PSBB Kurangi 40% Pergerakan Warga, Seberapa Efektif Dibanding Negara Lain?
Selasa, 26 Mei 2020 - 16:22 WIB
AS, misalnya hanya mencatat penurunan mobilitas sebanyak 36%. Kurva penambahan kasus harian di Negara Paman Sam itu pun cenderung naik turun, belum menunjukkan tren penurunan yang signifikan.
Hal yang serupa juga ditunjukkan pada kurva kasus harian di Inggris, Swedia, dan Kanada. Penurunan mobilitas masyarakat yang hanya di level 20% hingga 50% tidak mampu menurunkan penambahan jumlah kasus yang berarti.
Fakta yang tak kalah menarik ditunjukkan oleh beberapa negara lain di kawasan Asia Selatan, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Di Bangladesh misalnya. Mobilitas di negara Asia Selatan itu menurun hingga 55%, atau lebih baik dari Indonesia yang hanya 40%. Namun, kurva penambahan kasus hariannya justru menunjukkan tren kenaikan tajam.
Oleh karena itu, Bangladesh masih memberlakukan lockdown hingga 30 Mei mendatang. Aktivitas transportasi benar-benar dibatasi, hanya untuk keperluan darurat. Sementara itu, pemerintah juga mewajibkan masyarakat merayakan Idul Fitri di daerahnya masing-masing.
Tren serupa juga terlihat negara di kawasan Amerika Selatan seperti Brasil dan Chile serta Amerika Utara, yakni Meksiko. Penurunan mobilitas yang rata-rata lebih besar dari Indonesia, tidak serta merta menekan penambahan jumlah kasus terkonfirmasi positif harian.
Situasi yang serupa juga terlihat di Brasil. Belum ada tren penurunan jumlah kasus positif harian. Namun, berbeda dengan Bangladesh, Presiden Brasil justru mewacanakan penghentian lockdown lantaran dinilai menghancurkan perekonomian.
Kebijakannya berlawanan dengan sejumlah gubernur daerah di Brasil yang meminta warga untuk tetap di rumah demi menekan penyebaran Covid-19.
Berdasarkan data-data tersebut, Indonesia mestinya bisa belajar dari Spanyol, Italia, dan Prancis. Jika ingin menekan penyebaran Covid-19, yang kemudian menurunkan jumlah kasus positif harian, tampaknya Indonesia harus belajar dari ketiga negara tersebut yang mampu menekan pergerakan masyarakat hingga di atas 70%. Ketiga negara tersebut sudah mulai melonggarkan lockdown sejak awal Mei lalu.
Pelonggaran, seperti di Italia, dilakukan secara bertahap. Mulai 4 Mei lalu, pemerintah memperbolehkan masyarakat berkunjung ke rumah kerabat mereka di satu daerah, mengizinkan kafe dan restoran untuk memberikan layanan take away.
Namun, semua harus dilakukan dengan protokol kesehatan ketat, seperti memakai masker dan menerapkan social distancing.
Hal yang serupa juga ditunjukkan pada kurva kasus harian di Inggris, Swedia, dan Kanada. Penurunan mobilitas masyarakat yang hanya di level 20% hingga 50% tidak mampu menurunkan penambahan jumlah kasus yang berarti.
Fakta yang tak kalah menarik ditunjukkan oleh beberapa negara lain di kawasan Asia Selatan, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Di Bangladesh misalnya. Mobilitas di negara Asia Selatan itu menurun hingga 55%, atau lebih baik dari Indonesia yang hanya 40%. Namun, kurva penambahan kasus hariannya justru menunjukkan tren kenaikan tajam.
Oleh karena itu, Bangladesh masih memberlakukan lockdown hingga 30 Mei mendatang. Aktivitas transportasi benar-benar dibatasi, hanya untuk keperluan darurat. Sementara itu, pemerintah juga mewajibkan masyarakat merayakan Idul Fitri di daerahnya masing-masing.
Tren serupa juga terlihat negara di kawasan Amerika Selatan seperti Brasil dan Chile serta Amerika Utara, yakni Meksiko. Penurunan mobilitas yang rata-rata lebih besar dari Indonesia, tidak serta merta menekan penambahan jumlah kasus terkonfirmasi positif harian.
Situasi yang serupa juga terlihat di Brasil. Belum ada tren penurunan jumlah kasus positif harian. Namun, berbeda dengan Bangladesh, Presiden Brasil justru mewacanakan penghentian lockdown lantaran dinilai menghancurkan perekonomian.
Kebijakannya berlawanan dengan sejumlah gubernur daerah di Brasil yang meminta warga untuk tetap di rumah demi menekan penyebaran Covid-19.
Berdasarkan data-data tersebut, Indonesia mestinya bisa belajar dari Spanyol, Italia, dan Prancis. Jika ingin menekan penyebaran Covid-19, yang kemudian menurunkan jumlah kasus positif harian, tampaknya Indonesia harus belajar dari ketiga negara tersebut yang mampu menekan pergerakan masyarakat hingga di atas 70%. Ketiga negara tersebut sudah mulai melonggarkan lockdown sejak awal Mei lalu.
Pelonggaran, seperti di Italia, dilakukan secara bertahap. Mulai 4 Mei lalu, pemerintah memperbolehkan masyarakat berkunjung ke rumah kerabat mereka di satu daerah, mengizinkan kafe dan restoran untuk memberikan layanan take away.
Namun, semua harus dilakukan dengan protokol kesehatan ketat, seperti memakai masker dan menerapkan social distancing.
tulis komentar anda