Kisruh Pemecatan 75 Pegawai KPK, Presiden Diminta Tegur Ketua KPK
Jum'at, 21 Mei 2021 - 15:46 WIB
JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan bahwa KPK saat ini sudah berada di ranah eksekutif. Karena itu, seharusnya Presiden Jokowi memerintahkan menkopolhukham untuk menegur Ketua KPK Firli Bahuri dan membatalkan keputusan pimpinan KPK untuk menonaktifkan 75 pegawai yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan.
"KPK generasi ini, terutama Ketuanya adalah KPK yang paling buruk diantara generasi KPK sebelumnya. Lalu, kalau ada pelanggaran hukum, jika ada unsur pidana diproses ke pengadilan, jika ada kerugian perdata digugat ke pengadilan, jika ada pelanggaran adminstrasi negara diproses di PTUN dan jika ada pelanggaran etika, maka DEWAS akan menghukum etik pimpinan KPK yang paling berat usulan pemberhentian kepada Presiden," ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/5/2021).
Menurutnya, sejatinya ada salah penafsiran dalam penerapan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, yakni undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang status pegawai KPK yang dinyatakan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Seharusnya, begitu UU yang baru berlaku, maka dengan sendirinya seluruh pegawai KPK langsung otomatis menjadi ASN, bahwa ada test wawasan itu seharusnya bukan untuk menentukan orang masuk atau tidak menjadi ASN," katanya.
Dia menerangkan, hal itu mengingat test masuk KPK harus dianggap sebagai bagian dari test masuk ASN. Jika ada kelemahan dalam wawasan kebangsaan dengan ukuran hasil test seharusnya dilakukan pembekalan dan penambahan wawasan, bukan memutus hak pegawai KPK sebagai ASN.
"Maka itu, tak ada alasan menonaktifkan ke 75 pegawai itu sebagai pegawai KPK. Jika terjadi penonaktifan, ini jelas salah kaprah yang merugikan pegawai KPK, padahal ada pesan UU alih status itu tidak boleh merugikan pegawai KPK," tuturnya.
Alhasil, kata dia, saat pimpinan KPK, khususnya Ketua KPK, Firli Bahuri melakukan penonaktifan pada 75 orang pegawai KPK, itu termasuk tindakan sewenang-wenang. Berdasarkan penjelasan Presiden RI, Joko Widodo sudah cukup jelas semua pegawai KPK itu haruslah di ASN-kan sesuai yang diamanatkan UU.
"Tes itu fungsinya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai ASN, artinya test hanya menjadi dasar perbaikan dan bukan penolakan menjadi ASN, begitulah kira-kira maksudnya Presiden. Konsekuensinya, Firli (Ketua KPK) harus membatalkan surat penonaktifan 75 orang pegawai KPK," jelasnya.
Fickar menambahkan, akibat kisruh pemecatan 75 pegawai KPK, diyakini bakal mempengaruhi proses penanganan kasus korupsi di lembaga tersebut. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga itu pun bakal menurun dan masyarakat bisa beranggapan KPK bukan lagi lembaga penegak hukum independen, tapi sudah menjadi lembaga yang birokrasinya melebihi birokrasi pemerintahan.
Lihat Juga: KPK Beberkan Isi Amplop Serangan Fajar Gubernur Bengkulu yang Akan Disebar Jelang Pencoblosan
"KPK generasi ini, terutama Ketuanya adalah KPK yang paling buruk diantara generasi KPK sebelumnya. Lalu, kalau ada pelanggaran hukum, jika ada unsur pidana diproses ke pengadilan, jika ada kerugian perdata digugat ke pengadilan, jika ada pelanggaran adminstrasi negara diproses di PTUN dan jika ada pelanggaran etika, maka DEWAS akan menghukum etik pimpinan KPK yang paling berat usulan pemberhentian kepada Presiden," ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/5/2021).
Menurutnya, sejatinya ada salah penafsiran dalam penerapan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, yakni undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang status pegawai KPK yang dinyatakan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Seharusnya, begitu UU yang baru berlaku, maka dengan sendirinya seluruh pegawai KPK langsung otomatis menjadi ASN, bahwa ada test wawasan itu seharusnya bukan untuk menentukan orang masuk atau tidak menjadi ASN," katanya.
Dia menerangkan, hal itu mengingat test masuk KPK harus dianggap sebagai bagian dari test masuk ASN. Jika ada kelemahan dalam wawasan kebangsaan dengan ukuran hasil test seharusnya dilakukan pembekalan dan penambahan wawasan, bukan memutus hak pegawai KPK sebagai ASN.
"Maka itu, tak ada alasan menonaktifkan ke 75 pegawai itu sebagai pegawai KPK. Jika terjadi penonaktifan, ini jelas salah kaprah yang merugikan pegawai KPK, padahal ada pesan UU alih status itu tidak boleh merugikan pegawai KPK," tuturnya.
Alhasil, kata dia, saat pimpinan KPK, khususnya Ketua KPK, Firli Bahuri melakukan penonaktifan pada 75 orang pegawai KPK, itu termasuk tindakan sewenang-wenang. Berdasarkan penjelasan Presiden RI, Joko Widodo sudah cukup jelas semua pegawai KPK itu haruslah di ASN-kan sesuai yang diamanatkan UU.
"Tes itu fungsinya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai ASN, artinya test hanya menjadi dasar perbaikan dan bukan penolakan menjadi ASN, begitulah kira-kira maksudnya Presiden. Konsekuensinya, Firli (Ketua KPK) harus membatalkan surat penonaktifan 75 orang pegawai KPK," jelasnya.
Fickar menambahkan, akibat kisruh pemecatan 75 pegawai KPK, diyakini bakal mempengaruhi proses penanganan kasus korupsi di lembaga tersebut. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga itu pun bakal menurun dan masyarakat bisa beranggapan KPK bukan lagi lembaga penegak hukum independen, tapi sudah menjadi lembaga yang birokrasinya melebihi birokrasi pemerintahan.
Lihat Juga: KPK Beberkan Isi Amplop Serangan Fajar Gubernur Bengkulu yang Akan Disebar Jelang Pencoblosan
(muh)
tulis komentar anda