Mantan Direktur WHO Ingatkan Kasus Covid-19 Indonesia Bisa Seperti Inggris
Selasa, 15 Juni 2021 - 15:35 WIB
JAKARTA - Mantan Direktur World Health Organization ( WHO ) Asia Tenggara sekaligus mantan Dirjen P2P Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama mengingatkan potensi lonjakan kasus Covid-19 dari varian Delta di Indonesia. Sebab varian ini telah mengakibatkan lonjakan kasus Covid-19 luar biasa di Inggris, yaitu 70% dalam seminggu.
Tjandra mengatakan pada 14 Juni 2021 dilaporkan ada 28 kasus di Kudus ternyata adalah varian Delta (B.1.617.2 yang bermula dari India), maka pada 11 Juni 2021 hanya tiga hari sebelumnya) otoritas kesehatan masyarakat di Inggris (“Public Health England – PHE”) juga baru menyampaikan perkembangan terakhir varian ini.
Dia pun meminta agar hal ini dipakai sebagai bahan antisipasi. “Di Inggris sudah ada 42.323 kasus varian Delta, naik 70% dari minggu sebelumnya, atau naik 29.892 kasus hanya dalam waktu satu minggu saja, peningkatan yang amat besar,” ungkap Tjandra dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).
Bahkan, kata Tjandra, data terakhir Inggris menunjukkan bahwa lebih dari 90% kasus baru Covid-19 di negara itu kini adalah varian Delta ini, menggantikan varian Alfa (B.1.1.7) yang semua dominan di Inggris. “Kalau pola ini juga akan terjadi di negara kita maka tentu bebannya akan berat jadinya,” katanya.
Tjandra mengatakan varian Delta di Inggris ternyata 60% lebih mudah menular daripada varian Alfa. Waktu penggandaannya (doubling time) berkisar antara 4,5 sampai 11,5 hari.
“Akan baik kalau juga ada data tentang berapa besar (doubling time) dari varian Delta yang kini ada di negara kita, termasuk tentunya laporan terakhir dari Kudus ini,” ungkap Tjandra.
Sementara itu, Tjandra mengatakan dari laporan Inggris 11 Juni 2021 ini juga menunjukkan bahwa varian Delta berpengaruh menurunkan efektifitas vaksin dibandingkan varian Alfa. Pada mereka yang baru dapat vaksin satu kali maka terjadi penurunan efektifitas perlindungan terhadap gejala sebesar 15% sampai 20%.
“Kita perlu pula mengamati kemungkinan dampak seperti ini, apalagi program vaksinasi memang sedang terus digalakkan. Hanya saja tentu kita tidak akan membandingkan varian Delta dengan varian Alfa seperti yang Inggris lakukan, karena varian Alfa bukanlah varian yang dominan di negara kita sebelum ini,” ungkapnya.
Selain itu, kata Tjandra, yang juga menarik adalah di Inggris mereka menggunakan “novel genotyping test” untuk mendeteksi adanya varian Delta. “Tes ini dapat memberi hasil dalam 48 jam saja, dan hasilnya kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan “whole genome sequencing” dan ternyata hasilnya memang positif, oleh PHE disebut sebagai extremely accurate,” katanya.
Tjandra mengatakan pada 14 Juni 2021 dilaporkan ada 28 kasus di Kudus ternyata adalah varian Delta (B.1.617.2 yang bermula dari India), maka pada 11 Juni 2021 hanya tiga hari sebelumnya) otoritas kesehatan masyarakat di Inggris (“Public Health England – PHE”) juga baru menyampaikan perkembangan terakhir varian ini.
Dia pun meminta agar hal ini dipakai sebagai bahan antisipasi. “Di Inggris sudah ada 42.323 kasus varian Delta, naik 70% dari minggu sebelumnya, atau naik 29.892 kasus hanya dalam waktu satu minggu saja, peningkatan yang amat besar,” ungkap Tjandra dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).
Bahkan, kata Tjandra, data terakhir Inggris menunjukkan bahwa lebih dari 90% kasus baru Covid-19 di negara itu kini adalah varian Delta ini, menggantikan varian Alfa (B.1.1.7) yang semua dominan di Inggris. “Kalau pola ini juga akan terjadi di negara kita maka tentu bebannya akan berat jadinya,” katanya.
Tjandra mengatakan varian Delta di Inggris ternyata 60% lebih mudah menular daripada varian Alfa. Waktu penggandaannya (doubling time) berkisar antara 4,5 sampai 11,5 hari.
“Akan baik kalau juga ada data tentang berapa besar (doubling time) dari varian Delta yang kini ada di negara kita, termasuk tentunya laporan terakhir dari Kudus ini,” ungkap Tjandra.
Sementara itu, Tjandra mengatakan dari laporan Inggris 11 Juni 2021 ini juga menunjukkan bahwa varian Delta berpengaruh menurunkan efektifitas vaksin dibandingkan varian Alfa. Pada mereka yang baru dapat vaksin satu kali maka terjadi penurunan efektifitas perlindungan terhadap gejala sebesar 15% sampai 20%.
“Kita perlu pula mengamati kemungkinan dampak seperti ini, apalagi program vaksinasi memang sedang terus digalakkan. Hanya saja tentu kita tidak akan membandingkan varian Delta dengan varian Alfa seperti yang Inggris lakukan, karena varian Alfa bukanlah varian yang dominan di negara kita sebelum ini,” ungkapnya.
Selain itu, kata Tjandra, yang juga menarik adalah di Inggris mereka menggunakan “novel genotyping test” untuk mendeteksi adanya varian Delta. “Tes ini dapat memberi hasil dalam 48 jam saja, dan hasilnya kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan “whole genome sequencing” dan ternyata hasilnya memang positif, oleh PHE disebut sebagai extremely accurate,” katanya.
(muh)
tulis komentar anda