Tantangan Membangun SDM Berskala Besar
Selasa, 11 Mei 2021 - 10:33 WIB
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital
SAYA sungguh merasa bersyukur menjalani karier di perusahaan dengan skala pegawai yang berukuran besar dari sisi jumlah. Tapi dalam perjalanannya, saya juga pernah berada dalam situasi di mana saya harus mengelola pegawai dalam skala yang lebih kecil. Situasinya sangat berbeda, di mana kedekatan dan komunikasi dalam organisasi yang kecil terasa lebih intens, tetapi juga sekaligus terlokalisir pada masalah-masalah tertentu.
Besar kecilnya ukuran suatu organisasi tentu sangat subjektif. Bahkan para akademisi, praktisi, pemerhati, sampai dengan analis tentang organisasi di seluruh dunia ini tidak pernah bisa bersepakat secara tunggal, bagaimana mengelompokkan suatu organisasi berdasarkan jumlah pegawai di dalamnya. Selalu punya alasan untuk setiap klasifikasi.
Dalam pengalaman sejauh ini, juga dari cerita-cerita tentang bagaimana kolega-kolega di perusahaan-perusahaan besar mengelola sumber daya mereka, saya menyimpulkan terdapat setidak-tidaknya empat masalah atau tantangan dalam mengelola sumber daya manusia berukuran besar.
Pertama, mengintegrasikan dan mengolaborasikan energi, komitmen, kehendak, tapi juga sekaligus merangkum atau mengakomodasi keinginan dan kebutuhan dari sekian banyak kepala di dalam organisasi.
Kedua adalah terbentuknya mata rantai birokrasi yang panjang karena tuntutan organisasi yang sangat besar. Namun mata rantai ini membuat rentang kendali, rentang komunikasi, dan rentang distribusi informasi dari atas ke bawah dan sebaliknya menjadi sangat panjang. Di dalam proses distribusi tersebut, seringkali terjadi pembiasan, baik yang terjadi secara tidak sengaja maupun karena dilakukan secara sadar.
Ketiga, munculnya mindset pada sebagian besar manajer hingga direksi di level atas yang tidak memiliki perspektif ke-HC-an yang memadai, akibat nyaris sepanjang kariernya dihabiskan di dalam urusan-urusan yang sifatnya teknis atau operasional. Padahal, perspektif untuk menempatkan seorang manajer atau direksi dalam kerangka pengelolaan HC di dalam organisasi yang besar menjadi sangat penting.
Sebesar apapun organisasi dengan pegawai yang dikelola, pada akhirnya organisasi adalah diisi dan dikelola oleh manusia, sehingga organisasi harus menjadi suatu organisme yang hidup. Problem lemahnya perspektif HC pada sebagian besar manajer level menengah ke atas hingga direksi, menyebabkan organisasi menjadi suatu mesin yang kaku dan tidak manusiawi.
Pemerhati Human Capital
SAYA sungguh merasa bersyukur menjalani karier di perusahaan dengan skala pegawai yang berukuran besar dari sisi jumlah. Tapi dalam perjalanannya, saya juga pernah berada dalam situasi di mana saya harus mengelola pegawai dalam skala yang lebih kecil. Situasinya sangat berbeda, di mana kedekatan dan komunikasi dalam organisasi yang kecil terasa lebih intens, tetapi juga sekaligus terlokalisir pada masalah-masalah tertentu.
Besar kecilnya ukuran suatu organisasi tentu sangat subjektif. Bahkan para akademisi, praktisi, pemerhati, sampai dengan analis tentang organisasi di seluruh dunia ini tidak pernah bisa bersepakat secara tunggal, bagaimana mengelompokkan suatu organisasi berdasarkan jumlah pegawai di dalamnya. Selalu punya alasan untuk setiap klasifikasi.
Dalam pengalaman sejauh ini, juga dari cerita-cerita tentang bagaimana kolega-kolega di perusahaan-perusahaan besar mengelola sumber daya mereka, saya menyimpulkan terdapat setidak-tidaknya empat masalah atau tantangan dalam mengelola sumber daya manusia berukuran besar.
Pertama, mengintegrasikan dan mengolaborasikan energi, komitmen, kehendak, tapi juga sekaligus merangkum atau mengakomodasi keinginan dan kebutuhan dari sekian banyak kepala di dalam organisasi.
Kedua adalah terbentuknya mata rantai birokrasi yang panjang karena tuntutan organisasi yang sangat besar. Namun mata rantai ini membuat rentang kendali, rentang komunikasi, dan rentang distribusi informasi dari atas ke bawah dan sebaliknya menjadi sangat panjang. Di dalam proses distribusi tersebut, seringkali terjadi pembiasan, baik yang terjadi secara tidak sengaja maupun karena dilakukan secara sadar.
Ketiga, munculnya mindset pada sebagian besar manajer hingga direksi di level atas yang tidak memiliki perspektif ke-HC-an yang memadai, akibat nyaris sepanjang kariernya dihabiskan di dalam urusan-urusan yang sifatnya teknis atau operasional. Padahal, perspektif untuk menempatkan seorang manajer atau direksi dalam kerangka pengelolaan HC di dalam organisasi yang besar menjadi sangat penting.
Sebesar apapun organisasi dengan pegawai yang dikelola, pada akhirnya organisasi adalah diisi dan dikelola oleh manusia, sehingga organisasi harus menjadi suatu organisme yang hidup. Problem lemahnya perspektif HC pada sebagian besar manajer level menengah ke atas hingga direksi, menyebabkan organisasi menjadi suatu mesin yang kaku dan tidak manusiawi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda