Indonesia Perjuangkan Keadilan Akses Vaksin
Jum'at, 25 Juni 2021 - 06:36 WIB
"Indonesia juga tengah menjajaki kerja sama dengan WHO dalam rangka scale up manufacturing vaksin di Indonesia. WHO telah membentuk Supply Chain & Manufacturing Task Force yang salah satu tujuannya membantu negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas manufaktur vaksin. Dalam kerangka tersebut Indonesia memiliki kesempatan untuk menerima transfer teknologi vaksin berplatform mRNA dan mendorong peningkatan kapasitas produksi vaksin untuk menjadi vaccine hub di Kawasan Asia Tenggara," ucap Teuku.
Pakar Hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Evi Fitriani mengatakan, diplomasi vaksin yang dilakukan negara besar seperti AS , China, Rusia hingga UE dalam membagikan vaksin secara gratis ke berbagai negara miskin dan berkembang sebagai praktek biasa dalam hubungan internasional. Secara normatif mereka memang diharapkan melakukan hal tersebut.
“Walau kita tahu mereka juga punya pertimbangan strategis mengapa memberi vaksin, negara mana, berapa banyak dan kapan diberikan,” katanya kepada KORAN SINDO.
Dalam kondisi saat ini bisa saja Pemerintah Indonesia mengambil peluang dengan diplomasi vaksin yang dilakukan negara-negara besar tersebut. Sehingga bisa membantu percepatan vaksinasi di Tanah Air.
“Tampaknya iya (bisa mengambil peluang),” tukas Evi. Dia melihat upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mendekati negara besar itu melalui diplomasi vaksin secara bilateral atau pun pendekatan multilateral seperti skema COVAX sudah cukup baik.
Dan menurutnya, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya juga melakukan diplomasi vaksin agar kedepannya Indonesia bisa memproduksi vaksin sendiri dengan adanya transfer teknologi.
“Tapi ingat, produksi vaksin berhubungan dengan kemajuan iptek terutama bidang farmasi. Jadi diplomasi tersebut harus seiring dengan dukungan pada pengembangan universitas-universitas dan pusat-pusat bidang riset farmasi, terutama peningkatan SDM dan infrastruktur lain,” tegasnya.
Lebih lanjut Evi menuturkan, transfer of technology gampang disebut. Akan tetapi sulit dilaksanakan karena hal tersebut berhubungan dengan competitive advantage masing-masing negara. Tidak ada negara yang rela transfer ilmunya, dan kalaupun ada yang diberikan itu levelnya yang biasa-biasa saja. “Belum tentu juga yang di Indonesia siap,” ungkapnya.
Dia lebih menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan investasi SDM generasi muda. Caranya dengan memberikan pendidikan pada anak bangsa untuk belajar dan menguasai teknologi. Kemudian bawa mereka untuk kembali ke Tanah Air untuk menerapkan ilmunya demi kemajuan bangsa seperti yang dilakukan China dan Malaysia.
“Seharusnya jangan mengharap dari negara lain. Kirim putra-putri RI untuk sekolah dan menguasai technologi. Lalu fasilitasi mereka ketika pulang, sehingga bisa menerapkan ilmunya (proyek BPPT dulu seperti ini tapi gagal karena terlalu elitis dan perencanaannya exclusif). China dan malaysia sukses melakukan ini,” pungkasnya.
Pakar Hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Evi Fitriani mengatakan, diplomasi vaksin yang dilakukan negara besar seperti AS , China, Rusia hingga UE dalam membagikan vaksin secara gratis ke berbagai negara miskin dan berkembang sebagai praktek biasa dalam hubungan internasional. Secara normatif mereka memang diharapkan melakukan hal tersebut.
“Walau kita tahu mereka juga punya pertimbangan strategis mengapa memberi vaksin, negara mana, berapa banyak dan kapan diberikan,” katanya kepada KORAN SINDO.
Dalam kondisi saat ini bisa saja Pemerintah Indonesia mengambil peluang dengan diplomasi vaksin yang dilakukan negara-negara besar tersebut. Sehingga bisa membantu percepatan vaksinasi di Tanah Air.
“Tampaknya iya (bisa mengambil peluang),” tukas Evi. Dia melihat upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mendekati negara besar itu melalui diplomasi vaksin secara bilateral atau pun pendekatan multilateral seperti skema COVAX sudah cukup baik.
Dan menurutnya, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya juga melakukan diplomasi vaksin agar kedepannya Indonesia bisa memproduksi vaksin sendiri dengan adanya transfer teknologi.
“Tapi ingat, produksi vaksin berhubungan dengan kemajuan iptek terutama bidang farmasi. Jadi diplomasi tersebut harus seiring dengan dukungan pada pengembangan universitas-universitas dan pusat-pusat bidang riset farmasi, terutama peningkatan SDM dan infrastruktur lain,” tegasnya.
Lebih lanjut Evi menuturkan, transfer of technology gampang disebut. Akan tetapi sulit dilaksanakan karena hal tersebut berhubungan dengan competitive advantage masing-masing negara. Tidak ada negara yang rela transfer ilmunya, dan kalaupun ada yang diberikan itu levelnya yang biasa-biasa saja. “Belum tentu juga yang di Indonesia siap,” ungkapnya.
Dia lebih menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan investasi SDM generasi muda. Caranya dengan memberikan pendidikan pada anak bangsa untuk belajar dan menguasai teknologi. Kemudian bawa mereka untuk kembali ke Tanah Air untuk menerapkan ilmunya demi kemajuan bangsa seperti yang dilakukan China dan Malaysia.
“Seharusnya jangan mengharap dari negara lain. Kirim putra-putri RI untuk sekolah dan menguasai technologi. Lalu fasilitasi mereka ketika pulang, sehingga bisa menerapkan ilmunya (proyek BPPT dulu seperti ini tapi gagal karena terlalu elitis dan perencanaannya exclusif). China dan malaysia sukses melakukan ini,” pungkasnya.
tulis komentar anda