McDonald’s sebagai Magnet Kapitalisme
Jum'at, 11 Juni 2021 - 06:35 WIB
Teori itu dia gambarkan secara ringkas di dalam artikelnya yang berjudul Foreign Affairs Big Mac I (New York Times , 1996). Dalam artikel itu Friedman intinya mengatakan, "Belum pernah ada dua negara yang berperang melawan satu sama lain sejak McDonald’s masuk ke kedua negara tersebut." Teori ciptaan Friedman itu didasari asumsi bahwa ketika sebuah negara mencapai pembangunan ekonomi dengan jumlah kelas menengah yang cukup besar untuk dimanfaatkan McDonald’s, negara tersebut akan menjadi "negara McDonald’s" dan dengan begitu enggan terlibat dalam perang.
Tiga tahun kemudian Friedman tetap mempertahankan teori tersebut di dalam bukunya yang berjudul The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization (1999). Namun tidak lama setelah buku ini diterbitkan, NATO mengebom Yugoslavia. Pada hari pertama pengeboman, restoran-restoran McDonald’s di Belgrade dihancurkan oleh para pengunjuk rasa. Tapi bagi Friedman, situasi konflik itu yang membuat teorinya menjadi lebih valid: perang berakhir cepat dan salah satu alasannya adalah penduduk Serbia tidak ingin kehilangan tempatnya di dalam tatanan dunia yang ter-McDonaldisasi.
Keyakinan Friedman itu didasari faktor globalisasi (ekonomi) dan bukanlah politik. Menurutnya negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi secara erat akan merugi jika memutuskan berperang satu sama lain. Ekspansi global McDonald’s merupakan fenomena modern bila disandingkan dengan sejarah perang. Meski ada beberapa pengecualian, McDonald’s selalu masuk ke negara-negara yang ekonominya stabil.
Mungkin ini yang membuat restoran McDonald’s memiliki daya tarik tersendiri. Saking berdaya tarik, McDonald’s kemudian dijadikan sebagai perangkat teoretis ilmu sosial untuk menjelaskan perdamaian antarnegara yang membuka gerai McDonald’s (perdamaian McDonald’s).
Perdamaian McDonald’s
Meski teori perdamaian McDonald’s memiliki daya narik, beberapa fakta menunjukkan realitas yang bertabrakan. Sejak 2006 setidaknya terdapat tiga contoh kasus yang disebut sebagai konflik antarsesama negara McDonald’s.
Kasus konflik pertama terjadi antara Israel dan Lebanon pada 2006. Kedua negara ini diketahui memiliki gerai McDonald’s pada 1993 dan 1998. Lalu Perang Ossetia Selatan pada 2008 antara Georgia dan Rusia. Kedua negara itu juga diketahui membuka gerai McDonald’s pada 1990 dan 1999. Kemudian Krisis Krimea 2014 antara Rusia dan Ukraina yang juga sama-sama memiliki gerai McDonald’s.
Walau begitu, tiga contoh kasus yang disebutkan itu merupakan sampel yang terbilang sedikit. Karenanya Friedman meyakini bahwa McDonald’s tetap dapat dianggap berhasil menjadi magnet bagi kapitalisme dalam ekonomi dunia. Menurut asumsi ini McDonald’s yang terglobalisasi akan memicu pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi lalu mendorong perdamaian antaranegara berekonomi maju.
Dalam kata lain, jika suatu negara ingin maju dan menjadi modern, negara itu harus mengikuti alur pasar bebas, menerima produk kapitalis (McDonald’s) demi kemajuan itu sendiri. Untuk itu, ketika teori ini diterima, akan jauh lebih mudah bagi para kapitalis untuk memasarkan produknya (McDonald’s).
McDonald’s yang merupakan produk kapitalisme adalah cermin dari masyarakat konsumsi di Amerika. Dari keberhasilan membangun budaya konsumtivisme inilah Amerika kemudian mentransfer budaya konsumsinya ke hampir seluruh penjuru dunia dengan harapan hal itu akan berdampak terhadap konsumsi masyarakat di negara lain. Dengan begitu masyarakat menjadi terdorong untuk bergantung pada produk itu (McDonald’s) dan membelinya laiknya kebutuhan pokok.
Tiga tahun kemudian Friedman tetap mempertahankan teori tersebut di dalam bukunya yang berjudul The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization (1999). Namun tidak lama setelah buku ini diterbitkan, NATO mengebom Yugoslavia. Pada hari pertama pengeboman, restoran-restoran McDonald’s di Belgrade dihancurkan oleh para pengunjuk rasa. Tapi bagi Friedman, situasi konflik itu yang membuat teorinya menjadi lebih valid: perang berakhir cepat dan salah satu alasannya adalah penduduk Serbia tidak ingin kehilangan tempatnya di dalam tatanan dunia yang ter-McDonaldisasi.
Keyakinan Friedman itu didasari faktor globalisasi (ekonomi) dan bukanlah politik. Menurutnya negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi secara erat akan merugi jika memutuskan berperang satu sama lain. Ekspansi global McDonald’s merupakan fenomena modern bila disandingkan dengan sejarah perang. Meski ada beberapa pengecualian, McDonald’s selalu masuk ke negara-negara yang ekonominya stabil.
Mungkin ini yang membuat restoran McDonald’s memiliki daya tarik tersendiri. Saking berdaya tarik, McDonald’s kemudian dijadikan sebagai perangkat teoretis ilmu sosial untuk menjelaskan perdamaian antarnegara yang membuka gerai McDonald’s (perdamaian McDonald’s).
Perdamaian McDonald’s
Meski teori perdamaian McDonald’s memiliki daya narik, beberapa fakta menunjukkan realitas yang bertabrakan. Sejak 2006 setidaknya terdapat tiga contoh kasus yang disebut sebagai konflik antarsesama negara McDonald’s.
Kasus konflik pertama terjadi antara Israel dan Lebanon pada 2006. Kedua negara ini diketahui memiliki gerai McDonald’s pada 1993 dan 1998. Lalu Perang Ossetia Selatan pada 2008 antara Georgia dan Rusia. Kedua negara itu juga diketahui membuka gerai McDonald’s pada 1990 dan 1999. Kemudian Krisis Krimea 2014 antara Rusia dan Ukraina yang juga sama-sama memiliki gerai McDonald’s.
Walau begitu, tiga contoh kasus yang disebutkan itu merupakan sampel yang terbilang sedikit. Karenanya Friedman meyakini bahwa McDonald’s tetap dapat dianggap berhasil menjadi magnet bagi kapitalisme dalam ekonomi dunia. Menurut asumsi ini McDonald’s yang terglobalisasi akan memicu pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi lalu mendorong perdamaian antaranegara berekonomi maju.
Dalam kata lain, jika suatu negara ingin maju dan menjadi modern, negara itu harus mengikuti alur pasar bebas, menerima produk kapitalis (McDonald’s) demi kemajuan itu sendiri. Untuk itu, ketika teori ini diterima, akan jauh lebih mudah bagi para kapitalis untuk memasarkan produknya (McDonald’s).
McDonald’s yang merupakan produk kapitalisme adalah cermin dari masyarakat konsumsi di Amerika. Dari keberhasilan membangun budaya konsumtivisme inilah Amerika kemudian mentransfer budaya konsumsinya ke hampir seluruh penjuru dunia dengan harapan hal itu akan berdampak terhadap konsumsi masyarakat di negara lain. Dengan begitu masyarakat menjadi terdorong untuk bergantung pada produk itu (McDonald’s) dan membelinya laiknya kebutuhan pokok.
tulis komentar anda