Mengejar Lailatulakadar

Selasa, 04 Mei 2021 - 05:05 WIB
loading...
Mengejar Lailatulakadar
Maksun (Foto: Istimewa)
A A A
Maksun
Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

TERDAPAT pertanyaan yang selalu muncul di benak kaum Muslimin khususnya pada paruh ketiga di setiap bulan Ramadan, yakni seputar lailatulkadar. Ya, lailatulkadar adalah misteri. Apakah ia bentuk, aktivitas, atau kondisi? Hingga sekarang, para ulama, cendekiawan, dan ilmuwan Muslim masih berdebat tentang lailatulkadar. Adakah orang di muka bumi ini yang pernah mendapatkan lailatulkadar? Siapakah orangnya? Apakah ia tiba-tiba menjadi terkenal, kaya, saleh, atau bahkan sembuh dan terbebas dari wabah virus Covid-19? Semuanya masih misterius. Tidak ada seorang pun yang tahu.

Meski sangat misterius, yang pasti dan ini harus diyakini oleh setiap Muslim bahwa lailatulkadar itu bukanlah mitos sebab informasi ini secara tekstual termaktub dalam kitab suci Alquran yang isinya selalu benar. Artinya, lailatulkadar pasti ada dan terjadi.

Persoalannya, kapan dan siapa yang akan mendapatkannya? Lalu, apa indikatornya? Inilah teka-teki besar di kalangan umat Islam yang sangat menginginkannya.

Kapan Datang?
Lailatulkadar adalah anugerah Allah SWT yang terikat oleh waktu, yakni hanya akan ada di bulan Ramadan. Lailatulkadar adalah satu malam yang sangat mulia (the glory of night) sehingga Tuhan menyebutnya lebih baik dari seribu bulan (QS. al-Qadr:1-5).

Dari QS. al-Qadr itu juga bisa dipahami bahwa lailatulkadar erat kaitannya dengan Nuzululquran. Bahkan ada pendapat yang mengatakan lailatulkadar adalah Nuzululquran itu sendiri. Meski demikian, lailatulkadar tetap merupakan sebuah anugerah, rahmat, sekaligus pahala yang sangat besar bagi kaum Muslimin.

Ia bisa dimiliki oleh setiap Muslim yang benar-benar menginginkannya. Artinya, untuk meraihnya seseorang tidak boleh pasif hanya berharap dan menunggu, tetapi harus dikejar dan diusahakan. Sebab, lailatulkadar itu sebuah proses maka dibutuhkan prakondisi untuk memperolehnya.

Oleh karena lailatulkadar adalah sesuatu yang harus dikejar kaum Muslimin, maka berbagai usaha umat Islam sesuai dengan kapasitas pengetahuannya untuk mendapat lailatulkadar itu harus diberi apresiasi yang tinggi. Inilah yang kita sebut dengan proses ikhtiar sebagai kewajiban setiap manusia.

Nah, berkaitan dengan tanda-tanda fisik datangnya malam lailatulkadar, seperti malam yang hening, burung tidak terbang, dan langit cerah, menurut hemat saya, indikator tersebut hanya ikhtiar para ulama untuk mengomunikasikan kepada umatnya bahwa lailatulkadar itu memang ada dan harus dikejar. Penjelasan simbolik ini memang penting untuk meyakinkan suatu kebenaran ajaran agama, tetapi harus sesuai dengan kadar intelektual masyarakat itu sendiri.

Demikian pula, tentang waktu kedatangannya yang hingga kini masih menjadi polemik. Apakah jatuhnya tanggal 17, 27, atau malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir? Apakah setiap tahun turun atau hanya sekali pada zaman Nabi Muhammad SAW yang ditandai dengan turun Alquran?

Tampaknya, Allah SWT memang sengaja merahasiakan kedatangan lailatulkadar itu dengan maksud agar orang yang berpuasa terjaga motivasinya untuk terus meningkatkan amal ibadahnya selama bulan Ramadan sehingga pada akhirnya ia bisa meraih gelar manusia takwa (la’allakum tattaqun) sesuai dengan tujuan akhir (final goal) puasa Ramadan (QS. al-Baqarah:183).

Dengan kata lain, lailatulkadar itu hanya mau mampir dan pasti jatuh pada orang yang bertakwa. Tidak mungkin jatuh kepada sembarang orang atau terlebih orang yang tidak berpuasa. Karena hal ini akan bertentangan dengan firman Allah sendiri.

Ironisnya, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan justru dipergunakan untuk melupakan momentum lailatulkadar. Saat itu sudah terlalu banyak pikiran dan kebutuhan untuk Lebaran. Inilah kultur masyarakat kita yang wajib diluruskan atau dikembalikan kepada hakikinya.

Penafsiran Rasional
Kata al-qadr dalam kalimat “lailat al-qadr”, jika dicermati lebih mendalam, ternyata tidak bermakna tunggal, yakni kemuliaan atau keistimewaan. Tetapi, mempunyai arti lain yang lebih mendekatkan pada penafsiran rasional, yaitu kepastian atau ketentuan. Dengan demikian, lailatulkadar berarti malam kepastian atau ketentuan.

Malam kepastian, secara tekstual mengandung arti saat kepastian atau ketentuan turunnya Alquran. Sedangkan secara kontekstual, lailatulkadar bermakna kepastian akan hadirnya keistimewaan. Kalau zaman Nabi SAW keistimewaan itu berbentuk Alquran, maka untuk zaman sekarang bentuknya adalah hidayah (petunjuk Allah).

Dengan kata lain, secara substansial, sebenarnya lailatulkadar itu adalah hidayah Allah yang turun di bulan Ramadan dan diberikan kepada orang-orang yang menjalankan puasa. Dalam konteks itu diperlihatkan adanya sebuah kepastian tentang kebenaran Alquran. Inilah penafsiran kontemporer tentang lailatulkadar. Artinya, orang yang mendapat lailatulkadar berarti memiliki akhlak mulia sesuai dengan tuntunan Alquran yang mewujud dalam kehidupan kesehariannya.

Lailatulkadar memang turun untuk dan didapatkan oleh individu, namun sinar lailatulkadar dari orang yang mendapatkannya memantul dalam hidup kesehariannya, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan penafsiran ini, maka sejatinya lailatulkadar mengandung dua pengertian. Pertama, “lailatulkadar konseptual” yang berkaitan dengan kepastian adanya suatu malam istimewa dalam setiap bulan Ramadan. Lailatulkadar konseptual ini bersifat statis dan tidak berwujud.

Kedua, “lailatulkadar aktual” yang berkenaan dengan sikap dan perilaku orang yang mendapat hidayah di bulan Ramadan. Karakteristik yang kedua adalah dinamis dan mewujud dalam akhlak seseorang yang mendapatkannya di bulan suci Ramadan.

Walhasil, orang yang telah memperoleh lailatulkadar adalah orang yang benar-benar menjalankan ritual puasanya dengan baik (imanan wahtisaban), kemudian ia mampu mengaktualisasikan nilai-nilai yang diajarkan oleh puasa dalam kehidupan sehari-hari sehingga ia menjadi sosok yang dinamis, inovatif, dan kreatif.

Orang yang mendapatkan lailatulkadar pantang untuk berbuat onar, teror, anarkis, dan intoleran. Terhadap sesama bangsanya, ia bersikap inklusif, pluralis, toleran, moderat, antikorupsi, dan antiterorisme. Wallahua’lam.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2334 seconds (0.1#10.140)