Mengejar Lailatulakadar
Selasa, 04 Mei 2021 - 05:05 WIB
Oleh karena lailatulkadar adalah sesuatu yang harus dikejar kaum Muslimin, maka berbagai usaha umat Islam sesuai dengan kapasitas pengetahuannya untuk mendapat lailatulkadar itu harus diberi apresiasi yang tinggi. Inilah yang kita sebut dengan proses ikhtiar sebagai kewajiban setiap manusia.
Nah, berkaitan dengan tanda-tanda fisik datangnya malam lailatulkadar, seperti malam yang hening, burung tidak terbang, dan langit cerah, menurut hemat saya, indikator tersebut hanya ikhtiar para ulama untuk mengomunikasikan kepada umatnya bahwa lailatulkadar itu memang ada dan harus dikejar. Penjelasan simbolik ini memang penting untuk meyakinkan suatu kebenaran ajaran agama, tetapi harus sesuai dengan kadar intelektual masyarakat itu sendiri.
Demikian pula, tentang waktu kedatangannya yang hingga kini masih menjadi polemik. Apakah jatuhnya tanggal 17, 27, atau malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir? Apakah setiap tahun turun atau hanya sekali pada zaman Nabi Muhammad SAW yang ditandai dengan turun Alquran?
Tampaknya, Allah SWT memang sengaja merahasiakan kedatangan lailatulkadar itu dengan maksud agar orang yang berpuasa terjaga motivasinya untuk terus meningkatkan amal ibadahnya selama bulan Ramadan sehingga pada akhirnya ia bisa meraih gelar manusia takwa (la’allakum tattaqun) sesuai dengan tujuan akhir (final goal) puasa Ramadan (QS. al-Baqarah:183).
Dengan kata lain, lailatulkadar itu hanya mau mampir dan pasti jatuh pada orang yang bertakwa. Tidak mungkin jatuh kepada sembarang orang atau terlebih orang yang tidak berpuasa. Karena hal ini akan bertentangan dengan firman Allah sendiri.
Ironisnya, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan justru dipergunakan untuk melupakan momentum lailatulkadar. Saat itu sudah terlalu banyak pikiran dan kebutuhan untuk Lebaran. Inilah kultur masyarakat kita yang wajib diluruskan atau dikembalikan kepada hakikinya.
Penafsiran Rasional
Kata al-qadr dalam kalimat “lailat al-qadr”, jika dicermati lebih mendalam, ternyata tidak bermakna tunggal, yakni kemuliaan atau keistimewaan. Tetapi, mempunyai arti lain yang lebih mendekatkan pada penafsiran rasional, yaitu kepastian atau ketentuan. Dengan demikian, lailatulkadar berarti malam kepastian atau ketentuan.
Malam kepastian, secara tekstual mengandung arti saat kepastian atau ketentuan turunnya Alquran. Sedangkan secara kontekstual, lailatulkadar bermakna kepastian akan hadirnya keistimewaan. Kalau zaman Nabi SAW keistimewaan itu berbentuk Alquran, maka untuk zaman sekarang bentuknya adalah hidayah (petunjuk Allah).
Dengan kata lain, secara substansial, sebenarnya lailatulkadar itu adalah hidayah Allah yang turun di bulan Ramadan dan diberikan kepada orang-orang yang menjalankan puasa. Dalam konteks itu diperlihatkan adanya sebuah kepastian tentang kebenaran Alquran. Inilah penafsiran kontemporer tentang lailatulkadar. Artinya, orang yang mendapat lailatulkadar berarti memiliki akhlak mulia sesuai dengan tuntunan Alquran yang mewujud dalam kehidupan kesehariannya.
Nah, berkaitan dengan tanda-tanda fisik datangnya malam lailatulkadar, seperti malam yang hening, burung tidak terbang, dan langit cerah, menurut hemat saya, indikator tersebut hanya ikhtiar para ulama untuk mengomunikasikan kepada umatnya bahwa lailatulkadar itu memang ada dan harus dikejar. Penjelasan simbolik ini memang penting untuk meyakinkan suatu kebenaran ajaran agama, tetapi harus sesuai dengan kadar intelektual masyarakat itu sendiri.
Demikian pula, tentang waktu kedatangannya yang hingga kini masih menjadi polemik. Apakah jatuhnya tanggal 17, 27, atau malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir? Apakah setiap tahun turun atau hanya sekali pada zaman Nabi Muhammad SAW yang ditandai dengan turun Alquran?
Tampaknya, Allah SWT memang sengaja merahasiakan kedatangan lailatulkadar itu dengan maksud agar orang yang berpuasa terjaga motivasinya untuk terus meningkatkan amal ibadahnya selama bulan Ramadan sehingga pada akhirnya ia bisa meraih gelar manusia takwa (la’allakum tattaqun) sesuai dengan tujuan akhir (final goal) puasa Ramadan (QS. al-Baqarah:183).
Dengan kata lain, lailatulkadar itu hanya mau mampir dan pasti jatuh pada orang yang bertakwa. Tidak mungkin jatuh kepada sembarang orang atau terlebih orang yang tidak berpuasa. Karena hal ini akan bertentangan dengan firman Allah sendiri.
Ironisnya, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan justru dipergunakan untuk melupakan momentum lailatulkadar. Saat itu sudah terlalu banyak pikiran dan kebutuhan untuk Lebaran. Inilah kultur masyarakat kita yang wajib diluruskan atau dikembalikan kepada hakikinya.
Penafsiran Rasional
Kata al-qadr dalam kalimat “lailat al-qadr”, jika dicermati lebih mendalam, ternyata tidak bermakna tunggal, yakni kemuliaan atau keistimewaan. Tetapi, mempunyai arti lain yang lebih mendekatkan pada penafsiran rasional, yaitu kepastian atau ketentuan. Dengan demikian, lailatulkadar berarti malam kepastian atau ketentuan.
Malam kepastian, secara tekstual mengandung arti saat kepastian atau ketentuan turunnya Alquran. Sedangkan secara kontekstual, lailatulkadar bermakna kepastian akan hadirnya keistimewaan. Kalau zaman Nabi SAW keistimewaan itu berbentuk Alquran, maka untuk zaman sekarang bentuknya adalah hidayah (petunjuk Allah).
Dengan kata lain, secara substansial, sebenarnya lailatulkadar itu adalah hidayah Allah yang turun di bulan Ramadan dan diberikan kepada orang-orang yang menjalankan puasa. Dalam konteks itu diperlihatkan adanya sebuah kepastian tentang kebenaran Alquran. Inilah penafsiran kontemporer tentang lailatulkadar. Artinya, orang yang mendapat lailatulkadar berarti memiliki akhlak mulia sesuai dengan tuntunan Alquran yang mewujud dalam kehidupan kesehariannya.
tulis komentar anda