Indonesia Perjuangkan Keadilan Akses Vaksin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berbeda dengan negara-negara besar yang bersaing dalam diplomasi vaksin , Indonesia mendefinisikan diplomasi vaksin masih sebatas sebagai upaya mendapatkan vaksin untuk kebutuhan dalam negeri.
Pemerintah Indonesia menghadirkan vaksin melalui diplomasi vaksin, baik lewat jalur bilateral dengan berbagai negara dan produsen vaksin di dunia, maupun kerja sama multilateral .
Bagaimana hasilnya? Pada awal Juni lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan Indonesia sudah mengamankan 91.910.500 dosis vaksin terdiri dari 84,5 juta dosis vaksin Sinovac, 6,4 juta AstraZeneca yang diperoleh dari COVAX, dan 1 juta dosis vaksin Sinopharm.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Teuku Faizasyah menjelaskan, pandemi Covid-19 merupakan situasi unprecedented dan memiliki dampak berskala global. WHO telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 dan semenjak penetapan tersebut pandemi Covid-19 telah menyebar di 219 negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Dalam kondisi ini, vaksin merupakan salah satu instrumen vital dalam rangka mitigasi pandemi Covid-19. Kebutuhan global akan vaksin untuk memenuhi herd immunity diperkirakan adalah 70% dari jumlah penduduk dunia atau sekitar 11 miliar dosis.
Saat ini, kata Teuku, sebanyak 11,9 miliar dosis vaksin telah dipesan oleh seluruh negara di dunia. Namun, terdapat ketimpangan akses akan vaksin, dimana hampir 50% dari total vaksin (5,9 miliar dosis) dibeli oleh High Income Countries. Sedangkan, Lower Middle-Income Countries membeli 15% dari jumlah vaksin (1,8 miliar dosis) dan Low Income Countries hanya memiliki 2,2% dari total vaksin (271 juta dosis vaksin).
"Dalam kaitan dengan hal ini, Kemenlu mengapresiasi upaya sejumlah negara produsen vaksin yang lakukan berbagi dosis vaksin kepada negara berkembangan dan berpenghasilan rendah untuk mengurangi kesenjangan dan dalam rangka memastikan kesetaraan atas akses bagi semua negara," ujar Teuku kepada KORAN SINDO.
Juru Bicara Kemenlu ini membeberkan, pemenuhan kebutuhan vaksin dan memastikan ketersediaan akses yang merata atas vaksin yang aman dan efektif merupakan suatu kewajiban moral yang patut kita dukung bersama. Keadilan dan kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19 merupakan isu penting yang harus jadi perhatian seluruh negara dunia. Dunia hanya bisa kembali pulih jika negara-negara bekerja sama dengan baik dalam penanganan pandemi.
"Untuk itu, di setiap forum multilateral, Indonesia selalu menyerukan pentingnya kesetaraan akses atas vaksin. Sebagai Co-Chairs Covax AMC EG, yang bertujuan untuk menjamin akses yang adil dan merata atas vaksin bagi setiap negara, Indonesia selalu konsisten untuk mendorong pemerataan akses terhadap vaksin utamanya bagi pihak yang membutuhkan," bebernya.
Teuku menegaskan , para diplomat Indonesia bekerja siang dan malam untuk memastikan akses terhadap vaksin yang aman untuk memenuhi kebutuhan Indonesia. Melalui kedekatan bilateral antara Indonesia dengan negara produsen vaksin, Indonesia dapat menarik manfaat dari diplomasi vaksin yang dilakukan oleh negara produsen vaksin melalui perolehan dosis vaksin yang diperuntukkan bagi Indonesia.
Hal ini, ujar dia, akan membantu pemenuhan kebutuhan vaksin nasional dimana guna mencapai national herd immunity bagi sekitar 181,5 juta penduduk, Indonesia memerlukan sebesar 363 juta dosis vaksin dengan asumsi dua kali dosis yang diberikan.
"Selain untuk pemenuhan kebutuhan vaksin dalam jangka pendek, upaya diplomasi vaksin juga ditujukan untuk mendukung kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional, utamanyauntuk pengembangan vaksin berbasis teknologi baru (viral vector dan mRNA)," tegasnya.
Teuku memastikan, pemenuhan akses atas vaksin yang bersifat jangka pendek dilakukan pemerintah termasuk Kemenlu melalui kerja sama pengadaan vaksin melalui jalur bilateral dan multilateral.
Dia lantas menuturkan, untuk perkembangan kerja sama vaksin bilateral maka ada empat hal yang perlu disampaikan. Pertama, Sinovac berupa sebanyak 94,5 juta dosis Sinovac telah tiba di Indonesia hingga awal 21 Juni 2021. Kedua, Sinopharm berupa sebanyak 2 juta dosis telah diamankan di Indonesia.
Ketiga, terdapat komitment pengadaan vaksin AstraZeneca dari jalur Bilateral dan juga vaksin Novavax yang diproduksi dari Serum Institute India (SII).
"Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah menjajaki kerja sama vaksin Sputnik V, Pfizer, Moderna, Cansino, dan Anhui Zhifei Longcom," ungkapnya.
Dari sisi perkembangan kerja sama vaksin multilateral juga ada empat hal. Pertama, melalui COVAX Facility, Indonesia mendapatkan akses terhadap vaksin Covid-19 untuk 20% penduduk secara gratis (sekitar 54 juta penduduk atau 108 juta dosis vaksin). Kedua, pada akhir Februari 2021, COVAX Facility telah mulai mengirimkan vaksin secara bertahap untuk 190 anggota COVAX Facility.
Ketiga, Menlu RI Retno Lestari Priansari Marsudi terpilih sebagai Co-Chair COVAZ Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group bersama dengan Menteri Pembangunan Internasional Kanada dan Menteri Kesehatan Ethiopia untuk mendorong akses vaksin yang setara untuk semua.
"Pada 10 Juni 2021, Indonesia kembali menerima 1.504.800 dosis vaksin AstraZeneca dari COVAX Facility. Sehingga total vaksin yang diterima Indonesia melalui Covax Facility mencapai 8.228.400 dosis," katanya.
Teuku melanjutkan, Kemenlu juga mendorong pemenuhan kebutuhan vaksin yang bersifat jangka Menengah-panjang melalui upaya mengamankan ketersediaan suplai vaksin melalui pengembangan industri farmasi dan biofarmasi nasional khususnya mendorong kapasitas manufaktur vaksin end-to-end di dalam negeri, dimulai dari R&D, produksi vaccine substance, hingga fill and finish.
Dalam rangka melaksanakan arahan tersebut, Kemenlu terus melakukan fasilitasi penjajakan kerja sama joint production. "Yang di dalamnya termuat transfer of technology antara perusahaan industri farmasi (BUMN dan Swasta) nasional dengan perusahaan farmasi internasional yang memiliki kapasitas dan teknologi produksi vaksin," paparnya.
Dia menjelaskan, ada beberapa penjajakan kerja sama joint production vaksin. Antara lain, pertama, pengembangan Vaksin Merah Putih. Pengembangan vaksin ini dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kesehatan, Eijkman Institute, dan beberapa universitas di Indonesia.
Berikutnya, vaksin berplatform Protein Rekombinan yang dikembangkan oleh Eijkman Institute dan Bio Farma dan vaksin berplatform Inaktivasi yang dikembangkan oleh Universitas Airlangga (UNAIR) dan Biotis Pharmaceuticals Indonesia.
Kedua, kerja sama PT BCHT-Anhui Zhifei Longcom. PT BCHT bersama Anhui Zhifei Longcom berencana melakukan kerja sama investasi dengan dibentuknya perusahaan Joint Venture PT Jakarta Bio Pharmaceutical Industry (Jbio). Untuk kerja sama ini, terdapat rencana pembangunan fasilitas produksi Biopharmaceutical products.
Teuku lebih jauh emandirian Industri Kesehatan Indonesia, melalui kerjasama R&D vaksin dan end-to-end manufaktur vaksin untuk mendorong produsen vaksin Indonesia menjadi hub di regional, yaitu dengan menjadi anggota investor council CEPI. Indonesia memberikan kontribusi sebesar USD1 juta dan berhak mendapatkan status sebagai anggota CEPI Investor Council selama satu tahun sejak November 2020 hingga Desember 2021).
Keikutsertaan Indonesia dalam CEPI akan bermanfaat untuk mengembangkan R&D dalam menanggapi Emerging Infectious Disease beyond Covid-19.
"Indonesia juga tengah menjajaki kerja sama dengan WHO dalam rangka scale up manufacturing vaksin di Indonesia. WHO telah membentuk Supply Chain & Manufacturing Task Force yang salah satu tujuannya membantu negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas manufaktur vaksin. Dalam kerangka tersebut Indonesia memiliki kesempatan untuk menerima transfer teknologi vaksin berplatform mRNA dan mendorong peningkatan kapasitas produksi vaksin untuk menjadi vaccine hub di Kawasan Asia Tenggara," ucap Teuku.
Pakar Hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Evi Fitriani mengatakan, diplomasi vaksin yang dilakukan negara besar seperti AS , China, Rusia hingga UE dalam membagikan vaksin secara gratis ke berbagai negara miskin dan berkembang sebagai praktek biasa dalam hubungan internasional. Secara normatif mereka memang diharapkan melakukan hal tersebut.
“Walau kita tahu mereka juga punya pertimbangan strategis mengapa memberi vaksin, negara mana, berapa banyak dan kapan diberikan,” katanya kepada KORAN SINDO.
Dalam kondisi saat ini bisa saja Pemerintah Indonesia mengambil peluang dengan diplomasi vaksin yang dilakukan negara-negara besar tersebut. Sehingga bisa membantu percepatan vaksinasi di Tanah Air.
“Tampaknya iya (bisa mengambil peluang),” tukas Evi. Dia melihat upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mendekati negara besar itu melalui diplomasi vaksin secara bilateral atau pun pendekatan multilateral seperti skema COVAX sudah cukup baik.
Dan menurutnya, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya juga melakukan diplomasi vaksin agar kedepannya Indonesia bisa memproduksi vaksin sendiri dengan adanya transfer teknologi.
“Tapi ingat, produksi vaksin berhubungan dengan kemajuan iptek terutama bidang farmasi. Jadi diplomasi tersebut harus seiring dengan dukungan pada pengembangan universitas-universitas dan pusat-pusat bidang riset farmasi, terutama peningkatan SDM dan infrastruktur lain,” tegasnya.
Lebih lanjut Evi menuturkan, transfer of technology gampang disebut. Akan tetapi sulit dilaksanakan karena hal tersebut berhubungan dengan competitive advantage masing-masing negara. Tidak ada negara yang rela transfer ilmunya, dan kalaupun ada yang diberikan itu levelnya yang biasa-biasa saja. “Belum tentu juga yang di Indonesia siap,” ungkapnya.
Dia lebih menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan investasi SDM generasi muda. Caranya dengan memberikan pendidikan pada anak bangsa untuk belajar dan menguasai teknologi. Kemudian bawa mereka untuk kembali ke Tanah Air untuk menerapkan ilmunya demi kemajuan bangsa seperti yang dilakukan China dan Malaysia.
“Seharusnya jangan mengharap dari negara lain. Kirim putra-putri RI untuk sekolah dan menguasai technologi. Lalu fasilitasi mereka ketika pulang, sehingga bisa menerapkan ilmunya (proyek BPPT dulu seperti ini tapi gagal karena terlalu elitis dan perencanaannya exclusif). China dan malaysia sukses melakukan ini,” pungkasnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama melihat saat ini setidaknya ada empat sumber dimana suatu negara dapat memperoleh vaksin Covid-19. Pertama, negara membeli langsung dari produsen vaksin.
“Kita tahu hal ini bukan hanya tentang kebutuhan anggaran tetapi juga perlu diplomasi internasional yang baik,” katanya.
Dia melihat bahwa masalah menjadi lebih kompleks karena produksi vaksin memang masih terbatas. Sehingga selain dalam bentuk pembelian maka juga dikenal perjanjian dalam bentuk komitmen.
“Katakanlah akan diberikan sekian juga vaksin ke negara tertebntu kalau nanti sudah selesai diproduksi,” ucapnya.
Sumber vaksin kedua bagi negara, lanjutnya, adalah kerjasama internasional melalui COVAX yang dikelola oleh WHO, Gavi the vaccine alliance dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations). COVAX bertujuan untuk mengakselerasi pengembangan dan produksi vaksin COVID-19 dan menjamin akses yang adil dan terjangkau untuk semua negara di dunia yang membutuhkannya.
“Saya adalah salah seorang (dari 12 pakar internasional) anggota Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX yang juga sudah memberikan vaksin ke Indonesia dan akan memberikan lagi dalam waktu dekat ini,” ungkapnya.
Sedangkan sumber vaksin ketiga adalah kemungkinan kerjasama bilateral antara satu negara dengan negara lainnya. Indonesia kabarnya sudah melakukan kerjasama bilateral dengan Tiongkok untuk vaksin Sinocav, dan dalam beberapa hari ini ada berita tentang kemungkinan vaksin Pfizer dari Amerika Serikat.
“Sumber vaksin ke empat bagi suatu negara adalah tentu kalau negara itu sendiri dapat memproduksi vaksin di dalam negeri,” tutup Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu.
Pemerintah Indonesia menghadirkan vaksin melalui diplomasi vaksin, baik lewat jalur bilateral dengan berbagai negara dan produsen vaksin di dunia, maupun kerja sama multilateral .
Bagaimana hasilnya? Pada awal Juni lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan Indonesia sudah mengamankan 91.910.500 dosis vaksin terdiri dari 84,5 juta dosis vaksin Sinovac, 6,4 juta AstraZeneca yang diperoleh dari COVAX, dan 1 juta dosis vaksin Sinopharm.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Teuku Faizasyah menjelaskan, pandemi Covid-19 merupakan situasi unprecedented dan memiliki dampak berskala global. WHO telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 dan semenjak penetapan tersebut pandemi Covid-19 telah menyebar di 219 negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Dalam kondisi ini, vaksin merupakan salah satu instrumen vital dalam rangka mitigasi pandemi Covid-19. Kebutuhan global akan vaksin untuk memenuhi herd immunity diperkirakan adalah 70% dari jumlah penduduk dunia atau sekitar 11 miliar dosis.
Saat ini, kata Teuku, sebanyak 11,9 miliar dosis vaksin telah dipesan oleh seluruh negara di dunia. Namun, terdapat ketimpangan akses akan vaksin, dimana hampir 50% dari total vaksin (5,9 miliar dosis) dibeli oleh High Income Countries. Sedangkan, Lower Middle-Income Countries membeli 15% dari jumlah vaksin (1,8 miliar dosis) dan Low Income Countries hanya memiliki 2,2% dari total vaksin (271 juta dosis vaksin).
"Dalam kaitan dengan hal ini, Kemenlu mengapresiasi upaya sejumlah negara produsen vaksin yang lakukan berbagi dosis vaksin kepada negara berkembangan dan berpenghasilan rendah untuk mengurangi kesenjangan dan dalam rangka memastikan kesetaraan atas akses bagi semua negara," ujar Teuku kepada KORAN SINDO.
Juru Bicara Kemenlu ini membeberkan, pemenuhan kebutuhan vaksin dan memastikan ketersediaan akses yang merata atas vaksin yang aman dan efektif merupakan suatu kewajiban moral yang patut kita dukung bersama. Keadilan dan kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19 merupakan isu penting yang harus jadi perhatian seluruh negara dunia. Dunia hanya bisa kembali pulih jika negara-negara bekerja sama dengan baik dalam penanganan pandemi.
"Untuk itu, di setiap forum multilateral, Indonesia selalu menyerukan pentingnya kesetaraan akses atas vaksin. Sebagai Co-Chairs Covax AMC EG, yang bertujuan untuk menjamin akses yang adil dan merata atas vaksin bagi setiap negara, Indonesia selalu konsisten untuk mendorong pemerataan akses terhadap vaksin utamanya bagi pihak yang membutuhkan," bebernya.
Teuku menegaskan , para diplomat Indonesia bekerja siang dan malam untuk memastikan akses terhadap vaksin yang aman untuk memenuhi kebutuhan Indonesia. Melalui kedekatan bilateral antara Indonesia dengan negara produsen vaksin, Indonesia dapat menarik manfaat dari diplomasi vaksin yang dilakukan oleh negara produsen vaksin melalui perolehan dosis vaksin yang diperuntukkan bagi Indonesia.
Hal ini, ujar dia, akan membantu pemenuhan kebutuhan vaksin nasional dimana guna mencapai national herd immunity bagi sekitar 181,5 juta penduduk, Indonesia memerlukan sebesar 363 juta dosis vaksin dengan asumsi dua kali dosis yang diberikan.
"Selain untuk pemenuhan kebutuhan vaksin dalam jangka pendek, upaya diplomasi vaksin juga ditujukan untuk mendukung kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional, utamanyauntuk pengembangan vaksin berbasis teknologi baru (viral vector dan mRNA)," tegasnya.
Teuku memastikan, pemenuhan akses atas vaksin yang bersifat jangka pendek dilakukan pemerintah termasuk Kemenlu melalui kerja sama pengadaan vaksin melalui jalur bilateral dan multilateral.
Dia lantas menuturkan, untuk perkembangan kerja sama vaksin bilateral maka ada empat hal yang perlu disampaikan. Pertama, Sinovac berupa sebanyak 94,5 juta dosis Sinovac telah tiba di Indonesia hingga awal 21 Juni 2021. Kedua, Sinopharm berupa sebanyak 2 juta dosis telah diamankan di Indonesia.
Ketiga, terdapat komitment pengadaan vaksin AstraZeneca dari jalur Bilateral dan juga vaksin Novavax yang diproduksi dari Serum Institute India (SII).
"Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah menjajaki kerja sama vaksin Sputnik V, Pfizer, Moderna, Cansino, dan Anhui Zhifei Longcom," ungkapnya.
Dari sisi perkembangan kerja sama vaksin multilateral juga ada empat hal. Pertama, melalui COVAX Facility, Indonesia mendapatkan akses terhadap vaksin Covid-19 untuk 20% penduduk secara gratis (sekitar 54 juta penduduk atau 108 juta dosis vaksin). Kedua, pada akhir Februari 2021, COVAX Facility telah mulai mengirimkan vaksin secara bertahap untuk 190 anggota COVAX Facility.
Ketiga, Menlu RI Retno Lestari Priansari Marsudi terpilih sebagai Co-Chair COVAZ Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group bersama dengan Menteri Pembangunan Internasional Kanada dan Menteri Kesehatan Ethiopia untuk mendorong akses vaksin yang setara untuk semua.
"Pada 10 Juni 2021, Indonesia kembali menerima 1.504.800 dosis vaksin AstraZeneca dari COVAX Facility. Sehingga total vaksin yang diterima Indonesia melalui Covax Facility mencapai 8.228.400 dosis," katanya.
Teuku melanjutkan, Kemenlu juga mendorong pemenuhan kebutuhan vaksin yang bersifat jangka Menengah-panjang melalui upaya mengamankan ketersediaan suplai vaksin melalui pengembangan industri farmasi dan biofarmasi nasional khususnya mendorong kapasitas manufaktur vaksin end-to-end di dalam negeri, dimulai dari R&D, produksi vaccine substance, hingga fill and finish.
Dalam rangka melaksanakan arahan tersebut, Kemenlu terus melakukan fasilitasi penjajakan kerja sama joint production. "Yang di dalamnya termuat transfer of technology antara perusahaan industri farmasi (BUMN dan Swasta) nasional dengan perusahaan farmasi internasional yang memiliki kapasitas dan teknologi produksi vaksin," paparnya.
Dia menjelaskan, ada beberapa penjajakan kerja sama joint production vaksin. Antara lain, pertama, pengembangan Vaksin Merah Putih. Pengembangan vaksin ini dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kesehatan, Eijkman Institute, dan beberapa universitas di Indonesia.
Berikutnya, vaksin berplatform Protein Rekombinan yang dikembangkan oleh Eijkman Institute dan Bio Farma dan vaksin berplatform Inaktivasi yang dikembangkan oleh Universitas Airlangga (UNAIR) dan Biotis Pharmaceuticals Indonesia.
Kedua, kerja sama PT BCHT-Anhui Zhifei Longcom. PT BCHT bersama Anhui Zhifei Longcom berencana melakukan kerja sama investasi dengan dibentuknya perusahaan Joint Venture PT Jakarta Bio Pharmaceutical Industry (Jbio). Untuk kerja sama ini, terdapat rencana pembangunan fasilitas produksi Biopharmaceutical products.
Teuku lebih jauh emandirian Industri Kesehatan Indonesia, melalui kerjasama R&D vaksin dan end-to-end manufaktur vaksin untuk mendorong produsen vaksin Indonesia menjadi hub di regional, yaitu dengan menjadi anggota investor council CEPI. Indonesia memberikan kontribusi sebesar USD1 juta dan berhak mendapatkan status sebagai anggota CEPI Investor Council selama satu tahun sejak November 2020 hingga Desember 2021).
Keikutsertaan Indonesia dalam CEPI akan bermanfaat untuk mengembangkan R&D dalam menanggapi Emerging Infectious Disease beyond Covid-19.
"Indonesia juga tengah menjajaki kerja sama dengan WHO dalam rangka scale up manufacturing vaksin di Indonesia. WHO telah membentuk Supply Chain & Manufacturing Task Force yang salah satu tujuannya membantu negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas manufaktur vaksin. Dalam kerangka tersebut Indonesia memiliki kesempatan untuk menerima transfer teknologi vaksin berplatform mRNA dan mendorong peningkatan kapasitas produksi vaksin untuk menjadi vaccine hub di Kawasan Asia Tenggara," ucap Teuku.
Pakar Hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Evi Fitriani mengatakan, diplomasi vaksin yang dilakukan negara besar seperti AS , China, Rusia hingga UE dalam membagikan vaksin secara gratis ke berbagai negara miskin dan berkembang sebagai praktek biasa dalam hubungan internasional. Secara normatif mereka memang diharapkan melakukan hal tersebut.
“Walau kita tahu mereka juga punya pertimbangan strategis mengapa memberi vaksin, negara mana, berapa banyak dan kapan diberikan,” katanya kepada KORAN SINDO.
Dalam kondisi saat ini bisa saja Pemerintah Indonesia mengambil peluang dengan diplomasi vaksin yang dilakukan negara-negara besar tersebut. Sehingga bisa membantu percepatan vaksinasi di Tanah Air.
“Tampaknya iya (bisa mengambil peluang),” tukas Evi. Dia melihat upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mendekati negara besar itu melalui diplomasi vaksin secara bilateral atau pun pendekatan multilateral seperti skema COVAX sudah cukup baik.
Dan menurutnya, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya juga melakukan diplomasi vaksin agar kedepannya Indonesia bisa memproduksi vaksin sendiri dengan adanya transfer teknologi.
“Tapi ingat, produksi vaksin berhubungan dengan kemajuan iptek terutama bidang farmasi. Jadi diplomasi tersebut harus seiring dengan dukungan pada pengembangan universitas-universitas dan pusat-pusat bidang riset farmasi, terutama peningkatan SDM dan infrastruktur lain,” tegasnya.
Lebih lanjut Evi menuturkan, transfer of technology gampang disebut. Akan tetapi sulit dilaksanakan karena hal tersebut berhubungan dengan competitive advantage masing-masing negara. Tidak ada negara yang rela transfer ilmunya, dan kalaupun ada yang diberikan itu levelnya yang biasa-biasa saja. “Belum tentu juga yang di Indonesia siap,” ungkapnya.
Dia lebih menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan investasi SDM generasi muda. Caranya dengan memberikan pendidikan pada anak bangsa untuk belajar dan menguasai teknologi. Kemudian bawa mereka untuk kembali ke Tanah Air untuk menerapkan ilmunya demi kemajuan bangsa seperti yang dilakukan China dan Malaysia.
“Seharusnya jangan mengharap dari negara lain. Kirim putra-putri RI untuk sekolah dan menguasai technologi. Lalu fasilitasi mereka ketika pulang, sehingga bisa menerapkan ilmunya (proyek BPPT dulu seperti ini tapi gagal karena terlalu elitis dan perencanaannya exclusif). China dan malaysia sukses melakukan ini,” pungkasnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama melihat saat ini setidaknya ada empat sumber dimana suatu negara dapat memperoleh vaksin Covid-19. Pertama, negara membeli langsung dari produsen vaksin.
“Kita tahu hal ini bukan hanya tentang kebutuhan anggaran tetapi juga perlu diplomasi internasional yang baik,” katanya.
Dia melihat bahwa masalah menjadi lebih kompleks karena produksi vaksin memang masih terbatas. Sehingga selain dalam bentuk pembelian maka juga dikenal perjanjian dalam bentuk komitmen.
“Katakanlah akan diberikan sekian juga vaksin ke negara tertebntu kalau nanti sudah selesai diproduksi,” ucapnya.
Sumber vaksin kedua bagi negara, lanjutnya, adalah kerjasama internasional melalui COVAX yang dikelola oleh WHO, Gavi the vaccine alliance dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations). COVAX bertujuan untuk mengakselerasi pengembangan dan produksi vaksin COVID-19 dan menjamin akses yang adil dan terjangkau untuk semua negara di dunia yang membutuhkannya.
“Saya adalah salah seorang (dari 12 pakar internasional) anggota Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX yang juga sudah memberikan vaksin ke Indonesia dan akan memberikan lagi dalam waktu dekat ini,” ungkapnya.
Sedangkan sumber vaksin ketiga adalah kemungkinan kerjasama bilateral antara satu negara dengan negara lainnya. Indonesia kabarnya sudah melakukan kerjasama bilateral dengan Tiongkok untuk vaksin Sinocav, dan dalam beberapa hari ini ada berita tentang kemungkinan vaksin Pfizer dari Amerika Serikat.
“Sumber vaksin ke empat bagi suatu negara adalah tentu kalau negara itu sendiri dapat memproduksi vaksin di dalam negeri,” tutup Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu.
(ynt)