sakit rujukan dimasukkan datanya ke sistem itu.
“Puskesmas atau RS merujuk ke RS yang lebih besar, nanti terlihat apa saja yang dibutuhkan, juga riwayat pasien. Dengan sistem itu bisa dipantau apa saja fasilitas yang dibutuhkan hingga tindakan medis,” jelasnya.
Dia menjelaskan, sistem ini dimulai dari sistem gawat darurat. Kalau ada kondisi gawat dapat menelepon ke IGD terdekat, nanti ditanya mengenai data pasien. Di IGD rumah sakit itu ada orang yang khusus menerima telepon dari puskesmas, faskes, bahkan masyarakat. "Rumah sakit rujukan lebih berharap dari puskesmas atau faskes karena data medis semua jelas. Bahkan ada konsultasi dulu dari dokter sebelum pasien datang ke rumah sakit," ungkapnya.
Urgensi data disimpan melalui sistem TI karena akan ada laporan medis yang tercatat untuk penanganan selanjutnya. Setelah data TI dilanjut dengan secara langsung melakukan pertolongan, biasanya itu melalui telepon.
Lia kemudian memberi catatan bahwa setiap pasien yang masuk rumah sakit harus melalui IGD dulu, tidak dapat langsung dan tidak bisa cari kamar atau yang banyak dicari ruang ICU begitu saja tanpa ada konsultasi medis dahulu. Nanti rumah sakit yang menerima, yang akan menyiapkan dan memberikan konsultasi.
Jika sistem integrasi ini tidak berjalan, itu bisa karena tidak semua rumah sakit memiliki petugas medis yang 24 jam duduk di depan telepon atau komputer. "Dia yang jaga itu juga tenaga medis yang harus mengerti kondisi, bahkan terkadang ada yang sampai menyarankan terapi. Kalau yang menerima pesan itu dokter umum harus konsultasi ke dokter spesialis. Setelah dijawab, dokter umum kembali menjelaskan kepada faskes yang akan merujuk," papar Lia.
Masalah kedua, saat rumah sakit penuh seperti ketika terjadi lonjakan kasus pandemi seperti sekarang, faskes atau rumah sakit saat mendapat rujukan harus menahan sampai pasiennya mendapat tempat. Tidak akan dibiarkan mencari sendiri. Di luar pandemi, biasanya kasus jantung kedaruratan harus segera dibedah untuk pertolongan, tetapi tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas itu. Faskes wajib untuk menahan pasien sampai dapat fasilitas yang dicari.
tulis komentar anda